MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM || ISLAM DAN PLURALISME AGAMA
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang
Masa Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Islam dan
Pluralisme Agama” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga
kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
nilai tugas dalam mata kuliah Metodologi Studi Islam. Selain itu, pembuatan
makalah ini juga bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan bagi para
pembaca.
Karena keterbatasan pengentahuan maupun pengalaman
maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi
para pembaca.
Wassalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh
Bandar Lampung, 26 April 2022
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
B. Pandangan Pluralisme dalam agama Islam
C. Pluralisme agama di Indonesia
D. Konsep Dasar Pluralisme Agama
E. Pandangan Islam Terhadap Pluralisme Agama
F. Al-Qur’an dan Pluralisme Keagamaan
G. Pengakuan Al-qur’an Terhadap Pluralisme Agama
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti
yang diketahui umum, Indonesia adalah salah satu negara dengan suku budaya,
adat istiadat, bahasa daerah yang tercatat di Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan menyatakan bahwa bahasa daerah di Indonesia ada 29 bahasa yang
tercatat, dan mungkin masih ada banyak yang belum tercatat oleh pemerintah
Indonesia. Bukan rahasia umum lagi bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan
hasil hayati dan keindahan alamnya. Tercatat saat ini penduduk Indonesia yaitu
273.879.750[1]
yang menyatakan bahwa ada begitu banyak manusia di Indonesia saat ini dengan
suku, budaya, dan agama yang berbeda atau dikenal dengan masyarakat yang
majemuk. Kata majemuk menurut KBBI V adalah terdiri atas beberapa bagian yang
merupakan kesatuan. Kesatuan yang dimaksud adalah masyarakat Indonesia.
Kemajukan
atau Pluralisme merupakan pandangan teori tenatang hubungan budaya dalam
masyarakat majemuk. Menurut KBBI V pluralisme adalah keadaan masyarakat yang
majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politik).
B.
Rumusan Masalah
Penyusunan
makalah ini adalah untuk:
1.
Apa itu pluralisme?
2.
Pandangan pluralisme dalam agama Islam?
3.
Pluralisme agama di Indonesia?
C.
Tujuan makalah
Tujuan
penyusunan makalah ini adalah untuk:
1.
Mengetahui makna pluralisme agama.
2.
Hubungan antara pluralisme agama.
3.
Pemenuhan tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal Mula Pluralisme
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris “pluralism”.
Definisi pluralisme adalah suatu kerangka interaksi tempat setiap kelompok
menampilkan rasa hormat dan toleransi satu sama lain, berintraksi tanpa
konflik.[2]
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu
“pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab “al-ta’addudiyyah aldiniyyah”
dan dalam bahasa Inggris “religious pluralis”. Oleh karena istilah
pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya
secara akurat harus merujuk pada kamus bahasa Inggris tersebut.[3]
Pemikiran
pluralisme agama muncul pada masa yang disebut Pencerahan (enlightenment)
Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik
permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan
pergolakaan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas kala
rasinalisme dan pembebasan akal dari kungkungan–kungkungan agama. Lalu munculah
pergolakan pemikiran Eropa sebagai konsekuensi lagi konflik-konflik yang
terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, dengan muncul paham
yang dikenal dengan “liberalisme”, yang kompsisi utamanya adalah kebebasan,
toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.[4]
Gagasan pluralisme muncul dan hadir dalam kemasan
pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan hasil dari liberaslime politik (political liberalism).
Meskipun pada masa itu pluraslime telah mengisi pemikiran Eropa namun masih
belum mengakar kuat dalam kultur masyaratnya. Jadi, pluralisme agama merupakan
upaya peletaka landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi
secara toleran dengan agama lain.
Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama,
pengertian kegerejaan: (1) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu
jabatan dalam strukutur kegerejaan, (2) memegang dua jabatan atau lebiih secara
bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua,
pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan
pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga,
pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi
keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran ataupun partai dengan
tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik
diantara kelompok-kelompok tersebut.[5] Dapat
disimpulkan menjadi koeksistensi[6] antara
berbagai kelompok atau keyakinan di masyarakat dengan tetap terpeliharanya
perbedaan-perbedaan antar lingkungan masyarakat.
