Makalah Hukum Bisnis || Perjanjian Sewa Menyewa
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah
SWT. Berkat karunia-Nya, Makalah perkuliahan Hukum Bisnis ini bisa hadir
sebagai makalah perkuliahan.Makalah perkuliahan ini disusun sebagai salah satu
sarana pembelajaran pada mata kuliah Hukum Bisnis.Akhirnya, penulis ucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut membantu dan
berpartisipasi demi tersusunnya Makalah perkuliahan Hukum Bisnis.
Penulis
menyadari bahwa Makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun bagi pembaca, semoga makalah ini bermanfaat.
Bandar
Lampung, Maret 2022
Penulis
5. Asas Personalitas atau asas kepribadian
6. Asas Force Majeur atau asas overmacht atau asas keadaan memaksa
7. Asas Exceptio Non Adimpleti Contractus
D. Subjek
dan Objek Sewa-menyewa
2. Sewa-menyewa toko dan rumah
F. Hak
dan Kewajiban Dari Perjanjian Sewa Menyewa
H. Berakhirnya
Perjanjian Sewa Menyewa
BAB I
PENDAHULUAN
Timbulnya hukum karena manusia hidup
bermasyarakat. Hukum perdata mengatur hak dan kewajiban pribadi dalam hidup
bermasyarakat manusia adalah sentral. Manusia adalah penggerak kehidupan
masyarakat karena itu manusia adalah pendukung hak dan kewajiban. Hukum perdata
mengatur siapakah yang dimaksud dengan orang sebagai pendukung hak dan
kewajiban.
Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai
kebutuhan, kebutuhan itu hanya dapat terpenuhi apabila dilakukan dengan usaha
dan kerja keras. Mereka mengadakan hubungan antara satu sama lain. Keberhasilan
dalam usaha kehidupan adalah harta kekayaan yang mereka peroleh sehingga
kelangsungan hidup keluarga dapat terjamin.
Masyarakat Indonesia sedang mengalami
perubahan menuju kehidupan teratur, adil, serta saling menghargai dan
menghormati. Sudah menjadi slogan bagi masyarakat yang mendambakan perubahan
bermakna dalam kehidupan, yaitu menciptakan aturan hukum yang mudah dipahami,
mudah diterapkan, adil dan tidak mengenal diskriminasi perlakuan di segala
lapisan masyarakat.
Seiring dengan perkembangan dunia usaha, maka
berbagai pihak mengajukan untuk melakukan pengkajian terhadap dunia usaha
tersebut secara lebih komprehensif, baik dari sudut pandang praktis maupun
teoritis. Munculnya pemikiran semacam itu, rasanya memang suatu hal yang tidak
mungkin dihindarkan pada saat sekarang ini, karena jika berbicara dalam konteks
bisnis hampir tidak ada lagi batas-batas antar negara. Hal itu disebabkan dalam
dekade terakhir ini mobilitas bisnis melintas antar negara demikian cepat.
Untuk itu, tanpa terasa norma hukum maupun karakteristik dari perusahaan yang
akan melakukan kegiatannya di suatu negara sedikit banyak juga dipengaruhi oleh
sistem hukum dari negara asal perusahaan yang bersangkutan.
1.
Pengertian Sewa Menyewa
2.
Azaz-Azaz Sewa Menyewa
3.
Syarat-Syarat Sewa Menyewa
4.
Subyek dan Obyek Sewa Menyewa
5.
Bentuk-bentuk Sewa Menyewa
6.
Hak dan Kewajiban Dari Perjanjian Sewa Menyewa
7.
Resiko Sewa Menyewa
8.
Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
BAB II
PEMBAHASAN
Sewa-menyewa atau perjanjian
sewa-menyewa diatur dalam pasal 1548 s.d. pasal 1600 KUHPerdata. Ketentuan yang
mengatur tentang perjanjian sewa-menyewa terdapat dalam pasal 1548 KUHPerdata
yang menyebutkan : “Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak satu
mengikatdirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari
sesuatubarang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga,
yang oleh pihak tersebut terakhir disanggupi pembayarannya.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti
memakai dengan membayar uang sewa. Menurut Wiryono Projodikoro, sewa menyewa
barang adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain untuk
memulai dan memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa
oleh pemakai kepada pemilik.
