Makalah Fiqih || Pernikahan
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan
Rahmat dan HidayahNya sehingga tugas penulisan makalah mata kuliah Fiqih
dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
besar Nabi Muhammad SAW. yang senantiasa kita nantikan syafa’atnya di dunia dan
di yaumul
qiyamah nanti.
Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada Bapak Rambona Putra, S.H.I., M.H,selaku dosen pengampu dalam mata kuliah Fiqih yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih. Selain
itu,tugas makalah ini bertujuan untuk menambahkan ilmu pengetahuan dan wawasan
tentang materi ”Pernikahan”
dan semoga kami
berharap pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.
Kami menyadari
makalah ini masih memerlukan penyempurnaan, terutama pada bagian isi. Segala kritik dan saran
yang bersifat membangun motivasi yang menjadikan evaluasi bagi kami dalam
pembuatan makalah selanjutnya. Apabila terdapat banyak kesalaham pada makalah
ini, kami memohon maaf.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata semoga makalah ini
dapat bermanfaat.
Wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Bandar
Lampung, 4 Desember 2021
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR
ISI...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A.
Latar
Belakang........................................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah.................................................................................................... 1
C.
Tujuan
Penulisan..................................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A.
Pengertian
Pernikahan............................................................................................. 2
B.
Tujuan
Pernikahan................................................................................................... 3
C.
Hukum
Pernikahan.................................................................................................. 4
D.
Konsep
Khitbah....................................................................................................... 6
E.
Rukun
dan Syarat Pernikahan ................................................................................ 7
F.
Macam-macam
Pernikahan..................................................................................... 10
BAB
III PENUTUP........................................................................................................... 12
A.
Kesimpulan
............................................................................................................. 12
B.
Saran........................................................................................................................ 12
Daftar
Pustaka................................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di
dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan danseorang
laki-laki menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaandengan tujuan
mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan
dalam Islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyaiadab-adab tertentu
dan tidak bisa di lakukan secara asal-asalan. Jika pernikahantidak dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisamenjadi sebuah perbuatan
zina. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harusmengetahui kiat-kiat
pernikahan yang sesuai dengan kaidah agama Islam agar pernikahan kita
dinilai ibadah oleh Allah SWT.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian pengertian dan tujuan perikahan menurut pandangan islam?
2.
Bagaimana
hukum pernikahan dan kosep khitbah dalam islam?
3.
Apa
saja syarat dan rukun pernikahan?
4.
Bagaimana
macam macam pernikahan dalam islam?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam
tentang pernikahan dalam islam dan pemenuhan dalam penugasan pembuatan makalah
mata kuliah Fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pernikahan
Pernikahan adalah suatu bentuk keseriusan dalam sebuah hubungan.
Selain merupakan bentuk cinta, pernikahan dalam Islam merupakan salah satu
bentuk ibadah kepada Allah. Bahkan, disebutkan bahwa pernikahan adalah
menggenapkan setengah agama.
Penyatuan dua insan, laki-laki dan perempuan ini diharapkan menjadi
media dan tempat yang sempurna untuk mendapatkan pahala dan ridho dari Allah
SWT. Oleh karena itu, pernikahan dalam islam merupakan sesuat yang sakral, jadi
sebisa mungkin harus dijaga bahkan hingga maut memisahkan.[1]
Allah SWT memberikan keterangan mengenai keutamaan menikah. Bahkan,
Allah SWT akan memberikan karunia-Nya kepada laki-laki dan perempuan yang
menikah karena-Nya. Dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 32, Allah berfirman:[2]
وَأَنكِحُواْ
ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن
يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ
عَلِيمٞ
32. Dan nikahlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.
Definisi
Pernikahan dalam Islam
Kata pernikahan berasal dari Bahasa Arab, yaitu ‘An-nikah’ yang
memiliki beberapa makna. Menurut bahasa, kata nikah berarti berkumpul, bersatu
dan berhubungan. Definisi pernikahan dalam Islam lebih diperjelas oleh beberapa
ahli ulama yang biasa dikenal dengan empat mahzab fikih. Yakni:
1. Imam Maliki. Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah akad yang
menjadikan hubungan seksual seorang perempuan yang bukan mahram, budak dan
majusi menjadi halal dengan shighat.
2.