Menurut Peter Byrne, Profesor di King’s Cllege London UK bahwa
pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga tesis. Pertama, semua
tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semua nyata merujuk dan menunjuk
sebuah realitas tunggal dna transeden dan suci. Kedua, semuanya
sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Ketiga, semuanya tidak ada yang
final. Artinya setap agama mesti senantiasa terbuka untuk dikritik dan ditinjau
kembali. (h.379)
Wilfred
Cantwell Smith mengakui sulit untuk mendefisikan agama, dia menyatakan bahwa:
“Terminologi
(agama) luar biasa sulitnya didefiniskan (The term is notoriously
indefinable). Paling tidak, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini terdapat
beragam definisi yang membingungkan yang tak satu pun diterima secara luas...
oleh karenanya, istilah ini harus dibuang dan ditinggalkan unutk selamanya.”[7]
Menurut
John Hick menegaskan bahwa:
“...pluralism
is the view that the great world faiths emody different perceptions and
conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the
Ultimate from within the majr varint cultural ways of being human: and that
within each of them the transformation of human existence from self-centredness
to Reality centredness is manifestly taking place—and taking place, so far as
human observation can tell, to much the same extent..”[8]
Dalam
kamus filsafat, pluralisme mempunyai ciri-ciri berikut; Pertama, realitas
fundamental bersifat jamak, berbada dengan dualisme yang menyatakan bahwa
realitas fundamental ada dua dan mnisme menayatakn bahwa realitas fundamental
hanya satu. Kedua, banyak tingaktan hal-hal dalam alam semsta yang terpisah
tidak dpat diredusir dan pada dirinya independent. Ketiga, alam semesta pad
dsaranya tidka ditentukan dalam benuk
dan tidak memiliki kesatian atau kntinuitas harmonis yang mendsara, tidak ada
tatanan kohern dan rasional fundamental. Plurasime agama adalah sebuah knsep
yang mempunyai makna yang luas, berkaitan denganpenerimaan tetrhadap
agama-agama yang berbeda dan dipergunakan dalam cara yang berlainan pula.[9]
B.
Pandangan Pluralisme dalam agama Islam
Agama
adalah ajaran, sistem yang menagtur taa keimnan (kepercayaan) dan kepribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kadidah yang berhubungan dengan
pergaulan mansuia dan manusai serta manusia dan lingkungannya.
Dalam
istilah lain, pluraslime adalah sama dengan doktrin yang menyatakan bahwa
kekuasaaan, pemrintah di suatu negara harus dibagikan atara berbagai gelombang
karyawan dan tidak dibernarkan adanya monopoli suatu golongan.[10]
Islam
memandang pluralsime sebagai sikap menghargai dan tlenrasi terhadap agama lain,
namun bukan berarti semua adama dalah sama. Islam tidak menaganggap bahwa Tuhan
yang kalian sembah adalah Tuhan, yang sama, kami. Namun, disamping itu Islam
tetap mengakui adanya pluralisme atau mengakui
adanya perbedaan dan identit agama masing-masing yang diorientasikan untuk
menghilangkan knflik, perbedaan, dan identitas agama-gaam yang ada.[11]
.
Pandagan Pluralisme agam menurut Budhy Munawar-Rahman, dalam buku Islam
Pluralis. Menurutnya, “pluralisme agam sebgaai pahma yang menyatakan bahwa
semua agama mempunyai peluang untuk mmeperoleh keselamatan pada hari akhirat.
Pluralisme agama memandang bahwa selain agam kita (Islam), yatiu pemeluk agama
lain, juga berptesni akan memperoleh keselamatan.[12]
Menurut
Abdul Munir Mulkham, seorang cendikiawan dan tokoh agama dari UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, berpendapat “Jika semua agam memang benar sendiri, pentig
dikyakini bawa surga Tuhan yang attu itu sendiri terdiri banyak pintu dna
kamar. Tiap pntu adalah jalan bagi pemelu tiap agama untuk memasuki kamar
surganya. Syarat memasuki ialah keiklasan pembebasan manusia dari kelaprana,
penderirtaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya, inilah jalan
universal surga bagi semua gama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbedan
agama jadi mungkin.”[13]
C.
Pluralisme agama di Indonesia
Di
zaman sekarang atau modern ini, sudah banyak masyarakat yang mengakui adanya
perbedaan keyakinan antar sesama manusia. Namun, bahasan tentang agama masih
menjadi hal yang cukup sensitif untuk diperbincangkan. Agama adalah keyakinan
akan dirinya dengan Tuhan
Majelis
Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme agama adalah suatu
pemikiran yang diharamkan. Karena dianggap upaya mencampuradukan berbagai agama
dalam satu paham. Dan tentu saja ini menjadikan fatwa MUI ini mendaptakan
respon yang pro dan kontra menurut tokoh Islam. Fatwa ini oleh sebagian
golongan dinilai akan menghadirkan solusi ataupun kemaslahatan bagi umat, dan
sebaliknya dia malah membuat masyrakat Indoesia merasa terbeneani dengan
hadirnya fatwa tersebut, dan yang sangat ironis menjdia pemicu tindakan anarkis
dengan justifikasi fatwa tersebut.[14]
Salah
satu fatwa MUI yang dianggap kontroversial dan dainggap mengkhawatirkan
kemaslahtan bangsa adalah fatwa tentang pluraslime dan pluralitas agama. Fatwa
ini dianggap sebagaian masyarakat sebagai bentuk “ketidakpahaman” MUI dalam
memahmai perosalan dan wcana pluralisme yang dipahami sebagain masyarakat.