Menurut Yahya Harahap, Sewa menyewa
adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak
yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa
untuk dinikmati sepenuhnya.Adapun defenisi sewa-menyewa yang dikemukakan C.S.T
Kansil adalah suatu perjanjian untuk menyerahkan suatu barang untuk digunakan
dalam waktu tertentu dan dengan sewa tertentu.[1]
Sewa-menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan “Al-ijarah”,
yang mana adalah
bentuk masdar dari kata ajara
-
-
-
yang berarti membalas, mengupah,
dan menyewakan.4 Menurut hukum Islam
sewa-menyewa itu diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian.5
Jadi sewa-menyewa adalah pengambilan manfaat
sesuatu benda. Dalam hal ini bendanya tidak berkurang
sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah
manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti sawah. Yang
berpindah hanyalah manfaat dari sawah itu, bukan kepemilikan dari sawah tersebut.
Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan
WJS. Poerwadarminta, Perjanjian adalah Persetujuan (tertulis
atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana berjanji
akan mentaati apa yang tersebut
di persetujuan itu.[2]
Asas ini ada dua yaitu subyektif dan obyektif, diatur di dalam Pasal 1338
Ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas itikad baik subyektif adalah kejujuran pada diri seseorang atau niat baik
yang bersih dari para pihak, sedangkan asas itikad baik obyektif merupakan
pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan di atas rel yang benar, harus
mengindahkan norma – norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi melaksanakan
perjanjian dengan itikad baik berarti melaksanakan perjanjian menurut dasar
kerasionalan dan kepatutan (volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid).
Penilainnya terletak pada akal sehat dan keadilan dibuat ukuran yang objektif
untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma – norma yang
objektif.[3]
Kebebasan
berkontrak menurut hukum perjanjian di Indonesia meliputi ruang lingkup:
a. Kebebasan
untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Kebebasan
untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c. Kebebasan
untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
d. Kebebasan
untuk menentukan obyek perjanjian;
e. Kebebasan
untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f. Kebebasan
untuk menerima atau menyimpangi ketentuan perundang- undangan yang bersifat
opsional.
Asas konsensualitas, yang berasal dari perkataan consensus yang artinya
sepakat. Maksudnya adalah bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan timbul
sejak detik tercapainya kesepakatan.
berkaitan dengan akibat perjanjian, Asas
ini sering disebut asas kepastian hukum. Dengan asas ini tersimpul adanya
larangan bagi hakim untuk mencampuri isi perjanjian. Disinilah makna asas
kepastian hukum itu. Bertujuan agar hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagai mana layaknya suatu
undangundang.
5. Asas Personalitas atau asas
kepribadian
yang berarti bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat membuat perjanjian
kecuali untuk dirinya sendiri, karena suatu perjanjian hanya mengikat bagi
pihakpihak yang membuatnya[4]
6. Asas Force Majeur atau asas
overmacht atau asas keadaan memaksa
bahwa dengan asas ini debitur dibebaskan dari kewajiban untuk membayar
ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena sesuatu sebab yang
memaksa. Keadaan memaksa ini merupakan suatu keadaan debitur memang tidak dapat
berbuat apa-apa terhadap suatu keadaan atau peristiwa yang timbul di luar
dugaannya
7. Asas Exceptio Non Adimpleti
Contractus
asas ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian dengan alasan bahwa
krediturpun telah melakukan kelalaian dalam perjanjian tersebut. Asas ini
berlaku didalam suatu perjanjian timbal - balik[5]
Sewa-menyewa dipandang sah, jika
memenuhi syarat-syaratnya sebagai berikut :
a.
Yang menyewakan dan yang menyewa telah
baligh, berakal sehat dan sama- sama ridho.
b.