Imam
Hanafi. Menurut Imam Hanafi, pernikahan
berarti seseorang memperoleh hak untuk melakukan hubungan seksual dengan
seorang perempuan. Dan perempuan yang dimaksud ialah seseorang yang hukumnya
tidak ada halangan sesuai syar’i untuk dinikahi.
3. Imam Syafi’i. Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad yang membolehkan
hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij atau lafadz lain dengan makna
serupa.
4. Imam Hambali. Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan proses terjadinya akad
perkawinan. Nantinya, akan memperoleh suatu pengakuan dalam lafadz nikah
ataupun kata lain yang memiliki sinonim.
Pada dasarnya, semua pengertian pernikahan yang disampaikan oleh
keempat imam tersebut mengandung makna yang hampir sama. Yakni, mengubah
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya tidak halal menjadi
halal dengan akad atau shighat.
B.
Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan dalam Islam juga bersandar pada kebutuhan dan keinginan
manusia, seperti:
1.
Memenuhi
Kebutuhan Manusia. Pernikahan dalam Islam adalah hal yang suci dan menjadi
pertalian antar manusia yang disaksikan oleh Allah. Melalui pernikahan,
kebutuhan manusia terutama kebutuhan biologis akan tersalurkan dengan benar dan
sesuai aturan Allah. Rasulullah SAW bersabda:
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَاِب مَنِ اسْطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَايَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk
menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan
lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”[4]
2.
Membangun
Rumah Tangga. Pernikahan juga bertujuan untuk membangun sebuah keluarga yang
tenteram, nyaman, damai, dan penuh cinta serte terwujudnya keluarga sakinah,
mawaddah, wa rahmah. Allah Berfirman dalan surah Ar-Rum : 21
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ
لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم
مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ
يَتَفَكَّرُونَ
21. Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir.[5]
3.
Meningkatkan
Ibadah. Dengan pernikahan, diharapkan akan meningkatkan ibadah, lebih taat dan
saling meningkatkan ketakwaaan. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang
hamba menikah, maka telah sempurna separuh agamanya. Maka takut lah kepada
Allah SWT untuk separuh sisanya." (HR. Baihaqi).
4.
.Mendapatkan
Keturunan. Tujuan pernikahan dalam Islam ini untuk mendapatkan generasi yang
akan meneruskan nasab keluarga. Anak-anak soleh solehah akan terlahir dari
pasangan yang selalu taat beribadah kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda
"Nikahi lah perempuan-perempuan yang bersifat penyayang dan subur (banyak
anak), karena aku akan berbangga-bangga dengan (jumlah) kalian di hadapan
umat-umat lainnya kelak pada hari kiamat.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan
Thabrani)
C.
Hukum Pernikahan
Dasar hukum pernikahan itu asalnya mubah, tetapi dapat berubah
tergantung pada keadaan seseorang. Untuk menentukan hukum nikah bagi seseorang
haruslah diperhatikan lebih dahulu dua hal, yaitu “kemampuan” nya melaksanakan
kewajiban (baik sebagai suami ataupun istri) dan kesanggupan “memelihara diri”,
yaitu sanggup tidaknya seseorang mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh ke
dalam jurang kejahatan seks.
Dengan memperhatikan hal-hal yang tersebut di atas, para ulama
menyebut beberapa macam hukum nikah, sebagai berikut:
1.
Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki kemampuan
untuk menikah (berumah tangga) serta memiliki nafsu biologis (nafsu syahwat)
dan khawatir benar dirinya akan melakukan perbuatan zina manakala tidak
melakukan pernikahan.[6]
2.
Sunah
Hukum nikah menjadi Sunnah apabila seseorang butuh menikah.
Maksudnya, ia memiliki hasrat yang mendorong dan menimbulkan keinginan untuk
menikah, serta memiliki bekal dan nafkah yang cukup, berupa mahar dan nafkah
untuk menghidupi diri dan istrinya. Namun pada saat yang sama, tidak terdapat
kekhawatiran dalam dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan maksiat kalau
tidak menikah. Dalam keadaan demikian, hukum menikah baginya adalah Sunnah.
Sebab, pernikahan baginya dapat melangsungkan keturunan, menjaga hubungan
kekerabatan, dan membantu melakukan kemaslahatan.[7]
3.
Mubah
Hukum nikah menjadi mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum
ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan
apa-apa kepada siapa pun.[8]
4.
Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila seseorang tidak butuh menikah,
seumpamanya ia tidak memiliki hasrat untuk menikah, atau karena fitrahnya
demikian. Dapat pula karena sakit, serta tidak memiliki persiapan untuk
menikah. Karena pernikahan pasti membutuhkan mahar dan nafkah, sementara ia
tidak mampu atas hal tersebut. Oleh karena itu, pernikahan dimakruhkan bagi
dirinya.[9]
5.
Haram
Hukum nikah menjadi haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan
nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah. Keharaman nikah
ini karena nikah dijadikan alat mencapai yang haram secara pasti; Sesuatu yang
menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga. Jika seseorang
menikahi wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan
laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untuk
disakiti, maka menikahnya menjadi haram.[10]
D.
Konsep Khitbah
Khitbah berasal dari kata khatabah yang memiliki 3 makna yakni:
jelas, singkat, dan padat. Maksud dari kata jelas, ketika seseorang
meng-khitbah maka harus jelas maksud dan tujuannya bahwa ia akan menikahi
seorang perempuan, sedangkan arti dari singkat dan padat, jika telah
melangsungkan peminangan maka alangkah baiknya menyegerakan waktu akad, agar
supaya tidak ada kekhawatiran yang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Menurut Wahbah al-Zuhaily khitbah adalah menampakkan keinginan
menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang
dimaksud atau keluarganya(walinya). Sayyid Sabiq mengartikan bahwa khitbah
adalah yang menunjukkan permintaan untuk perjodohan dari seorang laki-laki pada
seorang perempuan atau sebaliknya yakni dengan cara yang ma’ruf(baik).[11]
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), peminangan adalah kegiatan
upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita
Khitbah mempunyai kriteria sebagai berikut:
1.
Khitbah
di mulai dengan suatu permintaan
2.
Khitbah
bisa dilakukan oleh seorang laki-laki kepada perempuan secara langsung atau di
wakilkan
3.
Khitbah
juga bisa dilakukan oleh pihak perempuan kepada laki-laki melalui seorang
perantara
4.
Khitbah
dilakukan dengan cara yang baik
Adapun adab dan tata cara meminang atau melamar dalam Islam menurut
hadis Nabi saw. yang dimaksud adalah:
1.
Melihat
calon atau wanita
2.
Tidak
melamar wanita yang telah dilamar laki-laki lain
3.
Merahasiakan
lamarannya (tidak mengumum kan ke orang banyak)
4.
Wanita
yang dilamar terbebas dari segala mawanj (pencegah) dari sebuah pernikahan
5.
Wanita
melamar laki-laki secara syar'i.
E.
Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu, seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Atau menurut
Islam, calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam.
Ulama fiqih mengatakan, bahwa rukun hakiki nikah itu adalah
kerelaan hati kedua belah pihak (laki-laki dan wanita). Karena kerelaan tidak
dapat diketahui dan tersembunyi dalam hati, maka hal itu harus dinyatakan
melalui ijab dan qabul. Ijab dan qabul adalah merupakan pernyataan yang
menyatukan keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri masing-masing
dalam suatu perkawinan. Ijab merupakan pernyataan pertama dari satu pihak dan
qabul, merupakan pernyataan dari pihak lain yang menerima sepenuhnya ijab
tersebut. Oleh sebab itu fuqaha mengatakan, bahwa rukun nikah itu ijab dan
qabul.
Secara rinci rukun nikah itu adalah:
1.
Calon
mempelai pria.
2.
Calon
mempelai wanita.
3.
Wali
nikah.
Akad nikah akan
dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya,
berdasarkan sabda Nabi SAW:
(اخرجه
االربعة اال للنسائ)
أيما امرأة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها باطل
Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahannya batal.
4.
Saksi.
Pelaksanaan akad nikah akan sah
apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda
Nabi SAW:
( رواه
احمد) ال
نكاح اال بولي و شاهدى عدل
Tidak ada nikah kecuali dengan ada
wali dan dua orang saksi. (HR. Ahmad)
5.
Ijab
dan qabul
Syarat-syarat sah pernikahan:
1. Syarat calon mempelai pria.
a.
Beragama
Islam.
b.
Laki-laki.
c.
Orangnya
diketahui dan tertentu.
d.
Calon
mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
e.
Calon
mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya
halal baginya.
f.
Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk
melakukan perkawinan itu.
g.
Tidak
sedang melakukan ihram.
h.
Tidak
mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
i.
Tidak
sedang mempunyai istri empat.
2. Syarat calon mempelai wanita.
a.
