Makalah Hukum Bisnis || HUKUM PERJANJIAN

 KATA PENGANTAR


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

            Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapamenyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Hukum Perjanjian " dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Hukum Bisnis. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan keterbatasan  pengentahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh

 

 

 

Bandar Lampung, 05 Maret 2022

 

 

Kelompok 3

 

 

 

 





BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang        

            Perjanjian pada hakikatnya sering terjadi di dalam masyarakat bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu hubungan hukum yang biasa disebut dengan perikatan. Perjanjian merupakan suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. Sedangkan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Dalam hukum perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak.

       Kebebasan berkontrak merupakan kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui klausul-klausul dari perjanjian tersebut, tanpa campur tangan pihak lain. Asas kebebasan berkontrak dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai  suatu  perbuatan, dimana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang atau lebih.” Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya 4 (empat) syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

       Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (good faith) yang telah dimulai sewaktu para pihak akan membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, pembuatan perjanjian harus dilandasi atas asas kemitraan. Asas kemitraan mengharuskan adanya sikap dari para pihak bahwa yang berhadapan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan 2 (dua) mitra yang berjanji, terlebih lagi dalam pembuatan perjanjian kerjasama, asas kemitraan itu sangat diperlukan.

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar blakang masalah maka dapat di rumuskan suatu pokok masalah yang kemudian disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1.    Pengertian perjanjian

2.    Subjek dan objek perjanjian

3.    Asas-asas dalam hukum perjanjian

4.    Syarat sahnya perjanjian

5.    Bentuk-bentuk perjanjian

6.    Penyusunan perjanjian

7.    Wanprestasi

 

C.    Tujuan makalah

Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

1.      Untuk menambah wawasan

2.      Untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah hukum bisnis

3.      untuk mengetahui asas-asas dalam hukum perjanjian

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Hukum Perjanjian

Secara terminologi, kata kontrak berasal dari bahasa Ing gris "contract", yang berarti perjanjian atau kontrak, namun, dalam penyusunan kontrak secara tertulis ada istilah lain yang juga sering digunakan seperti agreement yang berarti "persetujuan", "permufakatan" dan ada juga yang mengarti kan kata agreement tersebut dengan perjanjian. Dalam praktik penyusunan kontrak kedua istilah tersebut tidak begitu diper masalahkan, tergantung para pihak yang menggunakan isti lah mana yang lebih disukai, hanya saja dalam kontrak yang dibuat dalam bahasa Indonesia selalu digunakan istilah per janjian atau kontrak, sedangkan dalam bahasa Inggris (mi salnya kontrak internasional) digunakan istilah agreement, misalnya perjanjian/kontrak jual beli, perjanjian/kontrak sewa-menyewa, perjanjian kerja, loan agreement, distribution agreement, technical assistance agreement, joint venture agree ment, dan sebagainya[1].

Dalam Black's Law Dictionary kontrak diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang mencip takan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus. Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menjelaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Beberapa ahli hukum pun memberikan definisinya, antara lain adalah:[2]

1.      Menurut K.R.M.T Tirtodiningrat, SH. yang dimaksudkan dengan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibatakibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.

2.      Menurut Prof. R. Subekti, SH. berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

3.      Menurut Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, SH. menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

4.      Menurut M. Yahya Harahap, SH berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

 

B.     Subjek dan Objek Perjanjian

Objek perjanjian adalah suatu prestasi, menurut keten tuan Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi dapat berupa mem berikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pelaksanaan dari perikat an yang terbit dari perjanjian tersebut." Perjanjian membe rikan sesuatu (te geven) berupa penyerahan sesuatu barang atau memberikan sesuatu kenikmatan atas suatu barang, misalnya dalam jual beli, penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban mem berikan kenikmatan atas barang yang disewakan. Hal ini sesu ai dengan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata bahwa: "dalam tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si beruang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat penyerahan."[3]

Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu misalnya melukis, sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah jika debitur berjanji untuk tidak melakukan perbuatan tertentu, misalnya tidak akan membangun sebuah pagar. Perjanjian melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu (te doen of niet te doen) dapat bersifat "positif" dan bersifat "negatif. Bersifat positif jika perjanjian ditentukan untuk melakukan berbuat sesuatu, ini timbul misalnya dalam perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 1603 KUH Perdata, bahwa pekerja wajib sedapat mungkin melakukan pekerjaan sebaik-baiknya, sedangkan yang sifat negatif ada lah verbintenis yang memperjanjikan untuk tidak berbuat/ melakukan sesuatu. Sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1550 KUH Perdata merupakan salah satu perjanjian dengan prestasi negatif, yaitu yang menyewakan harus membiarkan si penyewa menikmati barang sewaan secara tenteram selama jangka waktu sewa masih berjalan. Agar perjanjian sah, maka objek suatu perjanjian harus memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu:

1.      Objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan (Pasal 1320 sub 3 KUH Perdata).

2.      Objeknya diperkenankan oleh undang-undang (Pasal 1335 dan 1337 KUH Perdata).

3.      Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan.

Agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan mengikat, maka perjanjian tersebut haruslah memiliki objek tertentu (Pasal 1320 sub 3 dan 4 KUH Perdata) dan diperkenankan oleh undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tata susila. Adapun prestasi yang harus dilaksa nakan debitur harus benar-benar sesuatu yang "mungkin" dapat dilaksanakan. Sehubungan dengan itu perlu dibedakan ketidakmungkinan (onmogelijk) objektif dan subjektif. Pada ketidakmungkinan objektif tidak akan timbul perikatan, ka rena perjanjian tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan, rena perjanji hal ini sudah menjadi prinsip umum dalam kehidupan hukum bahwa "Impossibilium mulla obligatio est" (ketidakmungkinan meniadakan kewajiban), sedangkan pada ketidakmungkinan subjektif tidak menghalangi terjadinya perjanjian atau tidak menyebabkan perjanjian batal, melainkan perjanjian tetap sah. Prestasi pada ketidakmungkinan objektif tidak dapat dilaksanakan oleh siapa pun, misalnya menempuh jarak Pa lembang-Jakarta dengan mobil dalam waktu 3 jam, sedangkan ketidakmungkinan subjektif hanya anggapan debitur yang bersangkutan.

 

C.    Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian

Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[4] Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.[5] Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.[6] Dari definisi tersebut apabila dikaitkan dengan perjanjian dalam hukum kontrak syariah adalah, kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum kontrak syariah.

Hukum perjanjian mengatur tentang beberapa azas yang terdapat dalam suatu perjanjian. Azas yang dimaksud adalah sebagai berikut:[7]

1.      Azas Konsensualisme, adalah suatu azas yang menyatakan bahwa untuk terjadinya suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian itu telah lahir pada saat tercapainya consensus/sepakat antara kedua belah pihak tentang hal-hal pokok yang dimaksudkan di dalam perjanjian yang bersangkutan. Azas ini terceminkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

2.      Azas Kebebasan Berkontrak, adalah suatu azas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas atau leluasa untuk memperjanjikan apa dan kepada siapa saja. Azas ini tercerminkkan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan terdapatnya azas ini,artinya para pihak diperbolehkan dengan leluasa untuk membuat atau mengadakan perjanjian apa saja, baik itu perjanjian bernama maupun yang tidak bernama dan bila itu dibuat secara sah maka akan mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang.

3.      Azas Pacta Sunt Servanda, adalah suatu azas yang menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan sebagaimana mengikatnya undang-undang. Azas ini tercerminkan dalam Pasal 1338 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

4.      Azas Kepastian Hukum, adalah merupakan satu azas esensial di samping azas-azas lainnya. Dikatakan azas esensial, karena di dalam hukum perjanjian setiap orang diberi kebebasan untuk memperjanjikan apa dan dengan siapa saja. Kepastian hukum dalam hukum perjanjian terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu; yaitu sebagai undangundang bagi para pihak dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh UU dinyatakan cukup untuk itu

 

D.    Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat Sahnya Perjanjian Lisensi Hak CiptaMengingat begitu pentingnya sebuah perjanjian, agar tidak timbul permasalahan di kemudian hari akibat kurang pahamnya seseorang dalam membuat suatu perjanjian, maka kami akan menjelaskan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar perjanjian menjadi sah dan mengikat para pihak. Pasal 1320 KUH Perdata

menyebutkan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni[8]:

1.        Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya:

Siapapun yang sepakat mengikatkan dirinya ini berarti kehendak yang ia buat berdasarkan kehendak bebas (freely enter) dan kesepakatan di buat dalam keadaan sadar dan bukan karena kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan.

2.        Kecakapan para pihak

Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 KUH Perdataadalah kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian (om eene verbintenis aan te gaan). Dari kata “membuat” atau "mengadakan" perikatan dan perjanjian dapat disimpulkan bahwa masing-masing pihak yang berkontrak harus ada unsur “niat” atau sengaja. Siapapun yang membuat kesepakatan ialah yang sudah dewasa dan tidak berada di bawah curatele dan usia dalam mebuat kecakapan ialah berusia di atas 18 tahun.

