Makalah Hukum Bisnis || PERJANJIAN JUAL BELI
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami
dapamenyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Perjanjian Jual beli
" dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata
Pelajaran Hukum Bisnis. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurnadan keterbatasan pengentahuan maupun pengalaman maka kami
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.
Wassalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh
Bandar Lampung,05 Maret 2022
Kelompok 4
DAFTAR ISI
Table of Contents
A. Pengertian
Perjanjian Jual Beli
C. Subjek dan Objek Perjanjian
G. Hak dan kewajiban
jual beli
I. Berakhirnya
perjanjian jual beli
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi di bidang transportasi yang demikian pesat,memberidampak
terhadap perdagangan otomotif, dibuktikan denganmunculnya berbagai jenis
mobil baru dari berbagai merek. Model dan tipe mobil baru dengan banyak
fasilitas dan kemudahan banyak diminati olehpembeli, sehingga tidak jarang
untuk membeli model dan tipe baru dari suatu merek, pembeli harus memesan lebih
dahulu (indent).Pengertian jual – beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata,
jual – beli adalah suatu persetujuan, dengan manapihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan. Perjanjian jual – beli merupakan suatu ikatan
bertimbal balik dalam mana pihak yang satu ( si penjual ) berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya ( si pembeli
) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas jumlah sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut.Obyek perjanjian jual – beli cukup barang – barang
tertentu,setidaknya dapatditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akandiserahkan
hak miliknya kepada si pembeli, sehingga menjadi sah dalam perjanjian jual –
beli. Unsur unsur pokok perjanjian jual – beli adalah barang dan harga. Sesuai
dengan azas “ konsesual “ yang menjiwai hukum perjanjian hukum perdata,
perjanjian jual– beli itu sudah dilahirkan pada detiktercapainya kata “ sepakat
“ mengenai barang dan harga, maka lahirlahperjanjian jual – beli yang sah.
Hukum
perjanjian dari hukum perdata menganut asas konsesualisme. Artinya, untuk
melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu ( dan
dengan demikian “ perikatan “ yang ditimbulkan karenanya ) sudah dilahirkan
pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan diatas. Pada
detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik – detik lain yang
terkemudian atau sebelumnya.
Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat yaitu : (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian,
(3) Suatu hal tertentu, dan (4) Kausa / sebab yang halal. Dua syarat yang
pertama merupakan syarat yang menyangkut subyeknya ( syarat subyektif )
sedangakan dua syarat terakhir adalah mengenal obyeknya ( syarat obyektif ).
Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subyeknya tidak selalu menjadikan
perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya, tetapi seringkali
hanyamemberikankemungkinan untuk dibatalkan, sedangkan perjanjian yang cacat
dalam segiobyeknya adalah batal demi hukum.Dalam jual – beli ada dua subyek,
yaitu penjual dan pembeli, yang masing – masing mempunyai berbagai kewajiban
dan berbagai hak. Maka masing – masing dalam beberapa hal tersebut merupakan
pihak yangberkewajiban dan dalam hal lain merupakan pihak yang berhak.
Iniberhubungan dengan sifat timbal balik dari perjanjian jual – beli.