Barang atau sesuatu yang disewakan itu
mempunyai faedah yang berharga,faedahnya dapat dinikmati oleh yang menyewa dan
kadarnya jelas, misalnya: rumah disewa satu tahun, taksi disewa dari Yogya
sampai Solo satu hari, atau seorang pekerja disewa mengerjakan membuat pintu
berukuran sekian meter.
c.
Harga sewanya dan keadaannya jelas,
misalnya : rumah Rp. 1.000.000/bulan,dibayar tunai atau angsuran.
d.
Barang yang diambil manfaatnya, harus
masih tetap wujudnya sampai waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian.
e.
Waktunya harus dapat diketahui dengan
jelas, misalnya sehari, seminggu atau sebulan dan seterusnya.
f.
Dalam sewa-menyewa ini adakalanya berupa
jasa, seperti dokter, tukang pijat, supir dan lain-lain. Dan adakalanya berupa
“kegunaan” suatu barang[6]
D.
Subjek dan Objek
Sewa-menyewa
Istilah subjek hukum berasal dari
terjemahan rechtsubject (Belanda) atau law of subject(Inggris). Pada umumnya
rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.Menurut C.S.T
Kansil, yang dimaksud dengan subjek hukum ialah siapa yang dapatmempunyai hak
dan cakap untuk bertindak di dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yangcakap
menurut hukum untuk mempunyai hak. Pada definisi yang diberi oleh Kansil,
terdapatkata cakap, dimana menurut beliau subjek hukum adalah mereka yang cakap
menurut hukumuntuk mempunyai hak.
Subjek hukum mempunyai peranan yang
penting di dalam bidang hukum, khususnya hokum keperdataan karena subjek hukum
itulah nantinya yang dapat mempunyai kewenangan hukum.Dalam perjanjian
sewa-menyewa ada subjek dan objek, adapun subjek dari perjanjian sewa-menyewa
yaitu adanya pihak penyewa dan adanya pihak yang menyewakan. Sedangkan yang
menjadi objek dari perjanjian sewa-menyewa adalah barang dan harga, yang mana
barang yang menjadi objek tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
Objek barang yang dapat disewakan
menurut Hofmann dan De Burger, yang dapat di sewa adalah barang bertubuh saja,
namun ada pendapat lain yaitu dari Asser dan Van Brekel serta Vollmar
berpendapat bahwa tidak hanya barang-barang yang bertubuh saja yang dapat
menjadi objek sewa melainkan hak-hak juga dapat disewa, pendapat ini diperkuat
dengan adanya putusan Hoge Raad tanggal 8 Desember 1922 yang menganggap
kemungkinan ada persewaan suatu hak untuk memburu hewan (jachtrecht).
Dari uraian diatas, dapat diketahui
bahwa yang menjadi subjek dalam perjanjian sewa menyewa adalah pihak penyewa
dan pihak yang menyewakan.Sementara yang menjadi objek sewa-menyewa adalah
semua jenis barang baik yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak.[7]
Melihat betapa pentingnya keberadaan
tanah, Islam sebagai agama yang luwes membolehkan persewaan tanah dengan
prinsip kemaslahatan dan tidak merugikan para pihak, artinya antara penyewa
yang menyewakan sama-sama diuntungkan dengan adanya persewaan tersebut.
Dalam suatu perjanjian persewaan tanah,
haruslah disebutkan secara jelas tujuan persewaan tanah tersebut, apakah untuk
pertanian, mendirikan tempat tinggal atau mendirikan bangunan lainnya yang
dikehendaki penyewa.
2.
Sewa-menyewa
toko dan rumah
Toko merupakan tempat seseorang
menjalankan usahanya dengan cara berdagang. Tidak semua orang bisa mempunyai
toko pribadi, tetapi bila seseorang berkeinginan untuk meningkatkan taraf
hidupnya dengan cara berdagang. Islam memberikan kemudahan dengan membolehkan
persewaan toko atau rumah untuk dijadikan tempat usaha atau sebagai tempat
tinggal.
Menurut Abd al-Rahman al-Jaziry dalam
bukunya al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, ulama fiqh yang sangat populer
pembahasannya tentang persewaan toko dan rumah adalah ulama Hanafiyah.
