MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM || PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM MASA KHULAFA’ AL-RASYDIN

 KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

 

Bandar Lampung, 12 Maret 2022

 

 Penyusun

 


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. ii

BAB I. 4

PENDAHULUAN.. 4

A.         Latar Belakang. 4

B.         Rumusan Masalah. 5

C.         Tujuan Penulisan. 5

BAB II. 6

PEMBAHASAN.. 6

A.         Pengertian Khulafa’ Al-Rasyidin. 6

B.         Masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M) 7

C.         Masa Umar Bin Khatthab (13-23 H/634-644 M) 9

D.         Masa Utsman Bin Affan (23-36 H/644-656 M) 11

E.          Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 H) 13

F.         Akhir Masa Pemerintahan Khalifatur Al-Rasydin. 14

BAB III. 16

PENUTUP. 16

A.         Kesimpulan. 16

B.         Saran. 16

DAFTAR PUSTAKA.. 17

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Ketika islam diperkenalkan sebagai pola dasar, kaum Muslim telah dijanjikan oleh Al–Quran akan menjadi komunitas terbaik dipanggung sejarah bagi sesama umat manusia lainnya. Akibatnya diterimanya dorongan ajaran seperti ini, secara tidak langsung telah memberikan produk pandangan bagi mereka sendiri untuk melakukan permainan budaya sebaik mungkin.Terdapat banyak perspektif dalam membaca banyak fakta sejarah, terutama terhadap sejarah peradaban umat Islam.

 

Perbedaan cara pandang tersebut sebagai akibat dari khazanah pengetahuan tentang sejarah yang berbeda. Hal itu dipicu dari keberagaman teori sejarah. Lebih–lebih sejarah islam yang sebagian besar adalah sejarah tentang polotik dan kekuasaan yang berujung pada kepentingan kelompok maupun individual semata. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang dicintai oleh yang dipimpinnya, sehingga pikirannya selalu didukung, perintahnya selalu di ikuti dan rakyat membelanya tanpa diminta terlebih dahulu.

 

Figur kepemimpinan yang mendekati penjelasan tersebut adalah Rasulullah beserta para sahabatnya (khulafaur Rasyidin). Wafatnya Nabi Muhammad sebagai pemimpin agama maupun Negara menyisakan persoalan pelik. Nabi tidak meninggalkan wasiat kepada seorangpun sebagai penerusnya. Akibatnya terjadilah perselisihan, masing-masing kelompok mengajukan wakilnya untuk dijadikan sebagai penerus serta pengganti Nabi Muhammad untuk memimpin umat. Akhirnya muncullah kholifah rasyidiyah, yang terdiri dari Abu bakar, Umar, Ustman, dan Ali yang memimpin secara bergantian. Dalam prosesnya banyak sekali peristiwaperistiwa yang terjadi dan patut dipelajari sebagai landasan sejarah peradaban islam.

 

B.     Rumusan Masalah

1. Apa itu khulafa’ Al-Rasyidin?

2. Siapa saja yang menjadi khulafa’ Al-Rasyidin?

3. Apa saja kebijakan pemerintah pada masa khulafa’ Al-Rasyidin?

4. Bagaimana perkembangan peradaban islam pada masa itu?

5. Bagaimana akhir masa khulafa’ Al-Rasyidin?

 

C.    Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejarah peradaban islam pada masa setelah wafatnya Rasullulah SAW.

2. Mengetahui siapa saja yang menjadi khulafa’ Al-Rasyidin.

3. Mengetahui bagaimana kepemipinan khulafa’ Al-Rasyidin.

4. Mengetahui seberaapa lama masa kepemimpinan khulafa’ Al-Rasyidin.

5. Untuk mengetahui akhir dari masa kepemimpinan

 

                                                                             


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Khulafa’ Al-Rasyidin

Pasca Nabi Muhammad SAW. wafat, status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun, akan tetapi kedudukan Rasulullah SAW. Sebagai pemimpin kaum muslimin harus tergantikan, sebagaimana diketahui dalam sejarah bahwa pengganti tersebut dinamakan “Khulafaur Rasyidin,”yang terdiri dari dua kata, “al-khulafa” bentuk jama’ dari “khalifah” yang berarti “pengganti,” dan “ar-Rasyidin” ialah berarti “benar, halus, arif, pintar, dan bijaksana”.[1]