Subyek
yang berupa manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu
perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudahdewasa, sehat pikirannya dan
secara hukum tidak dilarang atau diperbatasi dalam hal melakukan. Perbuatan
hukum yang sah. Untuk orang yang belum dewasa, harus didampingi orang tua atau
walinya, untuk orang – orang yang tidak sehat pikirannya, harus bertindak
seorang pengawas atau curatornya.Apabila subyek dari jual – beli adalah si
penjual dan pembeli, yaitu anasir – anasir yang bertindak, maka obyek dari jual
– beli adalahbarang yang oleh mereka dijual atau dibeli. Untuk menentukan apa
yangmenjadi obyek jual – beli adalah barang atau hak yang dimiliki. Ini
berarti, bahwa yang dapat dijual atau dibeli itu tidak hanya barang yang
dimiliki, melainkan suatu hak atas barang yang bukan hak milik. Syarat dari
obyek jual – beli adalah layak, apabila pada waktu jual – beli terjadi. Apabila
barang sudah musnah sama sekali, maka perjanjian batal, sedangkan apabilabarangnya
hanya sebagian saja musnah, maka si pembeli dapat memilihantara pembatalan jual
– beli atau penerimaan bagian barang yang masih ada dengan pembayaran sebagian
dari harga yang sudah diperjanjian. Berdasarkan undang – undang Hukum Peradata,
ada beberapa macam perjanjian jual –beli, diantaranya adalah :
(1) jual – beli dengan percobaan, ditentukan
bahwa
barang yang dibeli harus dicoba dulu oleh si
pembeli,
(2) jual – beli dengan contoh ( koop op
monster ), waktu jual – beli terjadi, beli lihat barangtertentu
yang akan dibeli, melainkan ditunjukkan saja kepadanya suatu contoh dari yang
akan dibeli,
(3)
jual – beli secara kredit, unsur dari jual– beli yang
dibuktikan dengan adanya persetujuan jual – beli barang. Penjualan suatu
piutang meliputi segala sesuatu yang melekat pada piutang tersebut. Pihak yang
berhutang telah mengikatkan dirinya untuk jumlah hargapembelian yang telah
diterima untuk piutangnya dan cara pembayarannya,
(4) jual – beli dengan memesan lebih dahulu (
indent ), jual – beli dianggap
telah terjadi antara kedua belah pihak,
seketika setelah terjadi antara pembeli
dan penjual mencapai sepakat tentang benda
tersebut dan harganya, meskipun
benda itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar.
Jual – beli systemindent adalah suatu
system perintah ( order ) pembelian oleh seorang penjualkepada seorang pembeli
dengan harga yangditetapkan sebelumnya untuk spesifikasi yang dimaksud dan
biasanyadilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Jual – beli dengan sistem
indent – cash bahwa sistem pembayaran dimuka atau panjer termasuk
dalamperjanjian. Sistem pembayaran ini merupakan pelaksanaan perjanjian dalam
arti yang sebenarnya, yaitu bahwa dengan pembayaran ini tercapailah tujuan
perjanjian kedua belah pihak pada waktu membentuk persetujuan.
Sedangkan untuk jual – beli indent
dapat dilakukan secara kredit maupun cash ( kontan ).Jual – beli secara indent
biasanya dilakukan untuk mendapatkan mobil dengan model dan tipe baru yang
belum banyak dijual. Dapat dilakukan dengan memesan terlebih dahulu atau
indent. Sistem indent adalah suatu sistem perintah ( order ) pembelian oleh
seorang penjual kepada seorang penjual kepada seorang pembeli dengan harga yang
ditetapkan sebelumnya untuk spesifikasi yang dimaksud dan biasanya dilaksanakan
dalam jangka waktu tertentu. Adapun sistem perjanjian dan pembayarannya
tergantung dari masing – masing toko mobil dengan pembelinya. Umumnya pembeli memesan
model dan tipe atau merek mobil terterntu dengan membayar uang muka atau
panjar, kemudian disepakati cara pembayarannya dan sanksi – sanksi yang
diberlakukan dalam suatu akta perjanjian jual – beli mobil.
Jual
– beli dengan indent – cash bahwa sistem pembayaran muka atau panjer juga
termasuk dalam perjanjian, pembayaran ini merupakan pelaksanaan perjanjian
dalam arti yang sebenarnya, yaitu bahwa dengan pembayaran ini tercapailah
perjanjian kedua belah pihak pada waktumembentuk persetujuan. Sedangkan untuk
jual – beli indent – kredit adalah jual – beli dengan pembayaran secara
angsuran. Pembeli tinggal menandatangani perjanjian yang disodorkan penjual dan
membayar uang muka, angsuran bulanan dan biaya – biaya lain yang telah
disepakati serta sanksi–sanksi yang diberlakukan terhadap pembeli secara
kredit.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah dan pembatasan masalah,
1. maka dapat
ditentukan permasalahan dalam penelitian ini adalah :
2. Bagaimana
bentuk dan isi perjanjian jual – beli
3. Bagaimana
perlaksanaan perjanjian jual – beli
4.