Bahkan dalam pandangan yang lain, MUI dianggap tidak paham apa itu ‘taklif”
alam terminologi hukum silam karena “taklif” hanya dikenakan kepada manusia,
tidak pada “pemikiran”. Kelompok yang kontra adalah lembaga Perhhimpunan
Pendidikan Demokrasi (P2D), Jaringan Islam Liberal (JIL), Indonesia Cnferesnce
on Religio and Peace (ICRP), dan berbagai institusi lain yang bergerak di
bidang penegakan HAM, pluralisme, dan kebebasan berpendapat. Sedangkan untuk
kelompok seperti Komite Islam untuk Solidaritas Dunia Islam (KIDSI), Dewan
Dkwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela
Islam (FPI), Majellis Mujahidin Indonesia (MMI), berbagai ormas Ilsma militan
lainnya berpendapat bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh MUI adalah bentuk final
hukum Islam yang ditetapkna olhe orang-orang yang kompeten dengan dalil yang
sahih serta dikelurkan melalui forum tertinggi par aulama seluruh Indonesia.[15]
Menurut
Umdah El-Baroroh dalam penelitian tentang “Pengaruh Fatwa MUI terhadap Arus
Radikalisme Islam di Indonesia” (20005) menunjukan hubungan anatar fatwa MUI
dengan tindkna kriminalit yang berlandaskan doktrin agama. Tingginya angka
kekerasan, menurutnya mempunyai hubungan dengan meluncurnya fatwa MUI.[16]
D.
Konsep Dasar Pluralisme
Agama
Kata “Pluralism agama” berasal dari dua kata, yaitu
“Pluralisme” dan “Agama” dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan
“al-ta’ddudiyah” dan dalam bahasa Inggirs “religius pluralism”. Dalam bahasa
Belanda, merupakan gabungan kata plural dan ism. Kata “plural” diartikan dengan
menunjukkan lebih dari satu. Sedangkan isme diartikan dngan sesuatu yang
berhubungan dengan paham atau aliran. Dalam bahasa Inggris disebut pluralism
yang berasal dari kata “plural” yang berarti lebih dari satu atau banyak. Dalam
Kamus The Contemporary Engglish-Indonesia Dictionary, kata “Plural” diartikan
dengan lebih dari satu/jamak dan berkenaan dengan keanekaragaman. Jadi
pluralisme, adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam
konteks sosial, budaya, politik, maupun agama. Sedangkan kata “agama” dalam
agama Islam diistilahkan dengan “din” secara bahasa berarti tunduk, patuh,
taat, jalan. Pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama antarpenganut agama
yang berbeda-beda dalam suatu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri
spesifik ajaran masing-masing agama.
Dengan demikian yang dimaksud “pluralisme agama”
adalah terdapat lebih dari satu agama (samawi dan ardhi) yang mempunyai
eksistensi hidup berdampingan. Saling bekerja sama dan saling berinteraksi
antaa penganut satu agama dengan penganut agama lainnya, atau dalam pengertian
yang lain, setiap penganut agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan
menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan
dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman. Dalam perspektif
sosiologi agama, secara terminology, pluralisme agama dipahami sebagai suatu
sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan sebagai yang bernilai positif
dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada Manusia.
Pengakuan
terhadap kemajemukan agama tersebut adalah menerima dan meyakini bahwa agama
yang kita peluk adalah jalan keselamatan yang paling benar, tetapi bagi
penganut agama lain sesuai dengan keyakinan mereka agama mereka pulalah yang
paling benar. Dari kesadaran
inilah akan lahi sikap toleran, inklusif, saling menghormati dan menghargai,
serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk beribadah sesuai dengan
keyakinan masing-masing. Hal ini sesuai dengan sila pertama Pancasila
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan UUD’45 pasal 29 ayat (2) yang menjamin kebebasan
beragama dan beribadah sesuai menurut agama dan kepercayaan masing.masing.
pasal 29 ayat (2) UUD’45, disamping jaminan kebebasan beragama, keputusan yang
fundamentak ini juga merupakan janji tidak ada diskriminasi agama di Indonesia.
Mukti Alim secara filosofi mengistilahkan dengan agree in disagreement (setuju
dalam perbedaan).
