Makalah Hukum Bisnis || PERJANJIAN JUAL BELI

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

            Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapamenyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Perjanjian Jual beli " dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Hukum Bisnis. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurnadan keterbatasan  pengentahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh

 

 

 

Bandar Lampung,05 Maret 2022

 

 

Kelompok 4

 

 

 

 






BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang        

                 Kemajuan teknologi di bidang transportasi yang demikian pesat,memberidampak terhadap perdagangan otomotif, dibuktikan denganmunculnya berbagai jenis mobil baru dari berbagai merek. Model dan tipe mobil baru dengan banyak fasilitas dan kemudahan banyak diminati olehpembeli, sehingga tidak jarang untuk membeli model dan tipe baru dari suatu merek, pembeli harus memesan lebih dahulu (indent).Pengertian jual – beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual – beli adalah suatu persetujuan, dengan manapihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian jual – beli merupakan suatu ikatan bertimbal balik dalam mana pihak yang satu ( si penjual ) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya ( si pembeli ) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas jumlah sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.Obyek perjanjian jual – beli cukup barang – barang tertentu,setidaknya dapatditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akandiserahkan hak miliknya kepada si pembeli, sehingga menjadi sah dalam perjanjian jual – beli. Unsur unsur pokok perjanjian jual – beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan azas “ konsesual “ yang menjiwai hukum perjanjian hukum perdata, perjanjian jual– beli itu sudah dilahirkan pada detiktercapainya kata “ sepakat “ mengenai barang dan harga, maka lahirlahperjanjian jual – beli yang sah.

                 Hukum perjanjian dari hukum perdata menganut asas konsesualisme. Artinya, untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu ( dan dengan demikian “ perikatan “ yang ditimbulkan karenanya ) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan diatas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi          dan mengikat, bukannya pada detik – detik lain yang terkemudian atau sebelumnya.

                 Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu : (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,          (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, (3) Suatu hal tertentu, dan (4) Kausa / sebab yang halal. Dua syarat yang pertama merupakan syarat yang menyangkut subyeknya ( syarat subyektif ) sedangakan dua syarat terakhir adalah mengenal obyeknya ( syarat obyektif ). Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subyeknya tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya, tetapi seringkali hanyamemberikankemungkinan untuk dibatalkan, sedangkan perjanjian yang cacat dalam segiobyeknya adalah batal demi hukum.Dalam jual – beli ada dua subyek, yaitu penjual dan pembeli, yang masing – masing mempunyai berbagai kewajiban dan berbagai hak. Maka masing – masing dalam beberapa hal tersebut merupakan pihak yangberkewajiban dan dalam hal lain merupakan pihak yang berhak. Iniberhubungan dengan sifat timbal balik dari perjanjian jual – beli.

                 Subyek yang berupa manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudahdewasa, sehat pikirannya dan secara hukum tidak dilarang atau diperbatasi dalam hal melakukan. Perbuatan hukum yang sah. Untuk orang yang belum dewasa, harus didampingi orang tua atau walinya, untuk orang – orang yang tidak sehat pikirannya, harus bertindak seorang pengawas atau curatornya.Apabila subyek dari jual – beli adalah si penjual dan pembeli, yaitu anasir – anasir yang bertindak, maka obyek dari jual – beli adalahbarang yang oleh mereka dijual atau dibeli. Untuk menentukan apa yangmenjadi obyek jual – beli adalah barang atau hak yang dimiliki. Ini berarti, bahwa yang dapat dijual atau dibeli itu tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan suatu hak atas barang yang bukan hak milik. Syarat dari obyek jual – beli adalah layak, apabila pada waktu jual – beli terjadi. Apabila barang sudah musnah sama sekali, maka perjanjian batal, sedangkan apabilabarangnya hanya sebagian saja musnah, maka si pembeli dapat memilihantara pembatalan jual – beli atau penerimaan bagian barang yang masih ada dengan pembayaran sebagian dari harga yang sudah diperjanjian. Berdasarkan undang – undang Hukum Peradata, ada beberapa macam perjanjian jual –beli, diantaranya adalah :