Jika digabungkan, Khulafaur Rasyidin ialah berarti para (pemimpin) pengganti Rasulullah SAW. yang arif dan bijaksana. Akan tetapi perlu diketahui bahwa jabatan sebagai khalifah disini bukanlah jabatan warisan turun menurun sebagaimana yang dilakukan oleh para raja Romawi dan Persia, namun dipilih secara demokratis. Pada masa khulafaur rasyidin terhitung selama 30 tahun, yang terdiri dari empat khalifah.[2]

Menurut Dawam Raharjo, khalifah yakni kepala Negara dalam pemerintahan Islam, memang merupakan istilah al-Quran. Tetapi dalam al-Qur’an istilah ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karenanya kata-kata yang mengandung istilah pengertian khalifah tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khilafah atau kekuasaan politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan satu konsep tentang manusia, yaitu sebagai khalifah. Khalifah adalah suatu fungsi yang di emban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah SWT. Amanat ini pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertanggung jawab, dengan menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.[3]

Abu A’-la Al-Maududi yang menggagas teori teodemokrasi dalam Islam memandang kekhilafahan menuntut adanya ketaatan antara yang diberi (manusia) dengan yang memberi (Tuhan). Maududi juga menekankan bahwa kekhalifahan harus berisi kepatuhan, dan kepatuhan itu tidak lain adalah kepada sang pencipta dan sistem pemerintahan yang memalingkan diri dari Allah SWT. menjadi sistem yang lepas dan bebas memerintah dengan dan untuk dirinya sendiri adalah pemberontakan atau kudeta melawan sang pencipta.[4]

Pada masa Khulafaur Rasyidin ini ada 4 sahabat Rasullulah yang memimpin setelah kewafatan beliau. Berikut 4 sahabat Rasullulah yang menjadi Khulafaur Rasyidin.

 

 

B.     Masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)

Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Diberi julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk orang laki-laki yang masuk Islam pertama kali. Sedangkan gelar Ash-Shidiq diperoleh karena beliau senantiasa membenarkan semua hal yang dibawa Nabi SAW terutama pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj.[5]

Seringkali mendapingi rasulullah di saat penting atau jika berhalangan, Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan actual di Madinah.

 

a.      Terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq

Pengangkatan Abu Bakar ash-Shiddiq menduduki jabatan khalifah merupakan kesepakan antara kaum Ansor dan kaum Muhajirin melalui proses musyawarah yang sangat demokratis di Balai Tsaqifah Bani Sa’idah di Madinah setelah Nabi Muhammad wafat.[6]

Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar berlangsung hanya 2 tahun 3 bulan 11 hari. Masa tersebut merupakan waktu yang paling singkat bila dibandingkan dengan kepemimpinan Khalifah-Khalifah penerusnya. Meski demikian beliau dapat disebut sebagai penyelamat dan penegak agama Allah di muka bumi. Dengan sikap kebijaksanaannya sebagai kepala negara dan ke-tawadhu’an-nya kepada Allah serta agamanya, beliau dapat menghancurkan musuh-musuh yang merongrong agama Islam bahkan dapat memperluas wilayah Islam keluar Arabia.[7]

Sebelum terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, pada mulanya terjadi pendapat atau usulan oleh kaum Anshar dan Muhajirin yang sama-sama  di  antara  dua  kaum  tersebut  menginginkan  seorang khalifah  dari  kalangan  mereka.  Akan  tetapi  kemudian  usulan  itu ditolak  dengan  tegas,  sehingga  di  antara  mereka  menyimpulkan bahwa kaum muhajirin memang lebih berhak untuk mengendalikan kekuasaan ini, dan semua sepakat, maka Umar bin Khattab maju dan membaiat Abu Bakar yang kemudian dibaiat oleh semua yang hadir di tsaqifah.[8]

Kemudian Abu Bakar menyatakan pidatonya, “taatlah kalian kepadaku sepanjang aku taat kepada Allah dan Rasulnya di tengah kalian, jika aku bermaksiat maka tidak wajib kalian taat kepadaku.” Setelah pembaitan dan pernayataan beliau tersebut, dengan demikian, maka pasca Rasulullah SAW. wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sebagai   khalifah   Islam   terpilih   yang   pertama,   yakni   menjadi pemimpin.[9]