Mereka memasukkan persewaan toko dan rumah ke
dalam pembahasan barang-barang yang sah disewakan, di samping persewaan tanah,
binatang, tenaga manusia dan pakaian. Menurut beliau tokotoko dan rumah-rumah
boleh disewakan tanpa disertai dengan penjelasan tentang tujuan penyewaan.[8]
F.
Hak dan
Kewajiban Dari Perjanjian Sewa Menyewa
Pasal 1560, 1564, dan 1583 KUHPerdata
menentukan bahwa pihak penyewa memiliki kewajiban-kewajiban, yaitu:
a.
Memakai barang yang disewa sebagai bapak
rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut
perjanjian sewanya, atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu, menurut tujuan
yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan
b.
Membayar harga sewa pada waktu-waktu
yang telah ditentukan
c.
Menanggung segala kerusakan yang terjadi
selama sewa-menyewa, kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan
tersebut terjadi bukan karena kesalahan si penyewa
d.
Mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan
sehari-hari sesuai dengan isi perjanjian sewamenyewa dan adat kebiasaan
setempat.
Pihak penyewa juga memiliki hak, yaitu:
a.
Menerima barang yang disewa
b.
Memperoleh kenikmatan yang tenteram atas
barang yang disewanya selama waktu sewa
c.
Menuntut pembetulan-pembetulan atas
barang yang disewa, apabila pembetulanpembetulan tersebut merupakan kewajiban
pihak yang menyewakan.
Menurut Pasal 1553 KUHPerdata, dalam sewa menyewa itu resiko
mengenai barang yang dipersewakan dipikul oleh pemilik barang, yaitu pihak yang
menyewakan. Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh
suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa
barang yang menjadi obyek perjanjian. Dalam ketentuan pasal tersebut
menjelaskan mengenai kemungkinan musnahnya barang yang disewa, sebaga iakibat
suatu kejadian yang tiba-tiba tidak dapat dielakkan. Jadi apabila barang yang
disewa tersebut musnah dalam jangjka waktu masa[9]
perjanjian
sewa masih berlangsung, dapat menimbulkan beberapa persoalan sebagai berikut:
a.
Musnah secara total (seluruhnya)
Jika barang yang disewakan oleh penyewa
itu musnah secara keseluruhan di luar kesalahannya pada masa sewa, perjanjian
sewa-menyewa itu gugur demi hukum dan yang menanggung risiko atas musnahnya
barang tersebut adalah pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUH Perdata).Artinya,
pihak yang menyewakan yang akan memperbaikinya dan menanggung segala
kerugiannya.
b.
Musnah sebagian barang yang menjadi
obyek perjanjian sewa menyewa
Musnah sebagian barang yang menjadi obyek perjanjian sewa
menyewa Disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan
dinikmati kegunaannya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah.
Berdasarkan Pasal 1554 KUHPerdata jika obyek perjanjian sewa menyewa musnah
sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu: Meneruskan perjanjian sewa
menyewa dengan meminta pengurangan harga sewa, dan Meminta pembatalan
perjanjian sewa menyewa.
H.
Berakhirnya
Perjanjian Sewa Menyewa
Berakhirnya suatu perjanjian dapat
terjadi akibat dari suatu tindakan atau peristiwa tertentu, baik yang
dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh para pihak. Namun pada dasaranya sewa
menyewa akan berakhir jika:
a.
Ditentukan secara tertulis batas
berakhirnya sewa menyewa (pasal 1570 KUHPerdata) Dalam perjanjian sewa menyewa
berakhirnya perjanjian telah ditentukan secara tertulis bahwa sewa menyewa
dengan sendirinya berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan para
pihak. Jika lama waktu sewa menyewa telah ditentukan dalam surat perjanjian,maka
perjanjian sewa berakhirtepat pada saat yang telah ditetapkan.Pengakhiran sewa
dalam hal ini tidak memerlukan suray lain.[10]
b.