(1) jual – beli dengan percobaan, ditentukan bahwa

barang yang dibeli harus dicoba dulu oleh si pembeli,

(2) jual – beli dengan contoh ( koop op monster ), waktu jual – beli terjadi, beli lihat barangtertentu yang akan dibeli, melainkan ditunjukkan saja kepadanya suatu contoh dari yang akan dibeli,

 (3) jual – beli secara kredit, unsur dari jual– beli yang dibuktikan dengan adanya persetujuan jual – beli barang. Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat pada piutang tersebut. Pihak yang berhutang telah mengikatkan dirinya untuk jumlah hargapembelian yang telah diterima untuk piutangnya dan cara pembayarannya,

(4) jual – beli dengan memesan lebih dahulu ( indent ), jual – beli dianggap

telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah terjadi antara pembeli

dan penjual mencapai sepakat tentang benda tersebut dan harganya, meskipun

benda itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

                 Jual – beli systemindent adalah suatu system perintah ( order ) pembelian oleh seorang penjualkepada seorang pembeli dengan harga yangditetapkan sebelumnya untuk spesifikasi yang dimaksud dan biasanyadilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Jual – beli dengan sistem indent – cash bahwa sistem pembayaran dimuka atau panjer termasuk dalamperjanjian. Sistem pembayaran ini merupakan pelaksanaan perjanjian dalam arti yang sebenarnya, yaitu bahwa dengan pembayaran ini tercapailah tujuan perjanjian kedua belah pihak pada waktu membentuk persetujuan.

                 Sedangkan untuk jual – beli indent dapat dilakukan secara kredit maupun cash ( kontan ).Jual – beli secara indent biasanya dilakukan untuk mendapatkan mobil dengan model dan tipe baru yang belum banyak dijual. Dapat dilakukan dengan memesan terlebih dahulu atau indent. Sistem indent adalah suatu sistem perintah ( order ) pembelian oleh seorang penjual kepada seorang penjual kepada seorang pembeli dengan harga yang ditetapkan sebelumnya untuk spesifikasi yang dimaksud dan biasanya dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Adapun sistem perjanjian dan pembayarannya tergantung dari masing – masing toko mobil dengan pembelinya. Umumnya pembeli memesan model dan tipe atau merek mobil terterntu dengan membayar uang muka atau panjar, kemudian disepakati cara pembayarannya dan sanksi – sanksi yang diberlakukan dalam suatu akta perjanjian jual – beli mobil.

                 Jual – beli dengan indent – cash bahwa sistem pembayaran muka atau panjer juga termasuk dalam perjanjian, pembayaran ini merupakan pelaksanaan perjanjian dalam arti yang sebenarnya, yaitu bahwa dengan pembayaran ini tercapailah perjanjian kedua belah pihak pada waktumembentuk persetujuan. Sedangkan untuk jual – beli indent – kredit adalah jual – beli dengan pembayaran secara angsuran. Pembeli tinggal menandatangani perjanjian yang disodorkan penjual dan membayar uang muka, angsuran bulanan dan biaya – biaya lain yang telah disepakati serta sanksi–sanksi yang diberlakukan terhadap pembeli secara kredit.

 

B.     Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah,

1.      maka dapat ditentukan permasalahan dalam penelitian ini adalah :

2.      Bagaimana bentuk dan isi perjanjian jual – beli

3.      Bagaimana perlaksanaan perjanjian jual – beli

4.      Bentuk – bentuk jual beli

5.      Hak dan kewajiban dari perjanjian jual beli

6.      Resiko jual beli

7.      Berakhirnya perjanjian jual beli

 

C.    Tujuan makalah

       Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

1.      Untuk menambah wawasan

2.      Untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah hukum bisnis

3.      untuk mengetahui asas-asas dalam perjanjian jual beli

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Perjanjian Jual Beli

Pengertian jual – beli dalam Pasal 1457 KUH Perdata adalah “ Suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu mengikatkan dirinya untukmenyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan “. Dalam perjanjian jual – beli tersebut ada dua subyek yang terkait, yaitu pihak satu ( penjual ) yang berjanji untk menyerahkan hak milik atas suatu benda, sedang pihak yang lain ( pembeli berjanji untuk membayar harga yang telah dijanjikan, sehingga timbul hubungan timbale balik antara penjual dan pembeli yang merupakan sifat dari perjanjian jual – beli.Barang yang menjadi obyek perjanjian jual – beli merupakan unsur yang penting dalam perjanjian jual – beli, disamping harga. Apabila barang yang dijual – belikan itu tidak ada, tentunya juga tidak ada perjanjian jual – beli. Jika dihubungkan dengan Pasal 1320 KUH Perdata mengenaisyarat – syarat ketiga untuk sahnya perjanjian yaitu harus ada hal tertentu, maka barang yang dimaksudkan dalam perjanjian harus ditentukan setidak – tidaknya dapat ditentukan barangnya yang menjadi obyek jual – beli.

Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, maka hanya barang – barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan.Barang – barang yang diperuntukkan guna kepentingan umum dianggapsebagai barang – barang diluar perdagangan, misalnya jalan – jalan raya, pelabuhan – pelabuhan, sungai – sungai, dan lain – lainnya yang termasuk barang yang tidak bergerak milik Negara tidak dapat dijadikan obyekpersetujuan.

Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan suatu syarat lagi agar suatu benda dapat menjadi obyek persetujuan jual – beli adalah benda itu harus tertentu paling sedikit tentang jenisnya.Barang – barang yang seketika belum ada yang diatur dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata, dapat menjadi obyek persetujuan jual – beli dengan suatu pengecualian. Mengenai istilah belum “ belum ada “ dalam arti mutlak, misalnya Pabrik Mobil menjual mobil yang baru akan dipropduksitahun depan. Sedangkan dalam arti tidak mutlak, misalnya seseorang menjual sebuah mobil yang sudah berwujud mobil, tetapi pada waktu itu masihmenjadi milik orang lain dan akan jatuh di tangan si penjual.Benda sebagai obyek jual – beli apabila pada saat terjadinya jual –beli musnah sama sekali, maka perjanjian tersebut batal.

Tetapi apabila barang yang menjadi obyek jual beli musnah hanya sebagian, maka pembeli dapat memilih untuk tidak membeli atau tetap mempertahankan perjanjian tersebut dalam arti tetap membeli barang yang masih ada, dengan tetap memperhatikan itikad baik dalam pelaksanaan persetujuan.Adanya kewajiban penjual untuk menyerahkan barang, maka penjual berhak atas pembayaran harga pembelian yang harus berupa uang. Meskipundalam undang – undang tidak mengaturnya, tetapi harga itu harus berupa sejumlah uang. Apabila pembayaran itu berupa barang lain, maka tidak ada jual – beli melainkan tukar – menukar. Harga harus berupa sejumlah uang sebagai alat pembayaran yang sah pada waktu terjadinya jual – beli.Dalam menentukan harga pembelian, harus ditetapkan oleh kedua pihak baik penjual maupun pembeli. Harus ada kesepakatan antara keduanya tentang harga pembelian, sehingga hanya ditentukan satu pihak saja, maka hal itu tidak diperbolehkan. Pasal 1465 ayat (2) KUH Perdata memperbolehkan penetapan harga pembelian oleh orang ketiga. Para pihak dapatmemperjanjikan, bahwa harga pembelian ditentukan oleh pihak ketiga. Sifat perintah kepada pihak ketiga untuk menentukan harga jual – belinyamerupakan suatu perintah untuk memberikan “ binded adnies “

 ( nasehat yang mengikat ). Apabila pihak ketiga itu tidak menentukan harganya, maka tidak terjadi perjanjian jual – beli. Karena harga merupakan unsure yang esensial untuk terjadinya jual – beli di samping unsur pokok yang lain yaitu barang sebagai obyek jual – beli. Kalau sudah terjadi kesepakatan mengenai suatu harga pembelian tertentu, baik oleh kedua pihak maupun oleh pihak ketiga, maka persetujuan jual – beli dapat dianggap terjadi.

 

B.     Azaz – azaz jual beli

Asas adalah prinsip dasar, Asas jual beli adalah prinsip dasar dalam jual beli.

Asas jual beli, diantaranya:

1). Asas suka sama suka.

Asas suka sama suka maksudnya dalam jual beli baik penjual maupun pembeli sama-sama suka melakukan jual beli tersebut, pembeli suka dengan barang yang hendak dibelinya, penjual suka menjual barang dagangannya, tidak ada unsur pemaksaan.

2). Asas keadilan.

