Makalah Akhlak dan Tasawuf || Fana Dan Baqa

 KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Masa Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Fana Dan Baqa” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah Tauhid Ilmu Kalam. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.

Karena keterbatasan pengentahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini

Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh

Bandar Lampung

Tim Penyusun

 

 

 

 

 

Daftar Isi

KATA PENGANTAR.. ii

BAB I. 1

PENDAHULUAN.. 1

1.1.Latar Belakang. 1

1.2.Rumusan Masalah. 1

1.3.Tujuan Makalah. 2

BAB II. 3

PEMBAHASAN.. 3

2.1 Pengertian Fana dan Baqa. 3

2.2 Tokoh pengembang fana dan baqa. 3

2.3 Bagaimana pandangan islam tentang fana dan baqa. 6

2.4 Tujuan dan kedudukan fana dan baqa. 6

BAB III PENUTUP. 9

A.Kesimpulan. 9

B.Saran. 9

DAFTAR PUSTAKA.. 10


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.Latar Belakang

Al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang hidup pada abad ketiga hijrah. Beliau dipandang sebagai orang yang mempelopori paham Fana’ dan Baqa’ dan Ittihad. Sebelum bekliau bergelut dengan dunia tasawuf, beliau mempelajari fiqh terutama mazhab Hanafi.

Paham Fana’ yang dikembangkan oleh beliau adalah menyatakan bahwa apabila manusia telah sampai tingkat Fana’ artinya hilangnya kesadaran akan wujud diri dan lingkungannya, maka ia akan Baqa’ yang artinya berkesinambungan didalam sifat-sifat ketuhanan. Yaitu kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia dan puncaknya adalah manusia dapat menyatu atau ittihad dengan Tuhan sehingga diri pribadi menjadi tiada dan yang ada hanya Tuhan semata-mata. Paham ini mendapat tanggapan yang beragam dari. kalangan ulama. Ulama syari’ah atau ahli fiqh cenderung menyatakan bahwa paham ini menyesatkan dan al-Bustami dikatakan kafir, sebagian lagi menganggapnya hanya penyimpangan saja dan sebagian lagi memahami bahwa paham yang didasarkan pada ungkapan-ungkapan al-Bustami tidak dapat dijadikan pedoman sebab disampaikan ketika ia tidak dalam kesadaran dirinya, melainkan tunduk pada intuisi ketikas ia fana’, baqa’, dan Ittihad

 

1.2.Rumusan Masalah

1. Pengertian fana dan baqa

2. Tokoh pengembang fana dan baqa

3. Bagaimana pandangan islam tentang fana dan baqa

4. Tujuan dan kedudukan fana dan baqa

 

 

1.3.Tujuan Makalah

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:

1)      Untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah akhlak tasawuf.

2)      Untuk menambah wawasan tentang perlindungan konsumen

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Pengertian Fana dan Baqa

Fana (الفناء) artinya hilang, hancur. Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa (البقاء) artinya tetap, terus hidup. Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifat. Seorang sufi untuk ma’rifat harus bisa menghancurkan diri terlebih dahulu, dan proses penghancuran diri inilah di dalam tasawuf disebut “Fana” yang diiringi oleh “Baqa.”

            Dalam ‘Risalatul Qusyairiyah’ dinyatakan bahwa Fana adalah menghilangkan sifat-sifat yang tercela dan Baqa artinya mendirikan sifat-sifat yang terpuji. Barang siapa yang menghilangkan sifat tercela maka timbullah sifat yang terpuji. Jika sifat tercela menguasai diri maka tertutuplah sifat yang terpuji bagi seseorang.”

            Dari segi bahasa Al-Fana berarti hilangnya wujud sesuatu, sedangkan Fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain Fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela. [1]

 

2.2 Tokoh pengembang fana dan baqa

1.      Tokoh yang Memperkenalkan Fana, Baqa dan Ittihad.Dalam kajian sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M/) disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa ini. Nama kecilnya adalah Thaifur. Ia sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendirinya. Ia pernah mengatakan: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka jangianlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari`at (Hamka, 1984: 102).Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: “Tidak ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku. Selanjutnya Abu Yazid mengatakan, “Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Maha suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.” Selanjutnya diceritakan yang berikut: Seorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetok pintu. Abu Yazid bertanya: “Siapa yang engkau cari?” Jawabnya: “Abu Yazid “. Lalu Abu Yazid mengatakan: “pergilah”. Di rumah ini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.Di lain waktu Abu Yazid berkata, “Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah.” Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Bagi orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Falamittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdatal-wujud. Dengan demikian untuk mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana dan baqa.

2.      Muhammad Aidrus Dalam perjalanan tasawufnya,  `Aidrus berusaha  keras  untuk sampai pada  fana`danbaqa’.  Penjelasan  mengenai   ajaran   ini   dibahas  secara   mendalam   dalam   kitabnyaMu`nisahal-Qulub.  Walaupun   ajaran   mengenai  fana`  dan  baqa`  ini  jauh  sebelumnya telah dibahas oleh sufi besar Abu Yazid al-Bustami (W.874 M), yang menurut pendapat Harun Nasution, dipandang sebagai sufi pertama yang membawa konsep fana` dan baqa`(Nasution,   1979:   81).     Namun   demikian  ajaran   al-Bustami   yang   sampai   kepada   kita masihtampak   berupa  konsep   umum,   sedangkan  konsep   `Aidrus   dalam   masalah  ini tampak lebih jelas dan sistematis.