 

 

b.      Pencapaian pada masa Khalifah Abu Bakar

Dalam  masa  pemerintahan  Abu  Bakar Ash-Shiddiq  cukup terbilang  banyak  menghadapi persoalan-persoalan di dalam  negeri yang berasal dari kelompok murtad nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil  musyawarah  dengan  para sahabat  yang  lain, ia memutuskan untuk  memerangi  kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Setelah berhasil        menyelesaikan  urusan  dalam  negeri,  Abu Bakar   mulai   melakukan   ekspansi   ke   wilayah   utara       untuk menghadapi  pasukan  Romawi  dan  Persia  yang  selalu mengancam kedudukan  umat  Islam.  Namun,  ia  meninggal  dunia sebelum misi ini selesai dilakukan.

Berikut ini mengenai peradaban yang berkembang pada masa pemerintahan Abu Bakar yang berlangsung selama dua tahun tiga bulan:[10]

a.       Membudayakan   musyawarah   yang   lebih   demokratis   dalam pemerintahan dan masyarakat

b.      Menumbuhkan   loyalitas   umat   islam   dan   tentara   kepada pemerintah  yang   memberi  dukungan  atas  semua  kebijakan khalifah.

c.       Membudayakan  musyawarah  dalam  menyikapi  setiap  masalah yang timbul

d.      Membangun pemerintah yang tertib di pusat dan di daerah

e.       Membangun milter yang disiplin dan tangguh di medan tempur

f.        Menyusun mushaf al-Qur’an seperti yang dimiliki umat Islam sekarang

g.      Menyejahterakan rakyat secara adil dengan membangun baitul mall serta memperbadayakan zakat, infaq, serta ghanimah dan jizyah.

 

Dengan demikian, selama pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, harta Bait  Al-Māl  tidak  pernah  menumpuk  dalam  jangka  waktu yang  lama  karena  langsung  didistribusikan  kepada  seluruh kaum Muslimin, bahkan   ketika   Abu   Bakar   Ash-Shiddiq   wafat,   hanya ditemukan  1 dirham  dalam  perbendaharaan  negara.  Seluruh  kaum Muslimin  diberikan   bagian            yang sama   dari   hasil pendapatan negara.[11]

 

 

C.    Masa Umar Bin Khatthab (13-23 H/634-644 M)

            Umat bin Khatthab nama lengkapnya adalah Umar Bin Khatthab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-Quraisy dari suku Adi; salah satu suku yang terpandang mulia. Umar dilahirkan di Mekah empat tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi SAW serta dijadikan sebagai tempat rujukan oleh nabi mengenai hal-hal yang penting.[12]

            Sebelum masuk Islam, dia adalah seorang orator yang ulung, pegulat tangguh, dan selalu diminta sebagai wakil sukunya bila menghadapi konflik dengan suku Arab yang lainnya. Terkenal sebagai orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam, punya ketabahan dan kemauan keras, tidak mengenal bingung dan ragu. Ia masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh adiknya (Fatimah binti Khattab), padahal ketika itu ia hendak membunuh adiknya karena mengikuti ajaran Nabi.[13]

            Umar bin Khatthab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti Rasulullahh). Ia juga mendapat gelar Amir Al- Mukminin (komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya.[14] Ia salah satu satu dari 17 orang Mekkah yang terpelajar Ketika kenabian dianugerahkan kepada Nabi Muhammad saw.[15]

Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah menunjuk Umar sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh- tokoh terkemuka dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Tolhah bin Ubaidillah. Masa pemerintahan Umar bin Khatab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13 H/634M sampai tahun 23H/644M. Beliau wafat pada usia 64 tahun. Selama masa pemerintahannya oleh Khalifah Umar dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperluas kekuasaan ke seluruh Semenanjung Arabia.[16]

            Selama mengemban amanah sebagai khalifah, Umar bin Khathab telah berperan besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam di kemudian hari, khususnya dalam pembentukan hukum dan aturan Islam, sekaligus penaklukan dan penyebaran ajaran Islam hingga negeri-negeri yang jauh; wilayah-wilayah Amshar yang sebelumnya tak tersentuh (mulai dari Atlantik, Afrika Utara, Mesir, Nubia, Mediterania Timur (Syam), Anatolia, Persia, hingga Asia Tengah).[17]

