MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM || PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM MASA KHULAFA’ AL-RASYDIN
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun
merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Bandar Lampung, 12 Maret 2022
Penyusun
DAFTAR ISI
A. Pengertian Khulafa’ Al-Rasyidin
B. Masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
C. Masa Umar Bin Khatthab (13-23 H/634-644 M)
D. Masa Utsman Bin Affan (23-36 H/644-656 M)
E. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 H)
F. Akhir Masa Pemerintahan Khalifatur
Al-Rasydin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ketika islam diperkenalkan sebagai pola
dasar, kaum Muslim telah dijanjikan oleh Al–Quran akan menjadi komunitas
terbaik dipanggung sejarah bagi sesama umat manusia lainnya. Akibatnya
diterimanya dorongan ajaran seperti ini, secara tidak langsung telah memberikan
produk pandangan bagi mereka sendiri untuk melakukan permainan budaya sebaik
mungkin.Terdapat banyak perspektif dalam membaca banyak fakta sejarah, terutama
terhadap sejarah peradaban umat Islam.
Perbedaan cara pandang tersebut sebagai
akibat dari khazanah pengetahuan tentang sejarah yang berbeda. Hal itu dipicu
dari keberagaman teori sejarah. Lebih–lebih sejarah islam yang sebagian besar
adalah sejarah tentang polotik dan kekuasaan yang berujung pada kepentingan
kelompok maupun individual semata. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang
dicintai oleh yang dipimpinnya, sehingga pikirannya selalu didukung,
perintahnya selalu di ikuti dan rakyat membelanya tanpa diminta terlebih
dahulu.
Figur kepemimpinan yang mendekati penjelasan
tersebut adalah Rasulullah beserta para sahabatnya (khulafaur Rasyidin).
Wafatnya Nabi Muhammad sebagai pemimpin agama maupun Negara menyisakan persoalan
pelik. Nabi tidak meninggalkan wasiat kepada seorangpun sebagai penerusnya.
Akibatnya terjadilah perselisihan, masing-masing kelompok mengajukan wakilnya
untuk dijadikan sebagai penerus serta pengganti Nabi Muhammad untuk memimpin
umat. Akhirnya muncullah kholifah rasyidiyah, yang terdiri dari Abu bakar,
Umar, Ustman, dan Ali yang memimpin secara bergantian. Dalam prosesnya banyak
sekali peristiwaperistiwa yang terjadi dan patut dipelajari sebagai landasan
sejarah peradaban islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa itu khulafa’ Al-Rasyidin?
2. Siapa saja yang menjadi khulafa’ Al-Rasyidin?
3. Apa saja kebijakan pemerintah pada masa khulafa’
Al-Rasyidin?
4. Bagaimana perkembangan peradaban islam pada masa itu?
5. Bagaimana akhir masa khulafa’ Al-Rasyidin?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah peradaban islam pada masa setelah
wafatnya Rasullulah SAW.
2. Mengetahui siapa saja yang menjadi khulafa’ Al-Rasyidin.
3. Mengetahui bagaimana kepemipinan khulafa’ Al-Rasyidin.
4. Mengetahui seberaapa lama masa kepemimpinan khulafa’
Al-Rasyidin.