Bentuk – bentuk jual beli
5.
Hak dan kewajiban dari perjanjian jual beli
6.
Resiko jual beli
7.
Berakhirnya perjanjian jual beli
C. Tujuan makalah
Adapun tujuan dari makalah ini
adalah:
1. Untuk menambah
wawasan
2. Untuk memenuhi
nilai tugas mata kuliah hukum bisnis
3. untuk mengetahui
asas-asas dalam perjanjian jual beli
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perjanjian Jual Beli
Pengertian jual – beli dalam Pasal
1457 KUH Perdata adalah “ Suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu mengikatkan
dirinya untukmenyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan “. Dalam perjanjian jual – beli tersebut ada dua
subyek yang terkait, yaitu pihak satu ( penjual ) yang berjanji untk
menyerahkan hak milik atas suatu benda, sedang pihak yang lain ( pembeli
berjanji untuk membayar harga yang telah dijanjikan, sehingga timbul hubungan
timbale balik antara penjual dan pembeli yang merupakan sifat dari perjanjian
jual – beli.Barang yang menjadi obyek perjanjian jual – beli merupakan unsur
yang penting dalam perjanjian jual – beli, disamping harga. Apabila barang yang
dijual – belikan itu tidak ada, tentunya juga tidak ada perjanjian jual – beli.
Jika dihubungkan dengan Pasal 1320 KUH Perdata mengenaisyarat – syarat ketiga
untuk sahnya perjanjian yaitu harus ada hal tertentu, maka barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian harus ditentukan setidak – tidaknya dapat ditentukan
barangnya yang menjadi obyek jual – beli.
Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, maka
hanya barang – barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok
persetujuan.Barang – barang yang diperuntukkan guna kepentingan umum
dianggapsebagai barang – barang diluar perdagangan, misalnya jalan – jalan
raya, pelabuhan – pelabuhan, sungai – sungai, dan lain – lainnya yang termasuk
barang yang tidak bergerak milik Negara tidak dapat dijadikan obyekpersetujuan.
Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan
suatu syarat lagi agar suatu benda dapat menjadi obyek persetujuan jual – beli
adalah benda itu harus tertentu paling sedikit tentang jenisnya.Barang – barang
yang seketika belum ada yang diatur dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata,
dapat menjadi obyek persetujuan jual – beli dengan suatu pengecualian. Mengenai
istilah belum “ belum ada “ dalam arti mutlak, misalnya Pabrik Mobil menjual
mobil yang baru akan dipropduksitahun depan. Sedangkan dalam arti tidak mutlak,
misalnya seseorang menjual sebuah mobil yang sudah berwujud mobil, tetapi pada
waktu itu masihmenjadi milik orang lain dan akan jatuh di tangan si
penjual.Benda sebagai obyek jual – beli apabila pada saat terjadinya jual –beli
musnah sama sekali, maka perjanjian tersebut batal.
Tetapi apabila barang yang menjadi
obyek jual beli musnah hanya sebagian, maka pembeli dapat memilih untuk tidak
membeli atau tetap mempertahankan perjanjian tersebut dalam arti tetap membeli
barang yang masih ada, dengan tetap memperhatikan itikad baik dalam pelaksanaan
persetujuan.Adanya kewajiban penjual untuk menyerahkan barang, maka penjual
berhak atas pembayaran harga pembelian yang harus berupa uang. Meskipundalam
undang – undang tidak mengaturnya, tetapi harga itu harus berupa sejumlah uang.