 

a. Kemajuan-Kemajuan Yang Dicapai Umar Bin Khattab

Selama   pemerintahan   Umar,   kekuasaan   Islam   tumbuh dengan  sangat  pesat.  Islam  mengambil  alih  Mesopotamia  dan sebagian  Persia  dari tangan  dinasti Sassanid  dari Persia  (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina,  Syiria,  Afrika  Utara  dan  Armenia  dari  kekaisaran Romawi  (Byzantium).  Saat  itu  ada  dua  negara  adi  daya  yaitu Persia  dan  Romawi.  Namun  keduanya  telah  ditaklukkan  islam pada jaman Umar. Sejarah mencatat  banyak pertempuran besar yang  menjadi awal penaklukan  ini.  Pada pertempuran Yarmuk, yang   terjadi   di   dekat   Damaskus.   20   ribu   pasukan   Islam mengalahkan  pasukan  Romawi  yang  mencapai  70  ribu  dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan.

Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol  daridekat  kebijakan  publik,  termasuk  membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan  diselenggarakannya  sensus  di  seluruh  wilayah kekuasaan Islam.Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam. Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.[18]

Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun  ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah. Ada  beberapa  perkembangan peradaban  Islam  pada  masa khalifah Umar bin Khatthab, yang meliputi Sistem pemerintahan (politik), ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan agama. Sebagaimana dijelaskan berikut:

a.       Pada masa khalifah Umar bin khatab, kondisi politik islam dalam keadaan   stabil,   usaha   perluasan   wilayah   Islam memperoleh hasil  yang  gemilang.

b.      Membentuk dewan-dewan Negara Guna  menertipkan  jalannya  administrasi  pemerintahan.[19]

c.       Perkembangan Ekonomi. Karena  perluasan  daerah  terjadi  dengan  cepat,  dan setelah   Khalifah   Umar   mengatur   administrasi   negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia.

d.      Perkembangan Pengetahuan.[20]

 

 

D.    Masa Utsman Bin Affan (23-36 H/644-656 M)

Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan, Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya, karena menikahi dua putri Nabi SAW. secara berurutan setelah salah satu meninggal. Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya, Umar dipilih atas penunjukan langsung sedangkan Utsman diangkat atas penunjukan tidak langsung, yaitu melewati badan Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.[21]

Pengorbanan Utsman bin Affan terhadap Islam dan kaum Muslimis tidak hanya dalam bentuk harta, melainkan lebih dari itu, jiwa dan pikirannya dicurahkan deni pengembangan syi’ar Islam dan keselamatan kaum Muslimin.[22] Utsman bin Affan adalah khalifah pertama yang melakukan perluasan Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah),karena semakin ramainya umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima. Umtuk pertama kalinya, Islam mempunyai armada laut yang Tangguh. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang menguasai wilayah Syria, Palestina, dan Libanon, membangun armada itu.

            Enam tahun pertama pemerintahan Ustman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbeizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan negeri Cyprus.[23]

Pasca  Umar  bin  Khattab  wafat,  orang-orang  yang  dipilih Umar sebelumnya (pada saat sakit) membentuk sebuah tim formatur yang terdiri dari enam orang calon untuk diangkat sebagai khalifah baru, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah.  Adapun tim formatur  ini  dikepalai  oleh  Abdurrahman  ibnu  Auf  dan  mereka berkumpul dalam salah satu rumah selama tiga hari pemilihan ini hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.

Melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali, sidang Syura akhirnya  memberi  mandat   kekhalifaan  kepada Utsman. Masa pemerintahan Utsman ialah merupakan masa pemerintahan terpanjang  yaitu  selama  12  tahun  (24-36  H/644-656  M),  tetapi sejarah  mencatat  tidak  seluruh  masa  kekuasaannya  menjadi  saat yang baik dan sukses baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan  Utsman  menjadi  dua  periode  yaitu  enam  tahun. Utsman menjabat sebagai khalifah pada usia 70 tahun hingga usia 82 tahun. Masa kekhalifahan Utsman adalah yang paling lama diantara ketiga khalifah lainnya.[24]