5. Untuk mengetahui akhir dari masa kepemimpinan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Khulafa’ Al-Rasyidin
Pasca Nabi Muhammad SAW. wafat, status
sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun, akan tetapi kedudukan
Rasulullah SAW. Sebagai pemimpin kaum muslimin harus tergantikan, sebagaimana
diketahui dalam sejarah bahwa pengganti tersebut dinamakan “Khulafaur
Rasyidin,”yang terdiri dari dua kata, “al-khulafa” bentuk jama’ dari
“khalifah” yang berarti “pengganti,” dan “ar-Rasyidin” ialah berarti
“benar, halus, arif, pintar, dan bijaksana”.[1]
Jika digabungkan, Khulafaur Rasyidin ialah berarti para
(pemimpin) pengganti Rasulullah SAW. yang arif dan bijaksana. Akan tetapi perlu
diketahui bahwa jabatan sebagai khalifah disini bukanlah jabatan warisan turun
menurun sebagaimana yang dilakukan oleh para raja Romawi dan Persia, namun
dipilih secara demokratis. Pada masa khulafaur rasyidin terhitung selama 30
tahun, yang terdiri dari empat khalifah.[2]
Menurut Dawam Raharjo, khalifah yakni kepala
Negara dalam pemerintahan Islam, memang merupakan istilah al-Quran. Tetapi
dalam al-Qur’an istilah ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh
karenanya kata-kata yang mengandung istilah pengertian khalifah tersebut tidak
dapat dijadikan dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khilafah atau
kekuasaan politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan satu konsep
tentang manusia, yaitu sebagai khalifah. Khalifah adalah suatu fungsi yang di
emban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah SWT. Amanat ini
pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertanggung jawab, dengan
menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.[3]
Abu A’-la Al-Maududi yang menggagas teori teodemokrasi dalam Islam memandang
kekhilafahan menuntut adanya ketaatan antara yang diberi (manusia) dengan yang
memberi (Tuhan). Maududi
juga menekankan bahwa kekhalifahan harus berisi kepatuhan, dan kepatuhan itu
tidak lain adalah kepada sang pencipta dan sistem pemerintahan yang memalingkan
diri dari Allah SWT. menjadi sistem yang lepas dan bebas memerintah dengan dan
untuk dirinya sendiri adalah pemberontakan atau kudeta melawan sang pencipta.[4]
Pada masa Khulafaur Rasyidin ini ada 4 sahabat Rasullulah
yang memimpin setelah kewafatan beliau. Berikut 4 sahabat Rasullulah yang
menjadi Khulafaur Rasyidin.
B. Masa
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah
bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian
diganti oleh nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang
utama. Diberi julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk
orang laki-laki yang masuk Islam pertama kali. Sedangkan gelar Ash-Shidiq
diperoleh karena beliau senantiasa membenarkan semua hal yang dibawa Nabi SAW
terutama pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj.[5]
Seringkali mendapingi rasulullah di saat
penting atau jika berhalangan, Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti
untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan
actual di Madinah.
a. Terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pengangkatan Abu Bakar ash-Shiddiq menduduki
jabatan khalifah merupakan kesepakan antara kaum Ansor dan kaum Muhajirin
melalui proses musyawarah yang sangat demokratis di Balai Tsaqifah Bani Sa’idah
di Madinah setelah Nabi Muhammad wafat.[6]
Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar berlangsung
hanya 2 tahun 3 bulan 11 hari. Masa tersebut merupakan waktu yang paling
singkat bila dibandingkan dengan kepemimpinan Khalifah-Khalifah penerusnya.
Meski demikian beliau dapat disebut sebagai penyelamat dan penegak agama Allah
di muka bumi. Dengan sikap kebijaksanaannya sebagai kepala negara dan
ke-tawadhu’an-nya kepada Allah serta agamanya, beliau dapat menghancurkan
musuh-musuh yang merongrong agama Islam bahkan dapat memperluas wilayah Islam
keluar Arabia.[7]
Sebelum terpilihnya Abu Bakar sebagai
khalifah, pada mulanya terjadi pendapat atau usulan oleh kaum Anshar dan
Muhajirin yang sama-sama di antara
dua kaum tersebut
menginginkan seorang khalifah dari
kalangan mereka. Akan
tetapi kemudian usulan
itu ditolak dengan tegas,
sehingga di antara
mereka menyimpulkan bahwa kaum
muhajirin memang lebih berhak untuk mengendalikan kekuasaan ini, dan semua
sepakat, maka Umar bin Khattab maju dan membaiat Abu Bakar yang kemudian
dibaiat oleh semua yang hadir di tsaqifah.[8]
Kemudian Abu Bakar menyatakan pidatonya, “taatlah
kalian kepadaku sepanjang aku taat kepada Allah dan Rasulnya di tengah kalian,
jika aku bermaksiat maka tidak wajib kalian taat kepadaku.” Setelah
pembaitan dan pernayataan beliau tersebut, dengan demikian, maka pasca
Rasulullah SAW. wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sebagai khalifah
Islam terpilih yang
pertama, yakni menjadi pemimpin.[9]
b. Pencapaian pada masa Khalifah Abu Bakar
Dalam
masa pemerintahan Abu
Bakar Ash-Shiddiq cukup terbilang banyak
menghadapi persoalan-persoalan di dalam
negeri yang berasal dari kelompok murtad nabi palsu, dan pembangkang zakat.