Apabila pembayaran itu berupa barang lain, maka tidak ada jual – beli melainkan
tukar – menukar. Harga harus berupa sejumlah uang sebagai alat pembayaran yang
sah pada waktu terjadinya jual – beli.Dalam menentukan harga pembelian, harus
ditetapkan oleh kedua pihak baik penjual maupun pembeli. Harus ada kesepakatan
antara keduanya tentang harga pembelian, sehingga hanya ditentukan satu pihak
saja, maka hal itu tidak diperbolehkan. Pasal 1465 ayat (2) KUH Perdata
memperbolehkan penetapan harga pembelian oleh orang ketiga. Para pihak dapatmemperjanjikan,
bahwa harga pembelian ditentukan oleh pihak ketiga. Sifat perintah kepada pihak
ketiga untuk menentukan harga jual – belinyamerupakan suatu perintah untuk
memberikan “ binded adnies “
( nasehat yang mengikat ).
Apabila pihak ketiga itu tidak menentukan harganya, maka tidak terjadi
perjanjian jual – beli. Karena harga merupakan unsure yang esensial untuk
terjadinya jual – beli di samping unsur pokok yang lain yaitu barang sebagai
obyek jual – beli. Kalau sudah terjadi kesepakatan mengenai suatu harga
pembelian tertentu, baik oleh kedua pihak maupun oleh pihak ketiga, maka
persetujuan jual – beli dapat dianggap terjadi.
B.
Azaz – azaz jual beli
Asas adalah prinsip dasar, Asas jual beli adalah prinsip dasar
dalam jual beli.
Asas jual beli, diantaranya:
1). Asas suka sama suka.
Asas suka sama suka maksudnya dalam jual beli baik penjual maupun
pembeli sama-sama suka melakukan jual beli tersebut, pembeli suka dengan barang
yang hendak dibelinya, penjual suka menjual barang dagangannya, tidak ada unsur
pemaksaan.
2). Asas keadilan.
Asas ini harus ada baik dalam proses produksi, cara memperolehnya
atau distribusinya.
3). Asas saling menguntungkan.
Antara penjual dan pembeli tidak ada yang merasa dirugikan,
maksudnya tidak ada unsur tipu menipu dalam jual beli
4). Asas saling menolong dan saling membantu.
Penjual membantu pembeli dalam hal mengadakan barang yang
dibutuhkan pembeli, dan pembeli membantu penjual dalam hal mendapatkan untung
bagi penjual.
C. Subjek dan Objek Perjanjian
Objek perjanjian adalah suatu prestasi,
menurut keten tuan Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi dapat berupa mem berikan
sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Pelaksanaan prestasi dalam
perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pelaksanaan
dari perikat an yang terbit dari perjanjian tersebut." Perjanjian membe
rikan sesuatu (te geven) berupa penyerahan sesuatu barang atau memberikan
sesuatu kenikmatan atas suatu barang, misalnya dalam jual beli, penjual
berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban mem
berikan kenikmatan atas barang yang disewakan. Hal ini sesu ai dengan ketentuan
Pasal 1234 KUH Perdata bahwa: "dalam tiap perikatan untuk memberikan
sesuatu adalah termaktub kewajiban si beruang untuk menyerahkan kebendaan yang
bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai
saat penyerahan."[1]
Secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli,antaralain:
1. Jual beli antara suami istri
Pertimbangan hokum tidak diperkenakan jual beli antara suami istri karena mereka sejak terjadinya perkawinan, maka saat itulah terjadi percampuran harta yang disebut harta bersama,kecuali ada perjanjian kawin.Namun ketentuan itu ada pengecualian yaitu:
Jika seorang suami istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.
Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alas
an yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada
suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai
harta perkawinan.
Jual beli oleh para hakim, jaksa, advokat/pengacara, jurusita dan notaris, para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.
Pegawai yang memangku jabatan umum:yang dimaksud disini adalah membeli untuk kepentingan diri sendiri terhadap barang yang dilelang.
D. Syarat – syarat
jual beli
Adapun syarat-syarat sahnya jual
beli yang dituturkan oleh ulamamazhab diantaranya sebagi berikut:
1. Menurut mazhab Hanafi syarat jual beli itu ada empat kategori
yaitu
a). Orang yang berakad harus mumayyiz dan berbilang.
b).
Sighatnya harus dilakukan di satu tempat, harus sesuia, dan harus didengar oleh
kedua belah pihak.
c). Opjeknya dapat dimanfaatkan, suci, milik sendiri, dapat
diserahterimakan.
d). Harga harus jelas.