Setiap agama tidak terpisah dari yang lainnya dalam
kemanusiaan. Keterpisahan mereka dalam kemanusiaan bertentangan dengan prinsip
pluralisme yang merupakan water dasar masyarakat manusia yang tidak bisa
dihindari. Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama, budaya, dan sebagainya,
Indonesia termasuk satu negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia juga
merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini disadari
oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme
ini dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Munculnya Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928 merupakan sautu kesadaran akan perlunya mewujudkan
pluralisme ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dalam
menghadapi penjajah Belanda, yang kemudian dikenal sebagai cikal-bakal
munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Pluralisme ini juga tetap dijunjung
tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain
dalam siding BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai
pluralisme, baik konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata”
dalam Pancasila, yang terdapat dalam Piagam Jakarta, pun dipaham dalam konteks
menghargai kemajemukan dan pluralisme.
Untuk mendukung konsep pluralisme konsep pluralisme
tersebut, diperlukan adanya toleransi antarsesama umat beragama. Meskipun semua
masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, namun
dalam kenyataannya, permasalahan toleransi masih sering muncul dalam suatu
masyarakat, termasuk di Eropa Barat Amerika dan Negara-negara lain.
Ada dua macam penafsiran tentang konsep penafsiran,
yakni penafsiran negative dan penafsiran positif. Yang pertama menyatakan bahwa
toleransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti
orang/kelompok lain. Yang kedua menyatakan bahwa toleransi itu membutuhkan
lebih dari sekedar itu. Ia membutuhkan adanya bantuan dan dukungan tehadap
keberadaan orang/kelompok lain. Artinya toleransi itu tidak cukup hanya dalam
pemahaman saja, tapi harus dipublikasikan dengan tindakan dan perbuatan dalam
kehidupan nyata. Kita hidup dalam pluralisme agama, suka tidak suka ralitas pluralistic
memang menjadi wahana dan wacana bagi kehidupan beragama kita. Di dalam agama
Islam konsep dasar pluralisme sudah ada sejak dari awal agama itu syari’atkan
oleh Allah SWT, dipermukaan bumi ini yang dibawa oleh Raulullah Muhammad SAW.
Maka oleh karena itu apabila umat Islam ingin memahami makna pluralisme sesuai
dengan konsep Islam, maka jawabannya yang paling tepat adalah kembali kepada
Al-Qur’an.
E. Pandangan Islam Terhadap Pluralisme Agama
Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi
aspek-aspek kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama.
Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah aturan (sunnatullah) yang tidak
akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini
menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah
agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup
bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.
Sesungguhnya, fenomena agama dan beragama telah ada
bersamaan dengan keberadaan manusia dan akan terus berlanjut sampai akhir
kehidupan manusia. Untuk melihat sikap dan ajaran Islam tentang pluralisme,
kita harus menelaahnya dari Muhammad SAW dan Islam dalan kehidupan umat
manusia. Sejarah mencatat bahwa Muhammad SAW diutus oleh Allah sebagai Nabi dan
Rasul yang terakhir dengan membawa risalah Islamiyah, dengan misi universal
rahmatalilla’alamin sebagaimana tertuang dalam Firman Allah “Dan Kami tidak
mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.
(QS. Al-Anbiya: 21/107). Agama Islam yang dibaa oleh Nabi Muhammad menjadi
penutup semua ajaran langit (agama samawi) untuk umat manusia, Islam tidak
mempersoalkan lagi mengenai asal ras, etnis, suku, agama dan bangsa. Semua
manusia dan makhluk Allah akan mendapatkan prinsip-prinsip rahmat secara
universal. Al-Qur’an telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme
ketike menegaskan sikap penerimaan Al-Qur’an terhadap agama-agama selain Islam
untuk hidup bersama dan berdampingan. Yahudi, Kristen, dan agama-agama lainnya
baik agama samawi maupun agama ardhi eksistensinya diakui oleh agama Islam. Ini
adalah suatu sikap pengakuan yang tidak terdapat di dalam agama lain.
Agama Islam adalah agama damai yang sangat menghargai,
toleran dan membuka diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang
pluralisme agama sangat banyak ditemukan di dalam Al-Qur’an antara lain Firman
Allah “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 109/6).
Pluralisme agama adalah merupakan perwujudan dari kehendak Allah SWT. Allah
tidak menginginkan hanya ada satu agama walaupun sebenarya Allah punya
kemampuan untuk hal itu bila Ia kehendaki. “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu
dia menjadikan manusia umat yang satu,” (QS. Hud: 11/118). Dalam Al-Qur’an
berulang-ulang Allah menyatakan bahwa perbedaan di antara umat manusia, baik
dalam warna kulit, bentuk rupa, kekayaan, ras, budaya dalam bahasa adalah
wajar, Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi dan agama sebagai rahmat.