Berdasarkan hasil musyawarah dengan
para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi
kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai perang Riddah (perang
melawan kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan
dalam negeri, Abu Bakar
mulai melakukan ekspansi
ke wilayah utara untuk
menghadapi pasukan Romawi
dan Persia yang
selalu mengancam kedudukan
umat Islam. Namun,
ia meninggal dunia sebelum misi ini selesai dilakukan.
Berikut
ini mengenai peradaban yang berkembang pada masa pemerintahan Abu Bakar yang
berlangsung selama dua tahun tiga bulan:[10]
a. Membudayakan
musyawarah yang lebih
demokratis dalam pemerintahan
dan masyarakat
b. Menumbuhkan
loyalitas umat islam
dan tentara kepada pemerintah yang
memberi dukungan atas
semua kebijakan khalifah.
c. Membudayakan musyawarah dalam menyikapi setiap masalah yang
timbul
d. Membangun pemerintah yang tertib di pusat dan di daerah
e. Membangun milter yang disiplin dan tangguh di medan tempur
f.
Menyusun mushaf al-Qur’an seperti yang dimiliki umat Islam sekarang
g. Menyejahterakan rakyat secara adil dengan membangun baitul mall serta memperbadayakan zakat, infaq, serta ghanimah dan jizyah.
Dengan demikian, selama pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, harta Bait Al-Māl tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu
yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh
kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat, hanya
ditemukan
1 dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum
Muslimin diberikan bagian yang
sama
dari hasil
pendapatan negara.[11]
C. Masa Umar
Bin Khatthab (13-23 H/634-644 M)
Umat bin Khatthab nama lengkapnya
adalah Umar Bin Khatthab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-Quraisy dari suku
Adi; salah satu suku yang terpandang mulia. Umar dilahirkan di Mekah empat
tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih
dan adil serta pemberani. Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian,
dan menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi SAW serta dijadikan sebagai tempat
rujukan oleh nabi mengenai hal-hal yang penting.[12]
Sebelum masuk Islam, dia adalah
seorang orator yang ulung, pegulat tangguh, dan selalu diminta sebagai wakil
sukunya bila menghadapi konflik dengan suku Arab yang lainnya. Terkenal sebagai
orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam, punya ketabahan dan kemauan
keras, tidak mengenal bingung dan ragu. Ia masuk Islam setelah mendengar
ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh adiknya (Fatimah binti Khattab), padahal
ketika itu ia hendak membunuh adiknya karena mengikuti ajaran Nabi.[13]
Umar bin Khatthab menyebut dirinya
“Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti Rasulullahh). Ia juga
mendapat gelar Amir Al- Mukminin (komandan orang-orang beriman)
sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa
pemerintahannya.[14]
Ia salah satu satu dari 17 orang Mekkah yang terpelajar Ketika kenabian
dianugerahkan kepada Nabi Muhammad saw.[15]
Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau
telah menunjuk Umar sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-
tokoh terkemuka dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin
Affan, dan Tolhah bin Ubaidillah. Masa pemerintahan Umar bin Khatab berlangsung
selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13 H/634M sampai tahun 23H/644M.
Beliau wafat pada usia 64 tahun. Selama masa pemerintahannya oleh Khalifah Umar
dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperluas kekuasaan ke seluruh
Semenanjung Arabia.[16]
Selama
mengemban amanah sebagai khalifah, Umar bin Khathab telah berperan besar bagi
perkembangan dan kejayaan Islam di kemudian hari, khususnya dalam pembentukan
hukum dan aturan Islam, sekaligus penaklukan dan penyebaran ajaran Islam hingga
negeri-negeri yang jauh; wilayah-wilayah Amshar yang sebelumnya tak tersentuh
(mulai dari Atlantik, Afrika Utara, Mesir, Nubia, Mediterania Timur (Syam),
Anatolia, Persia, hingga Asia Tengah).[17]
a. Kemajuan-Kemajuan Yang Dicapai Umar Bin Khattab
Selama
pemerintahan Umar, kekuasaan
Islam tumbuh dengan sangat
pesat. Islam mengambil
alih Mesopotamia dan sebagian
Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia
(yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir,
Palestina, Syiria, Afrika
Utara dan Armenia
dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Saat itu ada
dua negara adi
daya yaitu Persia dan
Romawi. Namun keduanya
telah ditaklukkan islam pada jaman Umar. Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini.