2. Menurut mazhab Maliki syarat jual beli adalah
a). Orang
yang melakukan akad harus mumayyiz, cakap hukum, berakal sehat
dan
pemilik barang.
b).
Pengucapan lapadz harus dilaksanakan dalam satu majelis, antara ijab dan qabul
tidak terputus.
c).
Barang yang diperjual belikan harus suci, bermanfaat, diketahui oleh penjual
dan pembeli, serta dapat diserahterimakan.
3.
Menurut mazhab Syafi’iyah syarat jual beli adalah
a). Orang
yang berakad harus mumayyiz, berakal, kehendak sendiri, beragama Islam.
b). Ojek
yang diperjual belikan harus suci, dapat diserahterimakan, dapat dimenfaatkan
secara syara’, hak milik sendiri, berupa meteri dan sifat-sifatnya dapat
dinyatakan secara jelas.
c). Ijab
dan qabul tidak terputus dengan percakapan lainnya, harus jelas, tidak dibatasi
periode tertentu.
4.
Menurut mazhab Hanbali syarat jual beli adalah
a). Orang
yang berakad harus mubaligh dan berakal sehat (kecuali barang-
barang
yang ringan), adanya kerelaan.
b). sighatnya
harus berlangsung dalam satu majlis, tidak terputus, dan akadnya
tidak
dibatasi dengan periode waktu.
c). Opjeknya
berupa harta, milik para pihak, dapat diserahterimakan, dinyatakan secara
jelas, harga dinyatakan secara jelas, tidak ada halangan syara’.39
E. Bentuk-bentukjual
beli
Bentuk-bentuk Jual
Beli
Ulama Hanafiah
membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk:
1. Jual Beli yang
Sahih
Jual beli yang
sesuai dengan disyari’atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan
milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Sifatnya mengikat
kedua belah pihak.
2. Jual Beli yang
Batal
Apabila salah satu
atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan
sifatnya tidak disyari’atkan. Diantara bentuknya: Jual beli sesuatu yang tidak
ada (bai’ al-ma’dum), Jual beli yang mengandung unsur penipuan (gharar) &
Jual beli benda-benda najis dan tidak mengandung makna harta, seperti bangkai.
3. Jual beli yang Fasid
Ulama Hanafiah
membedakan jual beli fasid dengan batal. Jual beli fasidadalah akad yang secara
asal disyariatkan, tetapi terdapat masalah atas sifat akad tersebut.Seperti
jual beli Majhul (barang tidak dispesifikasi secara jelas) yang dapat
mendatangkan perselisihan, menjual rumah tanpa menentukan rumah mana yang akan
dijual dari beberapa rumah yang dimiliki.
F.
JUAL BELI YANG DILARANG
1. Bai’
al-Ma’dum
Jual beli atas objek transaksi yang tidak
ada ketika kontrak jual beli dilakukan, seperti menjual mutiara yang masih di
dasar laut, menjual anak onta yang masih dalam kandungan
2. Bai’
Ma’juz al-Taslim
Jual beli dimana objek transaksinya tidak
bisa diserah terimakan, seperti menjual merpati yang sedang keluar dari
sangkarnya, menjual mobil yang dibawa pencuri
3. Bai’ al
Gharar
Jual beli yang mengandung unsur risiko
dan akan menjadi beban salah satu pihak dan mendatangkan kerugian financial.
Gharar berarti sesuatu yang wujudnya belum bisa dipastikan, di antara ada dan
tiada , tidak diketahui kualitas & kuantitasny atau sesuatu yang tidak bisa
diserah terimakan, yang termasuk jual beli gharar:
– Muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman
yang masih di sawah.
– Mukhadharah, menjual buah-buahan yang
masih hijau (belum pantas dipanen)
– Mulamasah, jual beli secara sentuh
menyentuh. Misal, orang yang menyentuh sehelai kain atau barang berarti
dianggap/diharuskan membeli barang tersebut.