\

a. Pencapaian pada masa Khalifah Utsman bin Affan

Pada masa khalifah Utsman bin Affan terdapat ketidakseragaman qira’at dan  menimbulkan  perpecahan,  sehinga pada  saat  itu  dipandang  perlu  untuk  ditertibkan.  Orang  pertama yang mensinyalir adanya perpecahan adalah sahabat Huzaifah ibnu Yaman.  Kemudian  Huzaifah  melaporkan  kepada  Utsman  agar segera mengambil langkah-langkah untuk menertibkannya. Usul ini diterima oleh Utsman dan beliau mengambil langkah antara lain: Meminjam naskah yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit pada masa Abu  Bakar  yang  disimpan oleh Hafshah  binti  Umar.  Kemudian membentuk  panitia  yaitu  Zaid  bin  Tsabit,  Abdullah  bin  Zubair, Sa’id  ibnu  Ash,  Abdurrahman  ibnu  Harits.  Utsman  memberikan tugas kepada mereka untuk menyalin kembali ayat-ayat Al-Qur`an dari  lembaran-lembaran   naskah   Abu   Bakar   sehingga   menjadi mushaf yang sempurna.[25]

Sehingga  pada  akhirnya,  seiring  berjalannya  waktu  para panitia berhasil mengumpulkan dan menghimpun semua Al-Qur`an kedalam  sebuah  mushaf  yang  dikenal  dengan  sebutan  Mushaf Usmani.           Sesuai  dengan tujuan  awal     pengumpulan dan penghimpunan ini untuk mempersatukan semua umat  islam yang sempat terpecah belah karena adanya perbedaan dalam pembacaan ayat Al-Qur`an, maka khalifah Utsman bin Affan memerintahkan kepada semua gubernurnya untuk menghancurkan semua mushaf yang   ada   ditengah-tengah   masyarakat   dan   digantikan   dengan Mushaf Usmani.

Selain itu khalifah Utsman juga begitu menjunjung tinggi nilai keadilan dalam memutuskan suatu perkara hukum, seperti ketika beliau   menganjurkan  kepada  petugas-petugas  qadhi  nya   yang berada di daerah untuk menjalankan tugasnya agar mereka selalu berlaku   adil   demi   terciptanya   kebenaran[26]

Sementara  pencapaian  beliau  tidak  sampai  disitu,  bahkan beliau   meninggalkan   jejak   peradaban   yang   bermakna   dalam kehidupan manusia saat itu hingga sekarang, antara lain:[27]

a.       Membudayakan sistem musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

b.      Menyeragamkan cara membaca al-Qur’an yang ditandai dengan penyusunan ayat-ayatnya dalam satu mushaf.

c.       Membangun fasilitas umum

d.      Menertibkan   administrasi     pemerintahan   dengan deskripsi pekerjaan yang jelas

 

 

E.     Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 M)

 Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang dikenal sebagai orang yang alim, cerdas dan taat beragama. Beliau juga saudara sepupu Nabi SAW. (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang menjadi menantu Nabi SAW., suami dari putri Rasulullah yang bernama Fathimah. Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Nabi Muhammad SAW, semenjak kecil diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, kemudian setelah kakeknya meninggal diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Ali adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang jauh ke depan.

Selain nama yang banyak diketahui umat Islam, Ali memiliki nama lain yang patut diketahui. Salah satu gelar itu adalah Abu Turab. Istilah Abu dalam bahasa Arab berarti bapak dan Turab berarti tanah. Dengan demikian, Abu Turab berarti Bapak Tanah. Karena pemberian Rasulullah, Ali merasa senang saja dengan gelar itu. Gelar lain yang diperoleh Ali adalah Abu al-Hasan karena ia memiliki seorang anak yang bernama Hasan.[28]

Keberaniannya juga masyhur dan hampir seluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada di barisan terdepan. Ketika pada masa Kekhalifahan Abu Bakar, Rasulullah selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin Khattab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali.  Utsman pun pada  masa  permulaan  jabatannya  dalam  banyak  perkara  selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan.[29]

Terpilihnya Ali Menjadi Khalifah. Tentunya suara terbanyak dan yang berkuasa setelah Utsman tergenggam di tangan kaum pemberontak itu sendiri adalah Ali. Pada saat itu Ali medapatkan banyak dukungan dari sahabat senior dan juga para pemberontak pada masa khalifah Utsman. Orang yang pertama kali membaiat Ali adalah Thalhah kemudian diikuti oleh zubair,  dikemudian  hari  diikuti  oleh  banyak  sahabat  dari  kaum muhajirin dan kaum Ansor.