Pada pertempuran Yarmuk, yang
terjadi di dekat
Damaskus. 20 ribu
pasukan Islam mengalahkan pasukan
Romawi yang mencapai
70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil
bagian selatan.
Umar melakukan banyak reformasi secara
administratif dan mengontrol
daridekat kebijakan publik,
termasuk membangun sistem
administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus
di seluruh wilayah kekuasaan Islam.Tahun 638, ia
memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan
Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam. Umar
dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan
penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.[18]
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan
keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa
hijrah. Ada beberapa perkembangan peradaban Islam
pada masa khalifah Umar bin
Khatthab, yang meliputi Sistem pemerintahan (politik), ilmu pengetahuan,
sosial, seni, dan agama. Sebagaimana dijelaskan berikut:
a. Pada masa khalifah
Umar bin khatab,
kondisi politik islam dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam
memperoleh hasil yang gemilang.
b. Membentuk dewan-dewan Negara Guna menertipkan
jalannya administrasi pemerintahan.[19]
c. Perkembangan Ekonomi. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, dan setelah Khalifah Umar mengatur administrasi negara
dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang
terutama di Persia.
d. Perkembangan Pengetahuan.[20]
D. Masa Utsman
Bin Affan (23-36 H/644-656 M)
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan,
Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku
Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang
sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian
besar kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun
nurain, artinya yang memiliki dua cahaya, karena menikahi dua putri Nabi
SAW. secara
berurutan setelah salah satu meninggal. Seperti halnya Umar, Utsman diangkat
menjadi khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya, Umar dipilih atas
penunjukan langsung sedangkan Utsman diangkat atas penunjukan tidak langsung,
yaitu melewati badan Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.[21]
Pengorbanan Utsman bin Affan terhadap Islam
dan kaum Muslimis tidak hanya dalam bentuk harta, melainkan lebih dari itu,
jiwa dan pikirannya dicurahkan deni pengembangan syi’ar Islam dan keselamatan
kaum Muslimin.[22]
Utsman bin Affan adalah khalifah pertama yang melakukan perluasan Masjidil
Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah),karena semakin ramainya umat Islam
yang menjalankan rukun Islam kelima. Umtuk pertama kalinya, Islam mempunyai
armada laut yang Tangguh. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang menguasai wilayah
Syria, Palestina, dan Libanon, membangun armada itu.
Enam tahun
pertama pemerintahan Ustman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan
Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai
pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbeizan dan Armenia selanjutnya
meluas pada Asia kecil dan negeri Cyprus.[23]
Pasca
Umar bin Khattab
wafat, orang-orang yang
dipilih Umar sebelumnya (pada saat sakit) membentuk sebuah tim formatur yang
terdiri dari enam orang calon untuk diangkat sebagai khalifah baru, yaitu
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi
Waqqash, dan Abdullah. Adapun tim
formatur ini dikepalai
oleh Abdurrahman ibnu
Auf dan mereka berkumpul dalam salah satu rumah
selama tiga hari pemilihan ini hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak
dipilih.
Melalui persaingan yang agak ketat dengan
Ali, sidang Syura akhirnya memberi mandat
kekhalifaan kepada Utsman. Masa pemerintahan
Utsman ialah merupakan masa pemerintahan terpanjang yaitu
selama 12 tahun
(24-36 H/644-656 M),
tetapi sejarah mencatat tidak
seluruh masa kekuasaannya
menjadi saat yang baik dan sukses
baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan Utsman
menjadi dua periode
yaitu enam tahun. Utsman menjabat sebagai khalifah pada
usia 70 tahun hingga usia 82 tahun. Masa kekhalifahan Utsman adalah yang paling
lama diantara ketiga khalifah lainnya.[24]
\
a. Pencapaian pada masa Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa khalifah Utsman bin Affan terdapat
ketidakseragaman qira’at dan
menimbulkan perpecahan, sehinga pada
saat itu dipandang
perlu untuk ditertibkan.
Orang pertama yang mensinyalir
adanya perpecahan adalah sahabat Huzaifah ibnu Yaman. Kemudian
Huzaifah melaporkan kepada
Utsman agar segera mengambil
langkah-langkah untuk menertibkannya. Usul ini diterima oleh Utsman dan beliau
mengambil langkah antara lain: Meminjam naskah yang telah ditulis oleh Zaid bin
Tsabit pada masa Abu Bakar yang
disimpan oleh Hafshah binti Umar.