– Munabadzah/al-hashshah, jual beli
secara lempar melempar, seperti seseorang berkata: “Lemparkan kepadaku apa yang
ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku.” Setelah
lempar-melempar terjadilah jual beli
– Muzabanah, jual beli barter yang diduga keras
tidak sebanding, menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual
padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan ditimbang, sehingga akan merugikan
pemilik padi kering.
4. Bai’ ‘Inah.
Maksud jual beli ‘inah yaitu apabila
seseorang menjual suatu barang dagangan kepada orang lain dengan pembayaran
tempo (kredit) kemudian orang itu (si penjual) membeli kembali barang itu
secara tunai dengan harga lebih rendah dari harga awal sebelum hutang uangnya
lunas.
5.
Bai’atani fi Bai’ah
Dua akad dalam satu jual beli, tidak
jelas akad mana yang dipakai. Atau menggantungkan satu akad dengan akad lain
dalam satu jual beli tanpa ada kejelasan harga
6.
Bai’ Hadhir Libaad
Seorang Supplier dari perkotaan datang ke
produsen yang tinggal di pedesaan yg tidak mengetahui perkembangan & harga
pasar. Supplier akan membeli barang dari produsen dengan harga yang relatif
murah, dan mereka memanfaatkan
ketidaktahuan produsen
7.
Talaqqi Rukban
Merupakan transaksi jual beli , dimana
supplier mencegat produsen yang sedang dalam perjalanan menuju pasar dalam
kondisi belum mengetahui harga pasar.
8.
Bai’ Najasy
Upaya mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan menciptakan permintaan palsu.(Manipulasi demand)
G. Hak dan kewajiban
jual beli
Transaksi jual beli antara penjual dan pembeli
pada saat ini telah mengalami banyak sekali perkembangan, khususnya sejak
pandemi Covid-19 dimana transaksi lebih banyak terjadi secara online. Transaksi
tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja bahkan kapan saja.
Namun, dibalik kemudahan dalam transaksi jual beli ini saat ini, terdapat
berbagai permasalahan, misalnya barang yang diterima oleh pembeli (konsumen)
sering tidak sesuai dengan iklan atau yang dijanjikan oleh penjual (pelaku
usaha). Atau, banyak juga terjadi penjual tidak membuat keterangan yang lengkap
dalam deskripsi produk sehingga pembeli melakukan transaksi dengan keterangan
yang tidak lengkap atau mungkin menyesatkan. Terlepas dari transaksi dilakukan
secara online atau offline, hukum positif telah mengatur mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pihak untuk melindungi para pembeli/pengguna sebagai
konsumen.
Sebelum membahas mengenai hak dan kewajiban
para pihak dalam transaksi jual beli, perlu dipahami terlebih dahulu apa
pengertian konsumen dan pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Undang Undang No
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”).
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku Usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
Lalu, apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban
setiap konsumen maupun pelaku usaha? Berikut uraiannya berdasarkan UU
Perlindungan Konsumen:
Hak Konsumen (Pasal 4 UU Perlindungan
Konsumen)
·
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
·
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan;
·
hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
·
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
·
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
·
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen;
·
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
·
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Konsumen (Pasal 5 UU Perlindungan
Konsumen)
·
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
·
beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa;
·
membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati;
·
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
·
Lebih lanjut, sebagai pihak lain dalam sebuah
transaksi jual beli, penjual sebagai pelaku usaha juga mempunyai hak dan
kewajiban sebagai berikut
·
Hak Pelaku Usaha (Pasal 6 UU Perlindungan
Konsumen)
·
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
·
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
·
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya
di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
·
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
·
Kewajiban Pelaku Usaha (Pasal 7 UU
Perlindungan Konsumen)
·
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya;
·
Memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
·
Memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
·
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
·
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
UU Perlindungan Konsumen sendiri dirancang dan
dibuat untuk lebih melindungi para konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur
dan bertanggungjawab dari pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Seiring
berkembangnya cara dan metode bertransaksi, maka kemungkinan adanya perilaku
curang dari pelaku usaha juga sangat rentan. Oleh karena itu, para pembeli
dan/atau konsumen perlu mengetahui dan memperhatikan pula bahwa terdapat
larangan bagi pelaku usaha dalam memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa. Hal ini menjadi penting juga untuk melindungi hak-hak konsumen.