Allah menganugerahkan nikmat akal kepada manusia untuk memilih agama ia yakini
kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi dari Allah. Sebagaimana Firmannya
“Tidak ada paksaan dalam agama”. (Qs. Al-Baqarah; 2/256). Manusia adalah
makhluk yang punya kebebasan untuk memilih dan inilah salah satu keistimewaan
manusia dari makhluk lainnya, namun tentunya kebebasan itu adalah kebebasan
yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT. Pluralisme agama
mengajak keterlibatan aktif dengan orang yang berbeda agama (the religious
other) tidak sekedar toleransi, tetapi jauh dari itu memahami akan substansi
ajaran agama orang lain. Pluralisme agama dapat berfungsi sebagai paradigma
yang efektif bagi pluralisme sosial demokratis di mana kelompok-kelompok
manusia dengan latar belakang yang berbeda bersedia membangun komunitas global.
Nurkholis Madjid, mengatakan bahwa salah satu persyaratan terwujudnya
masyarakat modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai
kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkan sebagai suatu
keniscayaan.
Al-Qur’an melihat kemajemukan agama sebagai misteri
Ilahi yang harus dierima untuk memungkinkan hubungan antar kelompok dalam
wilayah public. Namun, Al-Qur’an mengakui ekspresi keberagamaan manusia yang
berbeda memiliki nilai spiritual interinstik atau nilai perennial. Menurut
Gamal al-Banna, Al-Qur’an sangat aspiratif terhadap akal. Betapa banyak ayat
yang dimulai redaksi rasional seperti alam tara (apakah kamu tidak melihat);
alam ta’lam (apakah kamu tidak mengetahui) dan diakhiri dengan redaksi yang
sama (rasional); seperti afala tatafakkarun (apakah kalian tidak berfikir);
afala ta’qiun (apakah kalian tidak menggunakan akal) dan lain sebagainya. Islam
meletakka prinsip menerima eksisteni agama lain dan memberikan kebebasan kepada
pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa batasan. Dengan
adanya kebebasan inilah, Yahudi, Kristen mendapatkan kebebasan secara sempurna.
F. Al-Qur’an dan Pluralisme Keagamaan
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan dalam konteks
kesejarahan dan situasi keagamaan yang pluralistic (plura-religius). Setidaknya
terdapat empat bentuk keyakinan agama yang berkembang dalam masyarakat Arab
tempat Muhammad SA menjalankan misi profektinya sebelum kehadiran Islam, yaitu
Yudaisme (Yahudi); Kristen, Zoroastrianisme dan agama Makkah sendiri. Tiga
diantaranya yang sanat berpengaruh dan senantiasa disinggung oleh Al-Qur’an
dalam berbagai levelnya adalah Yahudi, Kristen dan agama Makkah.
Kedatangan
Al-Qur’an ditengah-tengah pluralitas agama tidak serta merta mendeskriditkan
agama-agama yang berkembang saat itu, tapi Al-Qur’an yang sangat aspiratif,
akomodatif, mengakui dan membenarkan agama-agama yang dating sebelum Al-Qur’an
diturunkan. Bahkan lebih jauh dari itu Al-Qur’an juga mengakui aka keutamaan
umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat dalam ayat. “Wahai Bani Israil!
Ingatlah nikmat-Ku yang telah aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan
kamu dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu).” (QS. Al-Baqarah:
2/47). Dalam ayat ini, tergambar suatu sikap pengakuan Al-Qur’an akan
keunggulan dan keutamaan umat-umat terdahulu sebelum umat Islam.
Al-Qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi
inklusif-pluralis. Bagi kaum muslimin, tidak teks lain yang mempunyai posisi otoritas
mutlak dan tak terbantahkan selain Al-Qur’an. Maka, Al-Qur’an merupakan kunci
untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Al-Qur’an.
G.
Pengakuan Al-qur’an
Terhadap Pluralisme Agama
Pengakuan
terhadap pluralisme atau keragaman agama dalam Al-Qur’an, ditemukan dalam
banyak terminology yang menuruk kepada komunitas agama yang berbeda seperti ahl
al-kitab, utu al-Kitab, utu nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab, al-ladzina
Hadu, al-nashara, al-Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya. Al-Qur’an disamping membenarkan mengakui
keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga memberikan kebebasan untuk
menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Ini adalah sebuah konsep yang secara
teologis mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab
suci Ilahi. Karena memang pada dasarnya tiga samawi yaitu Yahudi, Kristen, dan
Islam adalah bersaudara, kakak adik, masih terikat hubungan kekeluarga yaitu
berasal dari Nabi Ibrahim AS.