Kemudian membentuk panitia yaitu
Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id
ibnu Ash, Abdurrahman
ibnu Harits. Utsman
memberikan tugas kepada mereka untuk menyalin kembali ayat-ayat
Al-Qur`an dari lembaran-lembaran naskah
Abu Bakar sehingga
menjadi mushaf yang sempurna.[25]
Sehingga
pada akhirnya, seiring
berjalannya waktu para panitia berhasil mengumpulkan dan
menghimpun semua Al-Qur`an kedalam
sebuah mushaf yang
dikenal dengan sebutan
Mushaf Usmani. Sesuai dengan tujuan awal pengumpulan
dan penghimpunan ini untuk mempersatukan semua umat islam yang sempat terpecah belah karena
adanya perbedaan dalam pembacaan ayat Al-Qur`an, maka khalifah Utsman bin Affan
memerintahkan kepada semua gubernurnya untuk menghancurkan semua mushaf
yang ada ditengah-tengah masyarakat
dan digantikan dengan Mushaf Usmani.
Selain itu khalifah Utsman juga begitu
menjunjung tinggi nilai keadilan dalam memutuskan suatu perkara hukum, seperti ketika
beliau menganjurkan kepada
petugas-petugas qadhi nya
yang berada di daerah untuk menjalankan tugasnya agar mereka selalu
berlaku adil demi
terciptanya kebenaran[26]
Sementara
pencapaian beliau tidak
sampai disitu, bahkan beliau meninggalkan jejak
peradaban yang bermakna
dalam kehidupan manusia saat itu hingga sekarang, antara lain:[27]
a. Membudayakan sistem musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
b. Menyeragamkan cara membaca al-Qur’an yang ditandai dengan penyusunan
ayat-ayatnya dalam satu mushaf.
c. Membangun fasilitas umum
d. Menertibkan administrasi pemerintahan dengan deskripsi pekerjaan yang jelas
E. Masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 M)
Khalifah
Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang dikenal sebagai orang
yang alim, cerdas dan taat beragama. Beliau juga saudara sepupu Nabi SAW. (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang menjadi
menantu Nabi SAW.,
suami dari putri Rasulullah yang bernama Fathimah. Khalifah Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Nabi
Muhammad SAW, semenjak kecil diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, kemudian
setelah kakeknya meninggal diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Ali adalah seorang
yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan.
Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang
jauh ke depan.
Selain nama yang banyak diketahui umat
Islam, Ali memiliki nama lain yang patut diketahui. Salah satu gelar itu adalah
Abu Turab. Istilah “Abu” dalam bahasa Arab berarti bapak dan “Turab” berarti tanah. Dengan demikian, Abu Turab
berarti Bapak Tanah. Karena pemberian Rasulullah, Ali merasa senang saja dengan gelar itu.
Gelar lain yang diperoleh Ali adalah Abu al-Hasan karena ia memiliki
seorang anak yang bernama Hasan.[28]
Keberaniannya juga masyhur dan hampir
seluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada di barisan
terdepan. Ketika pada masa Kekhalifahan Abu Bakar, Rasulullah selalu mengajak
Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin Khattab
tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan
Ali. Utsman pun pada masa
permulaan jabatannya dalam
banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan.[29]
Terpilihnya Ali Menjadi Khalifah. Tentunya
suara terbanyak dan yang berkuasa setelah Utsman tergenggam di tangan kaum
pemberontak itu sendiri adalah Ali. Pada saat itu Ali medapatkan banyak
dukungan dari sahabat senior dan juga para pemberontak pada masa khalifah
Utsman. Orang yang pertama kali membaiat Ali adalah Thalhah kemudian diikuti
oleh zubair, dikemudian hari
diikuti oleh banyak
sahabat dari kaum muhajirin dan kaum Ansor.
Pada waktu pembaiatan Ali berpidato setelah
diangkat untuk menjadi khalifah, yaitu, “Wahai manusia, kamu telah membaiatku sebagaimana yang
telah kamu lakukan
kepada khalifah-khalifah yang
lebih dahulu daripadaku. Aku hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Apabila
pilihan telah jatuh, menolak tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat
harus patuh. Baiat terhadap diriku ini ialah baiat yang rata yang umum.
Barangsiapa yang memungkirinya maka terpisahlah ia dari agama Islam”.