3.        Suatu hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas. Pasal 1333 KUH Perdata ayat 1 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki suatu pokok persoalan.Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjiakan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. KUH Perdata menyebutkan bahwa barang/benda yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan .Obyek perjanjian haru jelas dan harus ada pada para pihak dan Obyek harus jelas dan tidak hanya berupa fisik saja namun ada obyek lain yang dapat berupa jasa

4.        Suatu sebab yang halal

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum.

 

 

 

 

 

E.     Bentuk-bentuk perjanjian

Jenis-jenis Perjanjian Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

1.        Perjanjian timbal balik Perjanjian timbale balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.

2.        Perjanjian sepihak Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.

 

F.     Penyusunan perjanjian

Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui oleh mereka. Ketentuan umum mengenai kontrak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Untuk dapat dianggap sah secara hukum, ada 4 syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia:

1.        Kesepakatan para pihak

2.        Kecakapanpara pihak

3.        Mengenai hal tertentu yang dapat ditentukan secara jelas

4.        Sebab/causayang diperbolehkan secara hukum.

Kontrak sendiri memiliki 2 fungsi yaitu, fungsi yuridis dan ekonomis yang memiliki pengertian yang berbeda. Fungsi yuridis kontrak adalah memberikan kepastian hukum bagi para pihak sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.

Pada dasarnya perancangan yang dilakukan para pihak sebelum melakukan penandatanganan perjanjian/kontrak yang disebut dengan fase “prakontraktual”. Prakontraktual yang dilakukan perlu dilandasi oleh itikat baik para pihak sebagai acuan filosofisnya, sementara kepatutan atau kebiasaan yang baik sebagai acuan sosiologisnya, sehingga dapat menghasilkan rancangan perjanjian/kontrak yang mengakomodasi dan memfasilitasi kehendak dan pertukaran kepentingan bisnis para pihak dengan pasti dan efesien, serta menjamin terwujudnya keadilan dalam proses pengayaan kekayaan di antara para pihak yang akan membuat perjanjian/kontrak.

Menurut Suhardana, terdapat 2 (dua) aspek yang perlu diperhatikan dalam perancangan sebuah perjanjian/kontrak, yaitu:

1.        Aspek akomodatif, artinya perancangan perjanjian/kontrak harus mempu kebutuhan dan keinginan yang sah, yang terbentuk dalam transaksi bisnis mereka ke dalam kontrak bisnis yang dicangnya;

2.        Aspek legalitas, artinya perancang kontrak harus mampu menuangkan transaksi bisnis para pihak ke dalam kontrak yang sah dan dapat dilaksanakan;

Dalam penyusunan sebuah kontrak ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan sebagai berikut,Pembuatan Draft pertama, yang meliputi:

1.        Judul kontrak, dalam kontrak harus diperhatikan kesesuaian isi dengan judul serta ketentuan hukum yang mengaturnya, sehingga kemungkinan adanya kesalahpahaman dapat dihindari.

2.        Pembukaan, biasanya berisi tanggal pembuatan kontrak.

3.        Pihak-pihak dalam kontrak, Perlu diperhatikan jika pihak tersebut orang pribadi serta badan hukum, terutama kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum dalam bidang kontrak.

4.        Premis/Racital, yaitu penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatu kontrak.

5.        Isi kontrak, bagian yang merupakan inti kontrak. Yang memuat apa yang dikehendaki, hak, dan kewajiban termasuk pilihan penyelesaian sengketa.

6.        Penutup, memuat tata cara pengesahaan suatu kontrak[9]

 

G.   Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda“wanprestatie”. Wan berarti buruk atau jelek dan prestatie berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan.Wanprestasi dapat disimpulkan sebagai prestasi yang buruk atau jelek.Wanprestasi dalam arti secara umum, adalah tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang[10]. Menurut M. Yahya Harahap, SH wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Dengan begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga “terlambat” dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut “sepatutnya atau selayaknya”[11]

Wujud wanprestasi dapat berupa:[12]

1.        Debitur tidak berprestasi

Debitur tidak berprestasi artinya adalah debitur sama sekali tidak memberikan prestasinya kepada kreditur. Debitur tidak berprestasi disebabkan, karena debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan, karena memang kreditur objektif tidak mungkin berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi berprestasi.