Pengakuan Al-Qur’an terhadap pluralisme dipertegas
lagi dalam khutbaj perpisahan Nabi Muhammad. Sebagaimana dikutip Fazlur Rahman,
ketika Nabi menyatakan baha, “Kamu semua adalah keturunan Adam, tidak ada
kelebihan orang Arab terhadap orang lain, tidak pula orang selain Arab terhadap
orang Arab, tidak pula manusia yang berkulit putih terhadap yang berkulit
hitam, dan tidak pula orang yang hitam terhadap yang putih kecuali karena
kebajikannya.” Khutbah ini menggambarkan tentang persamaan derajat umat manusia
dihadapan Tuhan, tidak ada perbedaan orang Arab dan non Arab, yang membedakan
hanya tingkat ketakwaan. Sebagaimana Firman Allah “Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang paling takwa”. (QS.
Al-Hujurat:49/13).
Para sahabat saling membicarakan kenapa Rasul menyuruh
untuk melaksanakan shalat bagi seorang raja kafir (ateis). Maka turunlah ayat
diatas untuk menegaskan spritualitas sebagian ahli kitab
Al-Qur’an juga secara eksplisit mengakui jaminan
keselamatan bagi komunitas agama-agama yang termasuk Ahl al-Kitab (Yahuid,
Nasrani, Shabi’in) sebagaimana dalam pernyataannya.
62. Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari kemudian dan beramal
saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Al-Baqarah:
2/62)
[56] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at
nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
[57] Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang
beriman kepada Allah Termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari
akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.
[58] Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang
berhubungan dengan agama atau tidak.
Sayyid Husseyn Fadlullah dalam tafsirnya menjelaskan:
Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari
akhir akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam
pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan
satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh.
Ayat-ayat itu memang sangat jelas tu mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak
menjelaskan semua kelompok agama benar, semua kelompok agama sama. Tidak!
Ayat-ayat ini menegaskan semua golongan agama akan selamat selama mereka
beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh.[17]
H.
Unsur-unsur Pluralisme
Agama Dari sudut pandang diatas walaupun
pengertian pluralisme agama memiliki pendapat yang berbeda, tetapi ada beberapa
kesamaan prinsip yang dijadikan pijakan memahami makna pluralisme. Unsur-unsur
tersebut, yaitu:
- Adanya subjek
pluralisme Subjek dalam pluralisme agama adalah antar dan sesama umat
beragama untuk saling memandang dan bersikap menghormati keberadaan
kelompok agama dan kepercayaan lain. Seperti yang ditunjukkan secara
praksis dalam sejarah Islam di Madinah sebagaimana pendapat Kuntowijoyo,
pluralisme adalah watak sejarah Islam baik ke dalam dan ke luar.
Pluralisme ke dalam ditunjukkan sejak umat Islam berada di Madinah, yaitu
terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshor serta pluralisme ke luar, ada
Yahudi dan Nasrani.[18]
Menurut Abdulaziz Sachedina pluralisme agama di
dasarkan pada hubungan antara keimanan personal dan proyeksi publiknya dalam
masyarakat. Sikap al-Qur’ān pada keimanan personal adalah nonintervensionis.
Sebagaimana Hak Asasi Manusia, setiap orang tidak diperkenankan menggunakan
otoritasnya mengganggu keyakinan batin individu lain. Sikap terkait proyeksi
publik keimanan adalah koeksistensi, yaitu kesediaan bagi mayoritas Muslim
untuk memberikan kebebasan bagi umat beragama lain menjalankan aturan mereka atau
hidup berdampingan dengan umat Islam.[19]
- Adanya interaksi
sosial yang proeksistensi
Perubahan
paradigma pluralisme agama yang ditandai dengan munculnya tipologi lain yang
dijadikan perspektif dalam memahami pluralisme agama terjadi akibat
berkembangnya pranata sosial dan budaya sebagai dampak modernisasi. Perubahan
paradigma ini mempengaruhi pemahaman tentang fakta keragaman dan sikap
terhadapnya. Sikap interaksi yang terjadi pada perilaku pluralisme agama selalu
bermotifkan adanya rasa hormat menghormati dan saling bertoleransi di antara
perbedaan dan keragaman agama. Pada pluralisme agama interaksi antarumat
menginginkan adanya keadilan atas dominasi kelompok mayoritas terhadap
minoritas. Interaksi sosial yang bersifat kemanusiaan tersebut menuntut adanya
kehidupan penuh perdamaian tanpa menghilangkan dasar keimanan masing-masing.
- Adanya hak
beragama tanpa pereduksian iman
Unsur interaksi sosial yang proeksistensi merupakan
perwujudan dari ketinggian akhlak dan aktualisasi rasa iman adanya keniscayaan
fakta kemajemukan di luar agama sendiri. Menerima keberadaan agama dan
keyakinan lain menjadi bukti kualitas keimanan sekaligus kewajiban untuk
berbuat adil dan berlomba-lomba dalam kebaikan atas fakta kemajemukan agama.