Ada juga sahabat-sahabat yang masih belum
sudi mengakui Ali sebagai khalifah, yaitu Hasan ibnu Tsabit, Ka’ab ibnu Malik,
Abu Sa’id al-Khudri,
dan Muhammad ibnu
Maslamah. Ada juga yang tidak
sudi menunjukkan pendirian,
yaitu Sa’ad ibnu
Abi Waqqas, Abdullah ibnu
Umar, Shuhaih, Zaid
ibnu Tsabit, dan Usamah ibnu Zaid.[30]
F. Akhir
Masa Pemerintahan Khalifatur Al-Rasydin
Di sisi lain, muncul konflik antara Ali dan
beberapa orang sahabat yang dikomandani oleh Aisyah, Ummul Mukminin. Puncak
konflik ini menyebabkan meletusnya Perang Jamal (Perang Unta). Dinamakan
demikian karena Aisyah mengendarai unta. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam yang berada di pihak Aisyah gugur, sedangkan Aisyah tertawan. Pertentangan
politik antara Ali dan Muawiyah mengakibatkan pecahnya Perang Shiffin pada 37
H. Pasukan Ali yang berjumlah sekitar 95 ribu orang melawan 85 ribu orang
pasukan Muawiyah. Ketika peperangan hampir berakhir, pasukan Ali berhasil
mendesak pasukan Muawiyah. Namun sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin
Ash mengangkat mushaf Alquran menyatakan damai.
Terpaksa Ali memerintahkan pasukannya untuk
menghentikan peperangan, dan terjadilah gencatan senjata. Akibat kebijakan Ali
itu, pasukannya pecah menjadi tiga bagian. Kelompok yang tetap mendukungnya.
Kelompok yang menyatakan mengundurkan diri. Dan kelompok Khawarij yang memisahkan
diri serta menyatakan tidak senang dengan tindakan Ali. Kelompok ketiga inilah
yang akhirnya memberontak, dan menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap Ali
sebagai khalifah, Muawiyah sebagai penguasa Suriah dan Amr bin Ash sebagai penguasa
Mesir. Mereka berencana membunuh ketiga pemimpin itu. Untuk mewujudkan rencana
tersebut, mereka menyuruh Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Ali bin Abi
Thalib di Kufah, Amr bin Bakar bertugas membunuh Amr bin Ash di Mesir dan Hujaj
bin Abdullah ditugaskan membunuh Muawiyah di Damaskus.
Hujaj tidak berhasil membunuh Muawiyah
lantaran dijaga ketat oleh pengawal. Sedangkan Amr bin Bakar tanpa sengaja
membunuh Kharijah bin Habitat yang dikiranya Amr bin Ash. Saat itu Amr bin Ash
sedang sakit sehingga yang menggantikannya sebagai imam sholat adalah Kharijah.
Akibat perbuatannya, Kharijah pun dibunuh pula. Sedangkan Abdurrahman bin
Muljam berhasil membunuh Ali yang saat itu tengah menuju masjid. Beliau gugur
sebagai syuhada di dekat pintu masjid Kufah. Saat itu Ali sedang bersiap untuk
melaksanakan sholat fajar, setelah melewati jalan-jalan kota untuk membangunkan
penduduk. Dia memanggil mereka dengan suaranya yang mulia, "Bangunlah
wahai kaum muslimin, marilah kita sholat, semoga Allah memberi kalian rahmat,".
Saat itu dengan mengendap-endap di kegelapan
malam, Abdurrahman bin Muljam mendekati Ali. Ali saat itu tidak memiliki
pengawal sehingga pembunuhan gelap terhadapnya tentu hal yang mudah, tidak
membutuhkan waktu dan keberanian lebih. Saat itu juga, dia menikam Ali bin Abi
Thalib. Amirul Mukminin telah menemui sang Khaliq karena tusukan pedang beracun
seperti halnya Umar bin khatab.