Asas ini harus ada baik dalam proses produksi, cara memperolehnya atau distribusinya.

3). Asas saling menguntungkan.

Antara penjual dan pembeli tidak ada yang merasa dirugikan, maksudnya tidak ada unsur tipu menipu dalam jual beli

4). Asas saling menolong dan saling membantu.

Penjual membantu pembeli dalam hal mengadakan barang yang dibutuhkan pembeli, dan pembeli membantu penjual dalam hal mendapatkan untung bagi penjual.

 

C.    Subjek dan Objek Perjanjian

Objek perjanjian adalah suatu prestasi, menurut keten tuan Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi dapat berupa mem berikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pelaksanaan dari perikat an yang terbit dari perjanjian tersebut." Perjanjian membe rikan sesuatu (te geven) berupa penyerahan sesuatu barang atau memberikan sesuatu kenikmatan atas suatu barang, misalnya dalam jual beli, penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban mem berikan kenikmatan atas barang yang disewakan. Hal ini sesu ai dengan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata bahwa: "dalam tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si beruang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat penyerahan."[1]

Secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli,antaralain:

1.      Jual beli antara suami istri

Pertimbangan hokum tidak diperkenakan jual beli antara suami istri karena mereka sejak terjadinya perkawinan, maka saat itulah terjadi percampuran harta yang disebut harta bersama,kecuali ada perjanjian kawin.Namun ketentuan itu ada pengecualian yaitu:

Jika seorang suami istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.

Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alas an yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.

Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.

Jual beli oleh para hakim, jaksa, advokat/pengacara, jurusita dan notaris, para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.

Pegawai yang memangku jabatan umum:yang dimaksud disini adalah membeli untuk kepentingan diri sendiri terhadap barang yang dilelang.

 

D.    Syarat – syarat jual beli

Adapun syarat-syarat sahnya jual beli yang dituturkan oleh ulamamazhab diantaranya sebagi berikut:

1. Menurut mazhab Hanafi syarat jual beli itu ada empat kategori yaitu

a). Orang yang berakad harus mumayyiz dan berbilang.

 b). Sighatnya harus dilakukan di satu tempat, harus sesuia, dan harus didengar oleh kedua belah pihak.

c). Opjeknya dapat dimanfaatkan, suci, milik sendiri, dapat diserahterimakan.

d). Harga harus jelas.

2. Menurut mazhab Maliki syarat jual beli adalah

a). Orang yang melakukan akad harus mumayyiz, cakap hukum, berakal sehat

dan pemilik barang.

b). Pengucapan lapadz harus dilaksanakan dalam satu majelis, antara ijab dan qabul tidak terputus.

c). Barang yang diperjual belikan harus suci, bermanfaat, diketahui oleh penjual dan pembeli, serta dapat diserahterimakan.

3. Menurut mazhab Syafi’iyah syarat jual beli adalah

a). Orang yang berakad harus mumayyiz, berakal, kehendak sendiri, beragama Islam.

b). Ojek yang diperjual belikan harus suci, dapat diserahterimakan, dapat dimenfaatkan secara syara’, hak milik sendiri, berupa meteri dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.

c). Ijab dan qabul tidak terputus dengan percakapan lainnya, harus jelas, tidak dibatasi periode tertentu.

4. Menurut mazhab Hanbali syarat jual beli adalah

a). Orang yang berakad harus mubaligh dan berakal sehat (kecuali barang-

barang yang ringan), adanya kerelaan.

b). sighatnya harus berlangsung dalam satu majlis, tidak terputus, dan akadnya

tidak dibatasi dengan periode waktu.

c). Opjeknya berupa harta, milik para pihak, dapat diserahterimakan, dinyatakan secara jelas, harga dinyatakan secara jelas, tidak ada halangan syara’.39

 

E.     Bentuk-bentukjual beli

Bentuk-bentuk Jual Beli

Ulama Hanafiah membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk:

1. Jual Beli yang Sahih

Jual beli yang sesuai dengan disyari’atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Sifatnya mengikat kedua belah pihak.

2. Jual Beli yang Batal

Apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyari’atkan. Diantara bentuknya: Jual beli sesuatu yang tidak ada (bai’ al-ma’dum), Jual beli yang mengandung unsur penipuan (gharar) & Jual beli benda-benda najis dan tidak mengandung makna harta, seperti bangkai.