Berikut perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha khususnya dalam memproduksi
dan memperdagangkan barang dan/atau jasa (Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen):
·
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
·
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
·
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih
atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut;
·
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan
dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
·
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi,
proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau
jasa tersebut;
·
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau
jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
·
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
·
tidak memasang label atau membuat penjelasan
barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha
serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat;
·
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
·
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud.
·
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran
terhadap larangan pada butir 1 dan 2 diatas, maka pelaku usaha tidak boleh
melanjutkan memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut dan wajib untuk
menariknya dari peredaran.
H. Resiko jual beli
a.resiko atas suatu barang.Hal ini dikatakan
tidak adil karena lemari tersebut belum kepunyaan si pembeli masih dikatakan
calon pemilik. Akan tetapiKUHPerdatamenganut sistem yang berlainan dengan Code
Civil dalam hal pemindahan hak milik, sehingga dengan ditutupnya perjanjian
maka barang tersebut sudah menjadi milik si pembeli sesuai dengan yang
dinyatakan dalam Pasal 1460 KUHPerdata.
b. Mengenai barang yang dijual menurut berat,
jumlah atau ukuran Risiko atas barang yang dijual menurut berat,jumlah atau
ukuran diletakkan pada pundaknya si penjual hinga barang-barang itu telah
ditimbang, dihitung atau diukur. Barang-barang yang masih harus ditimbang
dahulu, dihitung atau diukur dahulu sebelumnya dikirim diserahkan kepada si
pembeli, boleh dikatakan baru dipisahkan dari barang-barang milik si penjual
lainnya setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran.Baru
setelah dipisahkan itu merupakan barang yang disediakan untuk dikirimkan kepada
pembeli atau untuk diambil oleh pembeli.Ketika barang-barang itu masih harus
ditimbang dihitung atau diukur dahulu, sebelum dilakukan maka risikonya
diletakkan pada si penjual.Akan tetapi jika setelah dilakukan penimbangan,
perhitungan dan pengukuran resiko tersebut otomatis dipindahkan pada si pembeli
sesuai yang dinyatakan dalam Pasal 1461 KUHPerdata. c. Mengenai barang-barang
yang dijual menurut tumpukan Risiko atas barang-barang yang dijual menurut
tumpukan diletakkan pada si pembeli.Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat
dikatakan sudah dari semula disendirikan dipisahkan dari barang-barang milik
penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan
kepada pembeli.Kesimpulannya adalah bahwa selama belum di levering terhadap
barang dari macam apa saja resikonya masih harus dipikul oleh si penjual, dan
yang masih merupakan pemilik sampai pada saat barang itu secara yuridis
diserahkan kepada pembeli sesuai yang dinyatakan dalam Pasal 1462 KUHPerdata.
Perlu diketahui, sehubungan dengan Pasal 1460 KUHPerdata sebagaimana sudah
uraikan di muka, bahwa terdapatnya suatu keadaan yang tidak adil itu maka sejak
saat timbulnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, risiko yang
diatur dalam Pasal 1460 itu dianggap tidak berlaku lagi. Dan dalam menghadapi
risiko dalam perjanjian jual beli ini sebagaimana yang tersebut dalam pasal
1460 itu, setelah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dapat dilihat
secara kasuistis, bahkan kalau perlu kerugian itu dapat dipikul oleh kedua
belah pihak. Dengan demikian maka pembeli hanya membayar separuh saja dari harga
dan si penjual pun menerimanya.Jadi masing-masing menderita 50 persen.Inilah
jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung.
I.
Berakhirnya perjanjian jual beli
UDUT HUKUM | Menurut Pasal 1381 KUHP perdata,
sebab-sebab berakhirnya perjanjian jual beli yaitu:
1.