Setelah bagian kepala Ali ditetak dengan
pedang, ia segera dibawa kerumahnya. Ketika dia harusnya meminta pertolongan,
Ali justru meminta orang-orang yang membawanya untuk kembali ke masjid
melaksanakan sholat fajar sebelum habis waktunya. Pembunuhan tersebut terjadi
pada Jumat Subuh 18 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Khalifah Ali wafat pada Sabtu,
19 Ramadhan 40 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Syahidnya Ali bin Abi Thalib
menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.[31]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin, khalifah di
pilih berdasarkan musyawarah. Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diangkat
menjadi khalifah melalui pertemuan saqifah atas usulan umar. Problem besar yang
dihadapi Abu Bakar ialah munculnya nabi palsu dan kelompok ingkar zakat serta
munculnya kamum murtad Musailimah bin kazzab beserta pengikutnya menolak.
membayar zakat dan murtad dari islam yang mengakibatkan terjadinya perang Yamamah Utsman dibunuh oleh kaum yang tidak puas akan kebijakannya yang mengangkat pejabat dari kaumnya sendiri (Bani Umayah). Setelah Utsman wafat umat islam membaiak Ali menjadi khalifah pengganti
utsman. Setelah Ali meninggal
berakhirlah masa Khulafaur
Rasyidin.
B. Saran
Kami
bangga sekaligus kagum
atas perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin. Tapi
yang di sayangkan pada masa pemerintahan salah satu dari Khulafaur Rasyidin
ialah: Para aparatur Negara di
ambil dari kalangan keluarga Khalifah, dan ketidak tegasan dalam
memutuskan/menyelesaikan masalah, sehingga
berdampak negatif di era globalisasi ini
DAFTAR PUSTAKA
Adnan,
Muhammad, Wajah Islam Periode Makkah-Madinah, Vol. 5 (Cendikia: Jurnal
Study Keislaman, 2019)
Aizid,
Rizem, Sejarah Peradaban Islam Lengkap (Yogyakarta: Diva Press, 2021)
Al-‘Usairi,
Ahmad, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media, 2003)
Al-Baladzuri,
Futuhul Buldam, Jilid V (Mesir: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah)
Al-Maududi,
Abdul A’la, Al-Khilafah Wa-Al Mulk, (Tej) Khilafah Dan Kerajaan
(Bandung: Mizan, 1996)
Al-Mubarakfury,
Syaikh Shaifurrahman, Sirah Nabawiyah (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2005)
Ali,
K., Sejarah Islam: Tarikh Pramodern (Jakarta: Raja Grafindi Persada,
1991)
Aziz,
Abd, and Saihu Saihu, ‘Interpretasi Humanistik Kebahasaan: Upaya
Kontekstualisasi Kaidah Bahasa Arab’, Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab,
3.2 (2019)
Bakri,
Syamsul, Peta Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press,
2011)
Dr.
Siti Zubaidah, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, Sejarah Peradaban
Islam (Medan: Perdana Publishing, 2016), i
Haikal,
Muhammad Husein, Umar Bin Khatthab Sebuah Teladan Mendalam Tentang
Pertumbuhan Islam Dan Kedaulatannya Dimasa Itu (Bogor: Pustaka Lintera
AntarNusa, 2002)
Hamka,
Sejarah Umat Islam (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 2016)
Hassan,
Hassan Ibrahim, Tarikhul-Islam, As-Siyasi Ad-Dini As-Safaqi Al-Ijtima’I
(Kairo: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, 1979)
M.A.,
Prof. Dr. H. Faisal Ismail, Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik
(Abad VII-XII M) (Yogyakarta: IRCISOD, 2017)
Majeed,
Mun’in, Tarikh Al-Hadarah Al-Islamiyah (Mesir: Angelo, 1965)
Musyfifah,
Athiyah Musthafa, Al-Qadha Fi Al-Islam, cet 1 (Asy-Syarqul Austh)
Pulungan,
J. Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. Cetakan Ke-5
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
Pulungan,
Suyuti, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2018)
R.,
Zulfikar, A., Saihu, Ismail, & Wekke I. S, Ronaldo, ‘International
Relations of the Asia Pacific in the Age of Trump’, Journal of Environmental
Treatment Techniques, 8(1) (2020)
Raharjo,
M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996)
Rahman,
Samson, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2003)
Sulthon
Mas’ud, S.Ag, M.Pd.I, ‘Sejarah & Peradaban Islam’, SEJARAH PERADABAN
ISLAM, 2014
Tejomukti,
Ratna Ajeng, ‘Kisah Meninggal Ali Bin Abi Thalib’, Pepublika, 2020
<https://republika.co.id/berita/q9klgn430/kisah-meninggalnya-ali-bin-abi-thalib-di-bulan-ramadhan>
[accessed 12 March 2022]
Wahab,
Abd., ‘Alokasi Belanja Negara (Studi Komperasi Era Rasulullah Dan Khulafaur
Rasyidin Dengan Era Pemerintahan Jokowi Per. 2014-2019)’, Jurnal Studi
Keislaman, 5 (2019)
[1] Muhammad Adnan, Wajah
Islam Periode Makkah-Madinah, Vol. 5 (Cendikia: Jurnal Study Keislaman,
2019), p. 95.