3.  Jual beli yang Fasid

Ulama Hanafiah membedakan jual beli fasid dengan batal. Jual beli fasidadalah akad yang secara asal disyariatkan, tetapi terdapat masalah atas sifat akad tersebut.Seperti jual beli Majhul (barang tidak dispesifikasi secara jelas) yang dapat mendatangkan perselisihan, menjual rumah tanpa menentukan rumah mana yang akan dijual dari beberapa rumah yang dimiliki.

 

F.     JUAL BELI YANG DILARANG

1.      Bai’ al-Ma’dum

Jual beli atas objek transaksi yang tidak ada ketika kontrak jual beli dilakukan, seperti menjual mutiara yang masih di dasar laut, menjual anak onta yang masih dalam kandungan

2.      Bai’ Ma’juz al-Taslim

Jual beli dimana objek transaksinya tidak bisa diserah terimakan, seperti menjual merpati yang sedang keluar dari sangkarnya, menjual mobil yang dibawa pencuri

3.      Bai’ al Gharar

Jual beli yang mengandung unsur risiko dan akan menjadi beban salah satu pihak dan mendatangkan kerugian financial. Gharar berarti sesuatu yang wujudnya belum bisa dipastikan, di antara ada dan tiada , tidak diketahui kualitas & kuantitasny atau sesuatu yang tidak bisa diserah terimakan, yang termasuk jual beli gharar:

– Muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di sawah.

– Mukhadharah, menjual buah-buahan yang masih hijau (belum pantas dipanen)

– Mulamasah, jual beli secara sentuh menyentuh. Misal, orang yang menyentuh sehelai kain atau barang berarti dianggap/diharuskan membeli barang tersebut.

– Munabadzah/al-hashshah, jual beli secara lempar melempar, seperti seseorang berkata: “Lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku.” Setelah lempar-melempar terjadilah jual beli

– Muzabanah, jual beli barter yang diduga keras tidak sebanding, menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan ditimbang, sehingga akan merugikan pemilik padi kering.

 

4. Bai’ ‘Inah.

Maksud jual beli ‘inah yaitu apabila seseorang menjual suatu barang dagangan kepada orang lain dengan pembayaran tempo (kredit) kemudian orang itu (si penjual) membeli kembali barang itu secara tunai dengan harga lebih rendah dari harga awal sebelum hutang uangnya lunas.

5.  Bai’atani fi Bai’ah

Dua akad dalam satu jual beli, tidak jelas akad mana yang dipakai. Atau menggantungkan satu akad dengan akad lain dalam satu jual beli tanpa ada kejelasan harga

6.  Bai’ Hadhir Libaad

Seorang Supplier dari perkotaan datang ke produsen yang tinggal di pedesaan yg tidak mengetahui perkembangan & harga pasar. Supplier akan membeli barang dari produsen dengan harga yang relatif murah, dan mereka  memanfaatkan ketidaktahuan produsen

7.  Talaqqi Rukban

Merupakan transaksi jual beli , dimana supplier mencegat produsen yang sedang dalam perjalanan menuju pasar dalam kondisi belum mengetahui harga pasar.

8.  Bai’ Najasy

Upaya mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menciptakan permintaan palsu.(Manipulasi demand)

 

G.    Hak dan kewajiban jual beli

Transaksi jual beli antara penjual dan pembeli pada saat ini telah mengalami banyak sekali perkembangan, khususnya sejak pandemi Covid-19 dimana transaksi lebih banyak terjadi secara online. Transaksi tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja bahkan kapan saja. Namun, dibalik kemudahan dalam transaksi jual beli ini saat ini, terdapat berbagai permasalahan, misalnya barang yang diterima oleh pembeli (konsumen) sering tidak sesuai dengan iklan atau yang dijanjikan oleh penjual (pelaku usaha). Atau, banyak juga terjadi penjual tidak membuat keterangan yang lengkap dalam deskripsi produk sehingga pembeli melakukan transaksi dengan keterangan yang tidak lengkap atau mungkin menyesatkan. Terlepas dari transaksi dilakukan secara online atau offline, hukum positif telah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk melindungi para pembeli/pengguna sebagai konsumen.