Beragama
Islam atau Ahli Kitab.
b.
Perempuam.
c.
Wanita
itu tentu orangnya.
d.
Halal
bagi calon suami.
e.
Wanita
itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah.
f.
Tidak
dipaksa.
g.
Tidak
dalam keadaan ihram haji atau umrah.[12]
3. Syarat wali nikah.
a.
Laki-laki.
b.
Baligh.
c.
Berakal
sehat.
d.
Tidak
dipaksa.
e.
Adil.
f.
Tidak
sedang menjalankan ihram.
4. Syarat saksi nikah.
a.
Laki-laki.
b.
Baligh.
c.
Berakal
sehat.
d.
Adil.
e.
Dapat
mendengar dan melihat.
f.
Bebas
tidak dipaksa.
g.
Tidak
sedang menjalankan ihram haji.
h.
Memahami
Bahasa yang digunakan untuk ijab Kabul.[13]
5. Syarat ijab dan qabul:
a.
Ada
ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali.
b.
Ada
qabul (pernyataan) penerima dari calon suami.
c.
Memakai
kata-kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahnya seperti “kawin”.
d.
Antara
ijab dan qabul, bersambungan tidak boleh putus.
e.
Antara
ijab dan qabul jelas maksudnya.
f.
Orang
yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang dalam keadaan Haji dan Umrah.
g.
Majelis
ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat orang yaitu calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya, dan
dua orang saksi.
F.
Macam Macam Pernikahan
1.
Nikah Mut’ah disebut nikah
temporer atau nikah yang terputus. Maksudnya seorang lelaki menikahi seorang
perempuan untuk sehari, seminggu, sebulan atau yang lain. Disebut mut’ah karena
si lelaki mendapatkan manfaat dan kesenangan dengan pernikahan itu hingga waktu
yang telah ditentukan. Nikah mut’ah disepakati haram oleh seluruh imam mazhab.
Mereka menyatakan, jika dilaksanakan maka nikah mut’ah hukumnya batil.[14]
2.
Nikah Tahlil adalah
menikahi wanita yang telah ditalak tiga sehabis masa iddahnya dan digauli,
setelah itu ditalak dengan maksud agar si wanita boleh dinikahi oleh suami
pertama. Pernikahan seperti ini termasuk dosa besar, kekejian yang diharamkan
Allah SWT. dan pelakunya dilaknat.[15]
3.
Nikah Syighar adalah
pernikahan yang seseorang menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya
dengan seorang laki-laki dengan syarat pihak laki-laki tersebut juga menikahkan
wanita yang berada di bawah perwaliannya dengannya tanpa mahar di antara
keduanya. Maka jumhur ulama menyatakan akad nikah syighar tidak sah sama
sekali, hukumnya batal.[16]
4.
Nikah sirri adalah
pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa memberitahukan
kepada orang tuanya yang berhak menjadi wali. Biasanya nikah sirri dilakukan
untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina. Hukum nikah sirri boleh,dengan
syarat terpenuhi rukun dan syaratnya.[17]
5.
Nikah lari bukan berarti
nikah sambal lari, melainkan perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan seorang perempuan karena tidak direstui oleh orang tuanya, baik tidak
direstui oleh orang tua pihak mempelai perempuan maupun pihak mempelai
laki-laki. Perkawinan ini jika dilakukan dengan mengikuti rukun dan syaratnya
dengan benar, hukumnya sah.[18]
6.
Poligami adalah seorang suami beristri lebih
dari satu. Hukumnya boleh dengan syarat menegakkan keadilan.[19]
7.
Nikah Badal adalah
pernikahan tukar menukar istri. Hal ini terjadi karena seorang laki-laki
mengadakan perjanjian untuk menyarahkan istrinya kepada orang lain dan
mengambil istri orang lain tersebut sebagai istrinya dengan memberi sejumlah
uang tambahan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salah satu ajaran syariat Islam adalah pernikahan. Pernikahan adalah suatu bentuk
keseriusan dalam sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan dewasa .Dengan
pernikahan, kesinambungan kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya
tidak akan putus. Pernikahan bukan hanya sebagai sarana penyaluran nafsu
seksual semata, dalam Islam,
pernikahan merupakan bagian dari penyempurnaan ibadah yang sifatnya suci
dan bertujuan untuk menjalin kasih sayang dalam suatu ikatan yang halal dan di
ridhoi Allah swt, serta mewujudkan kedamaian dan ketentraman bagi yang
melaksanakannya.