Pada waktu pembaiatan Ali berpidato setelah diangkat untuk menjadi khalifah, yaitu, “Wahai manusia, kamu telah membaiatku sebagaimana  yang  telah  kamu  lakukan  kepada  khalifah-khalifah yang lebih dahulu daripadaku. Aku hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Apabila pilihan telah jatuh, menolak tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh. Baiat terhadap diriku ini ialah baiat yang rata yang umum. Barangsiapa yang memungkirinya maka terpisahlah ia dari agama Islam”.

Ada juga sahabat-sahabat yang masih belum sudi mengakui Ali sebagai khalifah, yaitu Hasan ibnu Tsabit, Ka’ab ibnu Malik, Abu  Sa’id  al-Khudri,  dan  Muhammad  ibnu  Maslamah.  Ada juga yang  tidak  sudi  menunjukkan  pendirian,  yaitu  Sa’ad  ibnu  Abi Waqqas,  Abdullah  ibnu  Umar,  Shuhaih,  Zaid  ibnu  Tsabit,  dan Usamah ibnu Zaid.[30]

 

 

F.     Akhir Masa Pemerintahan Khalifatur Al-Rasydin

Di sisi lain, muncul konflik antara Ali dan beberapa orang sahabat yang dikomandani oleh Aisyah, Ummul Mukminin. Puncak konflik ini menyebabkan meletusnya Perang Jamal (Perang Unta). Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai unta. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang berada di pihak Aisyah gugur, sedangkan Aisyah tertawan. Pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah mengakibatkan pecahnya Perang Shiffin pada 37 H. Pasukan Ali yang berjumlah sekitar 95 ribu orang melawan 85 ribu orang pasukan Muawiyah. Ketika peperangan hampir berakhir, pasukan Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Namun sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin Ash mengangkat mushaf Alquran menyatakan damai.

Terpaksa Ali memerintahkan pasukannya untuk menghentikan peperangan, dan terjadilah gencatan senjata. Akibat kebijakan Ali itu, pasukannya pecah menjadi tiga bagian. Kelompok yang tetap mendukungnya. Kelompok yang menyatakan mengundurkan diri. Dan kelompok Khawarij yang memisahkan diri serta menyatakan tidak senang dengan tindakan Ali. Kelompok ketiga inilah yang akhirnya memberontak, dan menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap Ali sebagai khalifah, Muawiyah sebagai penguasa Suriah dan Amr bin Ash sebagai penguasa Mesir. Mereka berencana membunuh ketiga pemimpin itu. Untuk mewujudkan rencana tersebut, mereka menyuruh Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Ali bin Abi Thalib di Kufah, Amr bin Bakar bertugas membunuh Amr bin Ash di Mesir dan Hujaj bin Abdullah ditugaskan membunuh Muawiyah di Damaskus.

Hujaj tidak berhasil membunuh Muawiyah lantaran dijaga ketat oleh pengawal. Sedangkan Amr bin Bakar tanpa sengaja membunuh Kharijah bin Habitat yang dikiranya Amr bin Ash. Saat itu Amr bin Ash sedang sakit sehingga yang menggantikannya sebagai imam sholat adalah Kharijah. Akibat perbuatannya, Kharijah pun dibunuh pula. Sedangkan Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali yang saat itu tengah menuju masjid. Beliau gugur sebagai syuhada di dekat pintu masjid Kufah. Saat itu Ali sedang bersiap untuk melaksanakan sholat fajar, setelah melewati jalan-jalan kota untuk membangunkan penduduk. Dia memanggil mereka dengan suaranya yang mulia, "Bangunlah wahai kaum muslimin, marilah kita sholat, semoga Allah memberi kalian rahmat,".

Saat itu dengan mengendap-endap di kegelapan malam, Abdurrahman bin Muljam mendekati Ali. Ali saat itu tidak memiliki pengawal sehingga pembunuhan gelap terhadapnya tentu hal yang mudah, tidak membutuhkan waktu dan keberanian lebih. Saat itu juga, dia menikam Ali bin Abi Thalib. Amirul Mukminin telah menemui sang Khaliq karena tusukan pedang beracun seperti halnya Umar bin khatab.