Pembayaran;
2.
Penawaran pembayaran tunai.
3.
diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
4.
Pembaharuan hutang.
5.
Perjumpaan hutang atau kompensasi.
6.
Percampuran hutang.
7.
Pembebasan hutang.
8.
Musnahnya barang yang terutang.
9.
Kebatalan atau pembatalan.
10.
Berlakunya suatu syarat batal.
11.
yang diatur dalam bab kesatu buku ini; dan Lewat waktu, hal mana
akan diatur dalam suatu bab tersendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum perjanjian merupakan bagian dari Hukum Perdata, yaitu Hukum
yang mengatur kepentingan perseorangan yang bersumber dalam Kitab Undang undang
Hukum Perdata (BW) yang berisi buku kesatu tentang orang, buku kedua tentang
benda, buku ketiga tentang perikatan dan buku keempat tentang pembuktian dan
kedaluarsaan. Hukum Perjanjian yang bersumber dalam buku ketiga Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW) berupa aturan aturan (ketentuan) sebagai
pedoman berisi hak dan kewajiban dalam hubungan orang dengan orang yang
mempunyai kepentingan dalam ruang lingkup harta kekayaan.
Secara umum akibat hukum dari suatu perjanjian
pada umumnya termasuk perjanjian baku, apabila telah memenuhi ketentuan syarat
sahnya suatu perjanjian sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320
KUH perdata dengan berdasarkan asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH
Perdata, maka perjanjian yang disepakati oleh para pihak secara sah akan
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang terikat dan membuat perjanjian
tersebut. Apabila pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, tidak dapat
melaksanakan prestasi atau salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pihak tersebut untuk
melaksanakan pemenuhan prestasi. Akan tetapi jika keberatan tersebut tidak
diindahkan, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan pemaksaan secara
hukum melalui gugatan wanprestasi kepengadilan Negeri setempat atau pengadilan
Negeri yang telah disepakati dalam perjanjian. Perlindungan hukum adalah hak bagi
setiap masyarakat baik dalam bermasyarakat maupun dalam ikatan perjanjian
B. Saran
1.
Pelaksanaan perlindungan hukum yang diberikan
oleh KUH Perdata kepada para pihak dalam perjanjian kontrak kerjasama,
sebaiknya bagi para pihak yang membuatnya harus berdasarkan asas itikad baik,
agar mengurangi terjadinya perselisihan diantara para pihak yang terikat di
dalam perjanjian pada saat pelaksanaan perjanjian.
2.
Kedua belah pihak harus benar-benar memahami
isi kontrak kerjasama dan diharapkan para pihak benar-benar dapat melaksanakan
isi kontrak tersebut, sehingga tidak akan menimbulkan wanprestasi, jika terjadi
wanprestasi maka para pihak harus benar- benar menghargai putusan Komisi
Arbitrase
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, cetakan
ke-8. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Departemen Pendidikan Nasional ,Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. Jakarta:
Balai Pustaka, 2002.
Edy Putra Tje’Aman, Mgs.Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Liberty,1998.
Hesty D, Lestari. "Kepemilikan Hak Cipta Dalam Perjanjian
Lisensi." Jurnal Yudisial 6, no.
2 2013.
https://learninghub.id/yuk-kenali-tahap-tahap-dalam-penyusunan-kontrak/.
Diakses pada 5 Maret 2022 pukul 12:30
M. Echols, John dan Shadily, Hansan.
Kamus Inggris Indonesia.
Jakarta: Gramedia, 1900.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum
Perikatan. Bandung : PT. Cipta Aditya Bakti, 1992.
Satrio, J.
Hukum Perikatan Perikatan Pada
Umumnya. Bandung: Alumni, 1993.
Vahya Harahap, M. Segi-segi Hukum Perjanjian Bandung Alumni. Bandung : Binacipta,
1962.
Yahya Harahap, M.Segi-segi Hukum Perjanjian.
Bandung : Alumni, 1982.
0 Response to "Makalah Hukum Bisnis || PERJANJIAN JUAL BELI"
Posting Komentar