[2] Syamsul Bakri, Peta
Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), p. 26.
[3] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi
Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta:
Paramadina, 1996), pp. 363–64.
[4] Abdul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah Wa-Al Mulk, (Tej) Khilafah Dan Kerajaan (Bandung:
Mizan, 1996), p. 58.
[5] M.Ag. Dr. Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah
Peradaban Islam (Medan: Perdana Publishing, 2016), i, p. 34.
[6] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. Cetakan Ke-5 (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002), pp. 102–6.
[7] Dr. Siti Zubaidah, i,
p. 42.
[8] Ahmad Al-‘Usairi, Sejarah
Islam (Jakarta: Akbar Media, 2003), p. 144.
[9] Suyuti Pulungan, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), p. 123.
[10] Suyuti Pulungan, pp. 126–27.
[11] Abd. Wahab, ‘Alokasi Belanja Negara (Studi Komperasi
Era Rasulullah Dan Khulafaur Rasyidin Dengan Era Pemerintahan Jokowi Per.
2014-2019)’, Jurnal Studi Keislaman,
5 (2019), p. 77.
[12] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikhul-Islam, As-Siyasi Ad-Dini As-Safaqi Al-Ijtima’I (Kairo:
Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, 1979), p. 210.
[13] Dr. Siti Zubaidah, i,
p. 45.
[14] Mun’in Majeed, Tarikh
Al-Hadarah Al-Islamiyah (Mesir: Angelo, 1965), p. 28.
[15] Syaikh Shaifurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah (Jakarta: Pustaka
Al-Kausar, 2005), p. 138.
[16] Dr. Siti Zubaidah, i,
p. 45.
[17] Rizem Aizid, Sejarah
Peradaban Islam Lengkap (Yogyakarta: Diva Press, 2021), p. 207.
[18] Ronaldo R., Zulfikar, A., Saihu, Ismail, & Wekke
I. S, ‘International Relations of the Asia Pacific in the Age of Trump’, Journal of Environmental Treatment
Techniques, 8(1) (2020), pp. 244–46.
[19] Abd Aziz and Saihu Saihu, ‘Interpretasi Humanistik
Kebahasaan: Upaya Kontekstualisasi Kaidah Bahasa Arab’, Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, 3.2 (2019), p. 299.
[20] Muhammad Husein Haikal, Umar Bin Khatthab Sebuah Teladan Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam Dan
Kedaulatannya Dimasa Itu (Bogor: Pustaka Lintera AntarNusa, 2002), p. 45.
[21] M.Pd.I Sulthon Mas’ud, S.Ag, ‘Sejarah & Peradaban
Islam’, SEJARAH PERADABAN ISLAM,
2014, p. 64.
[22] Samson Rahman, Sejarah
Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2003), p. 165.
[23] K. Ali, Sejarah
Islam: Tarikh Pramodern (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1991), pp. 122–23.
[24] Al-Baladzuri, Futuhul
Buldam, Jilid V (Mesir: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah), pp. 25–26.
[25] Adnan, pp. 97–98.
[26] Athiyah Musthafa Musyfifah, Al-Qadha Fi Al-Islam, cet 1 (Asy-Syarqul Austh), p. 104.
[27] Prof. Dr. H. Faisal Ismail M.A., Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M)
(Yogyakarta: IRCISOD, 2017).
[28] J. Suyuthi Pulungan, p. 152.
[29] M.A., pp. 234–35.
[30] Hamka, Sejarah
Umat Islam (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 2016), p. 179.
[31] Ratna Ajeng Tejomukti, ‘Kisah Meninggal Ali Bin Abi
Thalib’, Pepublika, 2020
<https://republika.co.id/berita/q9klgn430/kisah-meninggalnya-ali-bin-abi-thalib-di-bulan-ramadhan>
[accessed 12 March 2022].
0 Response to "MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM || PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM MASA KHULAFA’ AL-RASYDIN"
Posting Komentar