Setelah bagian kepala Ali ditetak dengan pedang, ia segera dibawa kerumahnya. Ketika dia harusnya meminta pertolongan, Ali justru meminta orang-orang yang membawanya untuk kembali ke masjid melaksanakan sholat fajar sebelum habis waktunya. Pembunuhan tersebut terjadi pada Jumat Subuh 18 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Khalifah Ali wafat pada Sabtu, 19 Ramadhan 40 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Syahidnya Ali bin Abi Thalib menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.[31]

 

 

 

 


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Pada  masa  pemerintahan  Khulafaur  Rasyidin,  khalifah  di  pilih berdasarkan musyawarah. Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah melalui pertemuan saqifah atas usulan umar. Problem besar yang dihadapi Abu Bakar ialah munculnya nabi palsu dan kelompok ingkar zakat serta munculnya kamum murtad Musailimah bin kazzab beserta pengikutnya menolak. membayar zakat dan murtad dari islam yang mengakibatkan terjadinya perang Yamamah Utsman dibunuh oleh kaum yang tidak puas akan kebijakannya yang mengangkat  pejabat  dari  kaumnya  sendiri  (Bani  Umayah).  Setelah Utsman  wafat  umat  islam  membaiak Ali  menjadi  khalifah  pengganti utsman. Setelah Ali meninggal berakhirlah masa Khulafaur  Rasyidin.

 

B.     Saran

Kami  bangga  sekaligus  kagum  atas  perjuangan-perjuangan  yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin. Tapi yang di sayangkan pada masa pemerintahan salah satu dari Khulafaur  Rasyidin  ialah:  Para aparatur Negara di ambil dari kalangan keluarga Khalifah, dan ketidak tegasan dalam memutuskan/menyelesaikan masalah,            sehingga berdampak negatif di era globalisasi ini

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adnan, Muhammad, Wajah Islam Periode Makkah-Madinah, Vol. 5 (Cendikia: Jurnal Study Keislaman, 2019)

Aizid, Rizem, Sejarah Peradaban Islam Lengkap (Yogyakarta: Diva Press, 2021)

Al-‘Usairi, Ahmad, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media, 2003)

Al-Baladzuri, Futuhul Buldam, Jilid V (Mesir: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah)

Al-Maududi, Abdul A’la, Al-Khilafah Wa-Al Mulk, (Tej) Khilafah Dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1996)

Al-Mubarakfury, Syaikh Shaifurrahman, Sirah Nabawiyah (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2005)

Ali, K., Sejarah Islam: Tarikh Pramodern (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1991)

Aziz, Abd, and Saihu Saihu, ‘Interpretasi Humanistik Kebahasaan: Upaya Kontekstualisasi Kaidah Bahasa Arab’, Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, 3.2 (2019)

Bakri, Syamsul, Peta Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011)

Dr. Siti Zubaidah, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, Sejarah Peradaban Islam (Medan: Perdana Publishing, 2016), i

Haikal, Muhammad Husein, Umar Bin Khatthab Sebuah Teladan Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam Dan Kedaulatannya Dimasa Itu (Bogor: Pustaka Lintera AntarNusa, 2002)

Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 2016)

Hassan, Hassan Ibrahim, Tarikhul-Islam, As-Siyasi Ad-Dini As-Safaqi Al-Ijtima’I (Kairo: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, 1979)

M.A., Prof. Dr. H. Faisal Ismail, Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M) (Yogyakarta: IRCISOD, 2017)

Majeed, Mun’in, Tarikh Al-Hadarah Al-Islamiyah (Mesir: Angelo, 1965)

Musyfifah, Athiyah Musthafa, Al-Qadha Fi Al-Islam, cet 1 (Asy-Syarqul Austh)

Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. Cetakan Ke-5 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)

Pulungan, Suyuti, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2018)

R., Zulfikar, A., Saihu, Ismail, & Wekke I. S, Ronaldo, ‘International Relations of the Asia Pacific in the Age of Trump’, Journal of Environmental Treatment Techniques, 8(1) (2020)

Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996)

Rahman, Samson, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003)

Sulthon Mas’ud, S.Ag, M.Pd.I, ‘Sejarah & Peradaban Islam’, SEJARAH PERADABAN ISLAM, 2014