Sebelum membahas mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam transaksi jual beli, perlu dipahami terlebih dahulu apa pengertian konsumen dan pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Undang Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”). Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Lalu, apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban setiap konsumen maupun pelaku usaha? Berikut uraiannya berdasarkan UU Perlindungan Konsumen:

Hak Konsumen (Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen)

·         hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

·         hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

·         hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

·         hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

·         hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

·         hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

·         hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

·         hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

·         hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

 

 

Kewajiban Konsumen (Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen)

·         membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

·         beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

·         membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

·         mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

·         Lebih lanjut, sebagai pihak lain dalam sebuah transaksi jual beli, penjual sebagai pelaku usaha juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut

·         Hak Pelaku Usaha (Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen)

·         hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

·         hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

·         hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

·         hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

·         hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

·         Kewajiban Pelaku Usaha (Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen)

·         Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

·         Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

·         Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

·         Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

·         Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

·         Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

·         Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

UU Perlindungan Konsumen sendiri dirancang dan dibuat untuk lebih melindungi para konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dari pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Seiring berkembangnya cara dan metode bertransaksi, maka kemungkinan adanya perilaku curang dari pelaku usaha juga sangat rentan. Oleh karena itu, para pembeli dan/atau konsumen perlu mengetahui dan memperhatikan pula bahwa terdapat larangan bagi pelaku usaha dalam memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa. Hal ini menjadi penting juga untuk melindungi hak-hak konsumen. Berikut perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha khususnya dalam memproduksi dan memperdagangkan barang dan/atau jasa (Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen):

·         Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

·         tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

·         tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

·         tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

·         tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

·         tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

·         tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

·         tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

·         tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

·         tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

·         tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

·         Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

·         Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap larangan pada butir 1 dan 2 diatas, maka pelaku usaha tidak boleh melanjutkan memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut dan wajib untuk menariknya dari peredaran.

 

H.    Resiko jual beli

a.resiko atas suatu barang.Hal ini dikatakan tidak adil karena lemari tersebut belum kepunyaan si pembeli masih dikatakan calon pemilik. Akan tetapiKUHPerdatamenganut sistem yang berlainan dengan Code Civil dalam hal pemindahan hak milik, sehingga dengan ditutupnya perjanjian maka barang tersebut sudah menjadi milik si pembeli sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pasal 1460 KUHPerdata.

b. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran Risiko atas barang yang dijual menurut berat,jumlah atau ukuran diletakkan pada pundaknya si penjual hinga barang-barang itu telah ditimbang, dihitung atau diukur. Barang-barang yang masih harus ditimbang dahulu, dihitung atau diukur dahulu sebelumnya dikirim diserahkan kepada si pembeli, boleh dikatakan baru dipisahkan dari barang-barang milik si penjual lainnya setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran.Baru setelah dipisahkan itu merupakan barang yang disediakan untuk dikirimkan kepada pembeli atau untuk diambil oleh pembeli.Ketika barang-barang itu masih harus ditimbang dihitung atau diukur dahulu, sebelum dilakukan maka risikonya diletakkan pada si penjual.Akan tetapi jika setelah dilakukan penimbangan, perhitungan dan pengukuran resiko tersebut otomatis dipindahkan pada si pembeli sesuai yang dinyatakan dalam Pasal 1461 KUHPerdata. c. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan Risiko atas barang-barang yang dijual menurut tumpukan diletakkan pada si pembeli.Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula disendirikan dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli.Kesimpulannya adalah bahwa selama belum di levering terhadap barang dari macam apa saja resikonya masih harus dipikul oleh si penjual, dan yang masih merupakan pemilik sampai pada saat barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli sesuai yang dinyatakan dalam Pasal 1462 KUHPerdata. Perlu diketahui, sehubungan dengan Pasal 1460 KUHPerdata sebagaimana sudah uraikan di muka, bahwa terdapatnya suatu keadaan yang tidak adil itu maka sejak saat timbulnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, risiko yang diatur dalam Pasal 1460 itu dianggap tidak berlaku lagi. Dan dalam menghadapi risiko dalam perjanjian jual beli ini sebagaimana yang tersebut dalam pasal 1460 itu, setelah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dapat dilihat secara kasuistis, bahkan kalau perlu kerugian itu dapat dipikul oleh kedua belah pihak. Dengan demikian maka pembeli hanya membayar separuh saja dari harga dan si penjual pun menerimanya.Jadi masing-masing menderita 50 persen.Inilah jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung.