2.        Debitur keliru berprestasi

Debitur keliru berprestasi yang dimaksudkan adalah dalam hal debitur memang dalam fikirannya telah memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang diterima kreditur lain daripada yang diperjanjikan. Hal demikian, tetap dianggap bahwa debitur tidak berprestasi. Jadi dalam kelompok tidak berprestasi, termasuk “penyerahan yang tidak sebagaimana mestinya”, dalam arti tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

3.        Debitur terlambat berprestasi

Debitur terlambat berprestasi yang dimaksudkan disini adalah ketika debitur berprestasi, objek prestasinya betul, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. Debitur dapat digolongkan dalam kelompok “terlambat berprestasi” kalau objek prestasinya masih berguna bagi kreditur. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai atau mora.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Hukum perjanjian merupakan bagian dari Hukum Perdata, yaitu Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang bersumber dalam Kitab Undang undang Hukum Perdata (BW) yang berisi buku kesatu tentang orang, buku kedua tentang benda, buku ketiga tentang perikatan dan buku keempat tentang pembuktian dan kedaluarsaan. Hukum Perjanjian yang bersumber dalam buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) berupa aturan aturan (ketentuan) sebagai pedoman berisi hak dan kewajiban dalam hubungan orang dengan orang yang mempunyai kepentingan dalam ruang lingkup harta kekayaan.

Secara umum akibat hukum dari suatu perjanjian pada umumnya termasuk perjanjian baku, apabila telah memenuhi ketentuan syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH perdata dengan berdasarkan asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata, maka perjanjian yang disepakati oleh para pihak secara sah akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang terikat dan membuat perjanjian tersebut. Apabila pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, tidak dapat melaksanakan prestasi atau salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pihak tersebut untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Akan tetapi jika keberatan tersebut tidak diindahkan, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan pemaksaan secara hukum melalui gugatan wanprestasi kepengadilan Negeri setempat atau pengadilan Negeri yang telah disepakati dalam perjanjian. Perlindungan hukum adalah hak bagi setiap masyarakat baik dalam bermasyarakat maupun dalam ikatan perjanjian

 

 

 

B.     Saran

1.        Pelaksanaan perlindungan hukum yang diberikan oleh KUH Perdata kepada para pihak dalam perjanjian kontrak kerjasama, sebaiknya bagi para pihak yang membuatnya harus berdasarkan asas itikad baik, agar mengurangi terjadinya perselisihan diantara para pihak yang terikat di dalam perjanjian pada saat pelaksanaan perjanjian.

2.        Kedua belah pihak harus benar-benar memahami isi kontrak kerjasama dan diharapkan para pihak benar-benar dapat melaksanakan isi kontrak tersebut, sehingga tidak akan menimbulkan wanprestasi, jika terjadi wanprestasi maka para pihak harus benar- benar menghargai putusan Komisi Arbitrase


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Daud Ali, Mohammad.  Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cetakan ke-8. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Departemen Pendidikan Nasional ,Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Edy Putra Tje’Aman, Mgs.  Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Liberty, 1998.

Hesty D, Lestari.  "Kepemilikan Hak Cipta Dalam Perjanjian Lisensi." Jurnal Yudisial 6, no. 2 2013.

https://learninghub.id/yuk-kenali-tahap-tahap-dalam-penyusunan-kontrak/. Diakses pada 5 Maret 2022 pukul  12:30

M. Echols, John dan Shadily, Hansan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1900.

Muhammad, Abdulkadir.   Hukum Perikatan. Bandung : PT. Cipta Aditya Bakti, 1992.

Satrio, J.  Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni, 1993.

Vahya Harahap, M.  Segi-segi Hukum Perjanjian Bandung Alumni. Bandung : Binacipta, 1962.

Yahya Harahap, M. Segi-segi Hukum Perjanjian.  Bandung : Alumni, 1982.

 



[1]John M. Echols dan Hansan Shadily. Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1900), 144.

[2] Mgs Edy Putra Tje’Aman,  Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberty,1998), 18.

[3] M. Vahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian Bandung Alumni, (Bandung : Binacipta, 1962), 10.

[4] Departemen Pendidikan Nasional ,Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 70.

[5]  Ibid., 896.

[6] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cetakan ke-8. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 50-52.

[7]  Ibid., Mgs Edy Putra Tje’Aman, 26.

[8] Lestari, Hesty D. "Kepemilikan Hak Cipta Dalam Perjanjian Lisensi." Jurnal Yudisial 6, no. 2 2013): 173-188.

[10] Abdulkadir Muhammad,  Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Cipta Aditya Bakti, 1992), 20.

[11] M. Yahya Harahap, , Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1982), 60.

[12] J. Satrio,  Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), 122.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Hukum Bisnis || HUKUM PERJANJIAN"

Posting Komentar