Tejomukti, Ratna Ajeng, ‘Kisah Meninggal Ali Bin Abi Thalib’, Pepublika, 2020 <https://republika.co.id/berita/q9klgn430/kisah-meninggalnya-ali-bin-abi-thalib-di-bulan-ramadhan> [accessed 12 March 2022]

Wahab, Abd., ‘Alokasi Belanja Negara (Studi Komperasi Era Rasulullah Dan Khulafaur Rasyidin Dengan Era Pemerintahan Jokowi Per. 2014-2019)’, Jurnal Studi Keislaman, 5 (2019)

 

 



[1] Muhammad Adnan, Wajah Islam Periode Makkah-Madinah, Vol. 5 (Cendikia: Jurnal Study Keislaman, 2019), p. 95.

[2] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), p. 26.

[3] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), pp. 363–64.

[4] Abdul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah Wa-Al Mulk, (Tej) Khilafah Dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1996), p. 58.

[5] M.Ag. Dr. Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah Peradaban Islam (Medan: Perdana Publishing, 2016), i, p. 34.

[6] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. Cetakan Ke-5 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), pp. 102–6.

[7] Dr. Siti Zubaidah, i, p. 42.

[8] Ahmad Al-‘Usairi, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media, 2003), p. 144.

[9] Suyuti Pulungan, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), p. 123.

[10] Suyuti Pulungan, pp. 126–27.

[11] Abd. Wahab, ‘Alokasi Belanja Negara (Studi Komperasi Era Rasulullah Dan Khulafaur Rasyidin Dengan Era Pemerintahan Jokowi Per. 2014-2019)’, Jurnal Studi Keislaman, 5 (2019), p. 77.

[12] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikhul-Islam, As-Siyasi Ad-Dini As-Safaqi Al-Ijtima’I (Kairo: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, 1979), p. 210.

[13] Dr. Siti Zubaidah, i, p. 45.

[14] Mun’in Majeed, Tarikh Al-Hadarah Al-Islamiyah (Mesir: Angelo, 1965), p. 28.

[15] Syaikh Shaifurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2005), p. 138.

[16] Dr. Siti Zubaidah, i, p. 45.

[17] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Lengkap (Yogyakarta: Diva Press, 2021), p. 207.

[18] Ronaldo R., Zulfikar, A., Saihu, Ismail, & Wekke I. S, ‘International Relations of the Asia Pacific in the Age of Trump’, Journal of Environmental Treatment Techniques, 8(1) (2020), pp. 244–46.

[19] Abd Aziz and Saihu Saihu, ‘Interpretasi Humanistik Kebahasaan: Upaya Kontekstualisasi Kaidah Bahasa Arab’, Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, 3.2 (2019), p. 299.

[20] Muhammad Husein Haikal, Umar Bin Khatthab Sebuah Teladan Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam Dan Kedaulatannya Dimasa Itu (Bogor: Pustaka Lintera AntarNusa, 2002), p. 45.

[21] M.Pd.I Sulthon Mas’ud, S.Ag, ‘Sejarah & Peradaban Islam’, SEJARAH PERADABAN ISLAM, 2014, p. 64.

[22] Samson Rahman, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), p. 165.

[23] K. Ali, Sejarah Islam: Tarikh Pramodern (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1991), pp. 122–23.

[24] Al-Baladzuri, Futuhul Buldam, Jilid V (Mesir: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah), pp. 25–26.

[25] Adnan, pp. 97–98.

[26] Athiyah Musthafa Musyfifah, Al-Qadha Fi Al-Islam, cet 1 (Asy-Syarqul Austh), p. 104.

[27] Prof. Dr. H. Faisal Ismail M.A., Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M) (Yogyakarta: IRCISOD, 2017).

[28] J. Suyuthi Pulungan, p. 152.

[29] M.A., pp. 234–35.

[30] Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 2016), p. 179.

[31] Ratna Ajeng Tejomukti, ‘Kisah Meninggal Ali Bin Abi Thalib’, Pepublika, 2020 <https://republika.co.id/berita/q9klgn430/kisah-meninggalnya-ali-bin-abi-thalib-di-bulan-ramadhan> [accessed 12 March 2022].

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM || PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM MASA KHULAFA’ AL-RASYDIN"

Posting Komentar