Sikap menghormati hak beragama dengan segala keunikan dan klaim kebenarannya
diakui sebagai sikap sosial yang tidak berhubungan dengan kebenaran agama.[20]
Perbedaan
pengertian pluralisme agama dan istilah-istilah lain yang sejenis
Pluralisme
sebagai sintesis dari sekadar fakta keragaman ini sekaligus menjelaskan adanya
perbedaan makna lain yang identik pluralisme seperti pluralitas, inklusif,
toleransi, sinkretisme, dan relativisme agama.
a. Pluralisme agama dan
pluralitas
Beberapa pihak memahami pluralisme agama sama dengan
pluralitas, yaitu sebuah keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. Dalam
kamus bahasa Indonesia disebut pluralistis, artinya banyak macam atau bersifat
majemuk.[21]
b. Pluralisme agama dan
inklusivisme
Inklusivisme adalah suatu paham tentang keselamatan
dapat dicapai oleh lebih dari satu agama. Menurut Nurcholish Madjid, inklusif
memandang agamaagama lain adalah bentuk implisit agama kita.[22]
Inklusivisme sebagai sikap atau pandangan transisional memiliki dua potensi
kecenderungan, yaitu ke arah eksklusivisme dan/atau pluralisme. Jika agama
diibaratkan cahaya api, maka inklusif adalah mengakui agamanya adalah cahaya
api yang paling terang. Pluralisme menganggap semua agama adalah bercahaya.
Meskipun unik dan saling berbeda, semua agama tidak pernah dibeda-bedakan
karena segala hal yang bersifat pembedaan pada pluralisme menyebabkan kurang
adil dan belum sepenuhnya pluralis, tetapi baru sebagai seorang inklusif.[23]
c. Pluralisme agama dan
toleransi (mutual respect)
Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, istilah toleransi adalah
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[24]
I. Konsep pluralisme agama
Dari berbagai pandangan cendekiawan Muslim di
Indonesia tentang pluralisme agama jika menggunakan kategori Raimondo Panikkar,
maka sifat keagamaan manusia dapat diklasifikasikan dalam tiga perspektif,
yaitu:
- Eksklusif, yaitu
menganggap hanya agamanya saja yang benar dan menawarkan keselamatan.
Sedang agama lain dipandang sesat dan salah.
- Inklusif, yaitu
disamping menganggap hanya agamanya saja yang benar, tetapi agama lain
juga mengandung kebenaran
c. Plural/paralel, yaitu
pandangan yang menganggap semua agama sama dan mengandung kebenaran
masing-masing. [25]
Beberapa pendapat Legenhausen terkait konsep
pluralisme agama yang bebas dari pereduksian iman, yaitu:
a. Toleransi terhadap tradisi keimanan yang berbeda
dapat merusak tradisi-tradisi agama yang ada karena mengeliminasi perbedaan
yang mendasar antarumat beragama. Oleh sebab itu, menilai fakta berbagai
konflik tradisi-tradisi keagamaan hanya bersifat doktrinal, bukan bersifat
praktis dapat mengabaikan nilai penting dan melemahkan kekuatan hukum agama
yang sudah ditetapkan.
b. Menolak penggunaan akal sebagai sarana meningkatkan
pemahaman dan menyelesaikan konflik antarumat beragama dapat menghilangkan
argumentasi rasional yang menjadi prinsip dalam teologi atau tradisi keilmuan
dari semua agama besar di dunia. Demikian pula mengasumsikan ketepatan etika
modern dari liberalisme politis, tidak konsisten dengan tradisi moral
agama-agama dunia yang dipahami selama berabad-abad.
c. Menggunakan mistisisme sebagai sarana memperoleh
pengalaman religius personal dalam membentuk keyakinan dapat bertentangan
dengan tradisi-tradisi agama. Demikian pula mengasumsikan adanya Realitas
Absolut sebagai sesuatu seiring dengan pengalaman dan pemahaman religius
sepenuhnya adalah hasil karya manusia, sama sekali tidak dapat diketahui dan bertentangan
dengan kebenaran wahyu. Menurut kelompok antipluralisme agama pemahaman ini
termasuk pemahaman reduksionistik, yaitu pemahaman yang keluar dari apa yang
diyakini benar oleh setiap agama.[26]
DAFTAR PUSTAKA
‘(PDF) AGAMA DAN PLURALISME’
<https://www.researchgate.net/publication/309218737_AGAMA_DAN_PLURALISME>
[accessed 5 May 2022]
Ii, B A B, ‘No Title’, 2007, 31–65
Nafi’a, Ilman, ‘Fatwa Pluralisme Dan Pluralitas
Agama MUI Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon’, Holistik, 14.01 (2013),
125–50
Rahman, M. Syaiful, ‘ISLAM DAN PLURALISME’, FIKRAH,
2.2 (2014) <https://doi.org/10.21043/FIKRAH.V2I2.666>
‘Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis - Anis
Malik Thoha - Google Buku’
<https://books.google.co.id/books?id=YlMdrl6PjPEC&printsec=copyright&hl=id#v=onepage&q&f=false>
[accessed 5 May 2022]
https://www.kompasiana.com/gatot_arifatul/550da62d8133116c2cb1e4ee/islam-dan-pluralisme-agama
Kuntowijoyo,
Muslim Tanpa Masjid, Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai
Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001), 53.