Sedangkan `Aidrus dalam tulisannya menyebut tiga bentuk fana`, yaitu fana` al-af`al, fana` al-sifat dan fana` al-zat.`Aidrus menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fana` al-af`al ialah hancurnyaperbuatan kita dan perbuatan semua makhluk dalam perbuatan Allah. Kita tidak melihat dalam alam ini sesuatu perbuatan kecuali perbuatan Allah, sama saja, apakah perbuatanitu ada pada kita atau selain kita, apakah baik atau buruk bentuk perbuatan itu, semuanya merupakan perbuatan Allah swt. (Aidrus, tt.: 31). Yang dimaksud dengan  fana` as-sifat  adalah: hancurnya sifat-sifat kita dan sifat-sifat   seluruh   ciptaan   dalam   sifat   Allah   swt.   Tidak   ada   pendengaran   melainkan pendengaran Allah dan tidak ada penglihatan melainkan penglihatan Allah dan tidak adailmu melainkan   ilmu  Allah  dan   tidak   ada kehidupan   melainkan   kehidupan  Allah   danseterusnya (Aidrus, tt.: 31)

Sedangkan yang  dimaksud dengan  fana` az-dzat  ialah: hancurnya  dzat kita dandzat selain kita diri semua makhluk dalam dzat Allah swt., di mana tidak ada wujudselain Allah swt (Aidrus, tt.: 32).Adapun baqa` menurut `Aidrus dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Syuhudal-Katsrahfial-wahdah yaitu menyaksikan yang banyak di dalam yang esa,artinya seorang  sufi menyaksikan bahwa  wujud makhluk berada  pada  wujud Allah,tidak pada dirinya sendiri.2.  Syuhudal-wahdah   fial-Katsrah,  yaitu   menyaksikan   yang   esa   pada   yang   banyak,artinya sufi menyaksikan, dengan perasaannya, bahwa Allah ta`ala wujud pada segalayang wujud (Aidrus, tt.: 33-34).[2]

 

2.3 Bagaimana pandangan islam tentang fana dan baqa

Pandangan Islam Terhadap Fana Dan Baqa

Paham fana’ dan baqa’ yang ditunjukkan untuk mencapai ittihat itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqa al-rabbi menemui Tuhan. Fana’ dan baqa’ merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah QS.Al Kahfi:110.

Paham ittihat ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika nabi musa ingin melihat Allah. Musa berkata :” ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?”. Tuhan berfirman : tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).

Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadarann sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya ini tercangkup dalam konsep fana’ dan baqa’. [3]

 

2.4 Tujuan dan kedudukan fana dan baqa

Al-baqa’ ba’daal-fana’ ditunjukkan kepada manusia paripurna yang harus bekerja dan beramal di dunia supaya membimbing dan menyempurnakan mereka yang belum sempurna. Jika tidak ada yang harus dikerjakan, Allah menyibukkan hamba-Nya dengan diri-Nya sendiri dalam kedudukan segala kedudukan (maqamal-maqamat).

Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagai mana dinyatakan oleh para ahli tasawuf :

“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”

Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.

Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.

Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘anal-nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah:

“Fana seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu, sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.

      Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniah. Menurut Harun Nasution, kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainyaal-fana al-nafs. Tak ubahnya dengan fana yang terjadi ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk. Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang didasari hanya Tuhan dalam dirinya.

      Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana seorang hanya menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan tuhan)[4]

Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran itihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al-Badawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenar-benarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.[5]

 

 

 

 

BAB III
PENUTUP

 

A.Kesimpulan

Fana’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala fenomena alam, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-siat Tuhan (fana’’an shifat al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqa’) didalam kedasarannya adalah wujud mutlak.

Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa’ ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasai diri dengan akhlak terpuji.

Paham tentang fana dan baqa mulai dikembangkan oleh Abu Yazid Al Bustami pada abad III Hijriyah. Fana dan baqa erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad. Paham ini dianggap sebagai cikal bakal timbulnya ajaran kesatuan wujud atau ittihad Di antara beberapa inti ajaran tasawuf, pemahaman terhadap fana dan baqa merupakan dasar untuk memahami hakikat diri dan hakikat ketuhanan. Paham ini merupakan peningkatan dari paham makrifat dan mahabbah. 

 

B.Saran

Menyadari penulisan dalam makalah masih jauh dari kata sempurna, untuk ini kedepan nya penulisan akan lebih baik lagi dalam menyusun makalah diatas dan dapat lebih dipertanggung jawabkan lagi dalam membuat referensi. Maka dari itu, penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun terhadap penulisan makalah tersebut.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

https://adoc.pub/al-fana-al-baqa-al-ittihad-al-hulul-dalam-perspektif-tasawuf.html

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2012), Hlm. 231.

Ibid

https://elanurainiblog.wordpress.com/2016/04/09/al-fana-dan-al-baqa-dalam-tasawuf/

Aidrus,Muhammad  Mu`nisahal-Qulub,  Wolio: Naskah dalam SBF: 145, tt

 

 

 

 

 



[1] Junaidin Junaidin, ‘Konsep Al-Fana’, Al-Baqa’ Dan Al-Ittihad Abu Yazid Al-Bustami’, FiTUA: Jurnal Studi Islam, 2.2 (2021), 40–51 <https://doi.org/10.47625/fitua.v2i2.314>.

[2] Aidrus,Muhammad  Mu`nisahal-Qulub,  Wolio: Naskah dalam SBF: 145, tt

[3] https://elanurainiblog.wordpress.com/2016/04/09/al-fana-dan-al-baqa-dalam-tasawuf/

[4]Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2012), Hlm. 231.

[5]Ibid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Akhlak dan Tasawuf || Fana Dan Baqa"

Posting Komentar