Untuk melaksanakan suatu pernikahan, Islam membuat aturan-aturan
yang harus dipenuhi, yang biasanya dikenal dengan sebutan syarat dan rukun
nikah. Hal ini dimaksudkan agar pernikahan sesuai dengan norma norma ilahi.
Dalam Islam juga dijelaskan
bahwa ada beberapa pernikahan yang dilarang. Meskipun pada dasarnya pernikahan
adalah hal yang sangat diinginkan bagi setiap pasangan dan dicintai oleh Allah.
Tetapi, ada juga pernikahan yang dilarang dalam ajaran Islam, dan hendaknya
dihindari.
Oleh karena itu, untuk
melaksanakan suatu pernikahan hendaknya dipersiapkan secara baik dan sesuai dengan
peraturan yang ada, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari.
B.
Saran
Kami menyadari akan kekeliruan dan
kekurangan dalam penulisan dan penyusunan makalah ini. Maka,penulis
mengharapkan kritik dan saran pembaca agar kedepannya penulis bisa membuat
makalah makalah dengan baik dan benar. Kami juga mengharapkan agar pembaca
dapat memahami dan menguasai materi dengan baik. Maka dari itu kami menyarankan kepada
pembaca yang ingin mendalami masalah pernikahan, setelah membaca makalah ini
membaca sumber lain yang lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah R, Fia. (2021). Pernikahan Dalam Islam. https://www.orami.co.id/magazine/pernikahan-dalam-islam/. (Diakses
Tanggal 4 Desember 2021).
Al- Faifi,
Sulaiman. 2013. Ringkasan Fikih
Sunnah Sayyid Sabiq, Cet.1 . Jakarta :Ummul Qura
Ghozali, Abdul
Rahman M.A. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta :Kencana, (2003)
LM. Syarifie.
1999. Membina Cinta Menuju Perkawinan. Jawa Timur : Putra Pelajar
Mushthafa
Al-Bugha, Mushthafa Al-Khan, Ali Al-Syurbaji. 2012. Fikih Lengkap Manhaji
Imam Asy-Syafi’i. Jilid 1. Yogyakarta : Darul Urwah
Sahla Abu dan
Nurul Nazara. 2011. Buku Pintar Pernikahan. Cet. 1. Jakarta: Belanoor
Summa, Muhammad
Amin.2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Syarifuddin,
Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: kencana
[1] Afifah R, Fia. (2021). Pernikahan Dalam
Islam. https://www.orami.co.id/magazine/pernikahan-dalam-islam/. (Diakses Tanggal 4 Desember
2021).
[2]
QS An-Nur [24] : 32
[3]
Afifah R, Fia. (2021). Pernikahan Dalam
Islam. https://www.orami.co.id/magazine/pernikahan-dalam-islam/. (Diakses Tanggal 4 Desember 2021)
[4]
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905,
5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57),
ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/ 77), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallaahu ‘anh
[5] QS Ar Rum [30] : 21
[6]
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta,
2004), hlm 91
[7]
Mushthafa Al-Bugha, Mushthafa Al-Khan, Ali Al-Syurbaji, Fikih Lengkap
Manhaji Imam Asy-Syafi’i, (Yogyakarta, Darul Urwah, 2012, Jilid 1), hlm.
605
[8]
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,( Jakarta,
kencana, juli 2014), hlm. 46
[9]
Ibid, hlm. 607
[10]
Ibid. hlm. 45
[11]
Abu Sahla dan Nurul Nazara, Buku Pintar Pernikahan (Cet. I; Jakarta:
Belanoor, 2011), h. 61.
[12]
Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2003),
hlm. 46-50
[13]
LM. Syarifie, Membina Cinta Menuju Perkawinan, (Jatim, Putra Pelajar,
1999), hlm. 59-60
[14]
Sulaiman Al- Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, Cet.1,
(Jakarta, Ummul Qura, Januari 2013), hlm 451
[15]
Sulaiman Al- Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, Cet.1,
(Jakarta, Ummul Qura, Januari 2013), hlm 453
[16]
Ibid. hlm 457
[17]
Ibid. hlm 83
[18]
Sulaiman Al- Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, Cet.1,
(Jakarta, Ummul Qura, Januari 2013), hlm 84
[19]
Ibid. hlm 80
0 Response to "Makalah Fiqih || Pernikahan"
Posting Komentar