Abdulaziz
Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam
(Jakarta: Serambi, 2002), 51
Henry S.
Kariel, ‘Pluralism’, dalam International Encyclopedia of Social Sciences Vol.
12, ed. David L. Sills (New York: The Macmillan Company & The Free Press,
[1968] reprinted 1972), 164-169.
Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Offline Versi 1.5, 2010-2013.
Nurcholish
Madjid, Mencari Akar-Akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia.
Dalam Jalan Baru, ed. Mark R. Woodward (Bandung: Mizan, 1998), 56.
Win
Usuluddin, “Elusidasi Filosofis Kebhinekaan Keagamaan: Refleksi Atas Pluralisme
Keberagamaan Era Postmodern”, dalam Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, 205.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1065
Raimondo Panikkar, Intrareligious Dialogue (New York: Paulist
Press, 1999), 15.
Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism, 111-120
[1] Menurut data terbaru dari Direktorat Jendral Kependudukan dan
Pencatatan Sipil
[2] B A B Ii, ‘No Title’, 2007, 31–65.
[3] Ii.
[4] ‘Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis - Anis Malik
Thoha - Google Buku’
<https://books.google.co.id/books?id=YlMdrl6PjPEC&printsec=copyright&hl=id#v=onepage&q&f=false>
[accessed 5 May 2022]. (h.
16-17)
[5] ‘Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis - Anis Malik
Thoha - Google Buku’. (h.
11-12)
[6] Koeksistensi menurut KBBI V adalah keadaan hidup berdampingan secara
damai antara dua negara (bangsa) atau lebih yang berbeda atau bertentangan pandangan
politiknya. Koeksistensi damai adalah teori yang dikembangkan dan diterapkan
oleh Uni Soviet pada berbagai kesempatan sepanjang Perang Dingin dalam konteks
kebijakan luar negeri Marxis-Leninis dan diadposi oleh “negara sosialis” yang
dipengaruhi Soviet sehingga mereka dapat eksis secara damai bersama blok
kapitalis.
[7] ‘Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis - Anis Malik
Thoha - Google Buku’. (h.12)
[8] ‘Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis - Anis Malik
Thoha - Google Buku’. (h.15)
[9] M. Syaiful Rahman, ‘ISLAM DAN PLURALISME’, FIKRAH, 2.2 (2014)
<https://doi.org/10.21043/FIKRAH.V2I2.666>. (h. 405-406)
[10] Rahman. (h. 405)
[11] Rahman. (h. 406-407)
[12] ‘(PDF) AGAMA DAN PLURALISME’
<https://www.researchgate.net/publication/309218737_AGAMA_DAN_PLURALISME>
[accessed 5 May 2022]. (h.
216-217)
[13] ‘(PDF) AGAMA DAN PLURALISME’. (h. 217)
[14] Ilman Nafi’a, ‘Fatwa Pluralisme Dan Pluralitas Agama MUI
Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon’, Holistik,
14.01 (2013), 125–50.
[15] Nafi’a.
[16] Nafi’a.
[17] https://www.kompasiana.com/gatot_arifatul/550da62d8133116c2cb1e4ee/islam-dan-pluralisme-agama
[18] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik
dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001), 53.
[19] Abdulaziz Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme
Demokratis dalam Islam (Jakarta: Serambi, 2002), 51
[20] Henry S. Kariel, ‘Pluralism’, dalam International Encyclopedia of
Social Sciences Vol. 12, ed. David L. Sills (New York: The Macmillan Company
& The Free Press, [1968] reprinted 1972), 164-169.
[21] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Offline Versi 1.5, 2010-2013.
[22] Nurcholish Madjid, Mencari Akar-Akar Islam bagi Pluralisme Modern:
Pengalaman Indonesia. Dalam Jalan Baru, ed. Mark R. Woodward (Bandung: Mizan,
1998), 56.
[23] Win Usuluddin, “Elusidasi Filosofis Kebhinekaan Keagamaan: Refleksi
Atas Pluralisme Keberagamaan Era Postmodern”, dalam Ulumuna Jurnal Studi
Keislaman, 205.
[24] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1065
[25] Raimondo Panikkar,
Intrareligious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), 15.
0 Response to "MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM || ISLAM DAN PLURALISME AGAMA"
Posting Komentar