 

I.       Berakhirnya perjanjian jual beli

UDUT HUKUM | Menurut Pasal 1381 KUHP perdata, sebab-sebab berakhirnya perjanjian jual beli yaitu:

1.      Pembayaran;

2.      Penawaran pembayaran tunai.

3.      diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.

4.      Pembaharuan hutang.

5.      Perjumpaan hutang atau kompensasi.

6.       Percampuran hutang.

7.      Pembebasan hutang.

8.      Musnahnya barang yang terutang.

9.      Kebatalan atau pembatalan.

10.  Berlakunya suatu syarat batal.

11.  yang diatur dalam bab kesatu buku ini; dan Lewat waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Hukum perjanjian merupakan bagian dari Hukum Perdata, yaitu Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang bersumber dalam Kitab Undang undang Hukum Perdata (BW) yang berisi buku kesatu tentang orang, buku kedua tentang benda, buku ketiga tentang perikatan dan buku keempat tentang pembuktian dan kedaluarsaan. Hukum Perjanjian yang bersumber dalam buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) berupa aturan aturan (ketentuan) sebagai pedoman berisi hak dan kewajiban dalam hubungan orang dengan orang yang mempunyai kepentingan dalam ruang lingkup harta kekayaan.

Secara umum akibat hukum dari suatu perjanjian pada umumnya termasuk perjanjian baku, apabila telah memenuhi ketentuan syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH perdata dengan berdasarkan asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata, maka perjanjian yang disepakati oleh para pihak secara sah akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang terikat dan membuat perjanjian tersebut. Apabila pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, tidak dapat melaksanakan prestasi atau salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pihak tersebut untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Akan tetapi jika keberatan tersebut tidak diindahkan, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan pemaksaan secara hukum melalui gugatan wanprestasi kepengadilan Negeri setempat atau pengadilan Negeri yang telah disepakati dalam perjanjian. Perlindungan hukum adalah hak bagi setiap masyarakat baik dalam bermasyarakat maupun dalam ikatan perjanjian

 

 

 

B.     Saran

1.        Pelaksanaan perlindungan hukum yang diberikan oleh KUH Perdata kepada para pihak dalam perjanjian kontrak kerjasama, sebaiknya bagi para pihak yang membuatnya harus berdasarkan asas itikad baik, agar mengurangi terjadinya perselisihan diantara para pihak yang terikat di dalam perjanjian pada saat pelaksanaan perjanjian.

2.        Kedua belah pihak harus benar-benar memahami isi kontrak kerjasama dan diharapkan para pihak benar-benar dapat melaksanakan isi kontrak tersebut, sehingga tidak akan menimbulkan wanprestasi, jika terjadi wanprestasi maka para pihak harus benar- benar menghargai putusan Komisi Arbitrase


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Daud Ali, Mohammad.  Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cetakan ke-8. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Departemen Pendidikan Nasional ,Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Edy Putra Tje’Aman, Mgs.Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Liberty,1998.

Hesty D, Lestari.  "Kepemilikan Hak Cipta Dalam Perjanjian Lisensi." Jurnal Yudisial 6, no. 2 2013.

https://learninghub.id/yuk-kenali-tahap-tahap-dalam-penyusunan-kontrak/. Diakses pada 5 Maret 2022 pukul  12:30

M. Echols, John dan Shadily, Hansan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1900.

Muhammad, Abdulkadir.   Hukum Perikatan. Bandung : PT. Cipta Aditya Bakti, 1992.

Satrio, J.  Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni, 1993.

Vahya Harahap, M. Segi-segi Hukum Perjanjian Bandung Alumni. Bandung : Binacipta, 1962.

Yahya Harahap, M.Segi-segi Hukum Perjanjian.  Bandung : Alumni, 1982.

 



[1] M. Vahya Harahap, Segi-segi Hukum PerjanjianBandung Alumni, (Bandung : Binacipta,1962),10.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Hukum Bisnis || PERJANJIAN JUAL BELI"

Posting Komentar