Berakhir dalam waktu tertentu yang
diperjanjikan secara lisan Dalam Pasal
1571 KUHPerdata disebutkan bahwa ”Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka
sewa itu tidak berakhir pada waktu yang telah ditentukan, jika pihak lain ingin
menghentikan sewanya, maka harus mengindahkan tenggang waktu yang ditentukan
menurut kebiasaan setempat”. Ketentuan Pasal 1571 KUHPerdata tersebut,
berakhirnya perjanjian sewa menyewa tidak disudahi dengan lewat waktu,
melainkan sesudah diadakan pemberitahuan dari salah satu pihak yang hendak
menghentikan sewa menyewa, dengan memperhatikan jangka waktu yang layak menurut
kebiasaan setempat.
c.
Pengehentian sewa menyewa berakhir tanpa
ditentukan batas waktu berakhirnya Dalam
bentuk perjanjian sewa menyewa seperti ini, secara umum dapat kita tarik
kesimpulan bahwa penghentian dan berakhirnya berjalan sampai pada saat yang
dianggap pantas, oleh kedua belah pihak. Kesimpulan ini dikemukakan karena UU
tidak mengatur cara pengakhiran perjanjian sewa menyewa tertulis dan lisan yang
mempunyai batas waktu tertentu.[11]
BAB III
PENUTUP
Secara umum perjanjian adalah:
Kesepakatan para pihak tentang sesuatu hal yang melahirkan perikatan / hubungan
hukum, menimbulkan hak dan kewajiban, apabila tidak dijalankan sebagai mana
yang diperjanjikan akan ada sanksi. Perikatan adalah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan itu.
Terhadap hubungan yang terjadi dalam
lalu lintas masyarakat, hukum meletakkan “hak” pada satu pihak dan meletakkan
“kewajiban” pada pihak lainnya. Dengan adanya perjanjian diharapkan pihak-pihak
yang terlibat didalamnya dapat menjalankan sesuai dengan
kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui, melakukannya dengan itikad baik,
dan sebagai dasar untuk menyelesaikan apabila timbul masalah dikemudian hari.
Demikianlah
makalah ini kami buat, kami menyadari banyaknya kekurangan di dalam
penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta mAaf dan kami mengharapkan
kepada para pembaca, teman-teman dan bapak Dosen untuk memberikan krtitik dan
saran agar mekalah kami ini menjadi lebih baik di masa yang akan dating. Atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, and Penerbit
Alumni, ‘Segi-Segi Hukum Perjanjian Sewa Menyewa’, 2 (2018)
Iii, B A B, Pengertian Sewa, and Menyewa Menurut, ‘ﺮﺟﺄﯾ ﺎﮭﻋرﺎﻀﻤﻓ
ﻞﺘﻗو بﺮﺿ نزو ﻰﻠﻋ ﺮﺟأ ﻞﻌﻔﻟ ﻲﻋﺎﻤﺳ رﺪﺼﻣ ﻲھ ﺔﻐﻠﻟا ﻲﻓ ةرﺎﺟﻹا ﻞﻤﻌﻟا ﻰﻠﻋ ءاﺰﺠﻟا ﺎﮭﻨﻌﻣو
ﺎﮭﻤﺿو ﻢﯿﺠﻟا ﺮﺴﻜﺑ ﺮﺟأو’, 1983, 38–62
Sinaga, Niru Anita, ‘Implementasi Hak Dan Kewajiban Para
Pihak Dalam Perjanjian’, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 10.1 (2019),
1–20 <file:///C:/Users/User/Downloads/400-1333-2-PB.pdf>
Soegianto, Agus, ‘Ilmu Lingkungan, Sarana Menuju Masyarakat
Berkelanjutan . Surabaya: Airlangga University Press, 2010, Hlm. 1 25 25’, Ghh,
32, 2009, 25–65 <http://repository.unpas.ac.id/33706/1/J. BAB II.pdf>
[1] M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, and
Penerbit Alumni, ‘Segi-Segi Hukum Perjanjian Sewa Menyewa’, 2 (2018).
[2] Harahap, Perjanjian, and Alumni.
[3] Niru Anita Sinaga, ‘Implementasi Hak Dan Kewajiban
Para Pihak Dalam Perjanjian’, Jurnal Ilmiah
Hukum Dirgantara, 10.1 (2019), 1–20
<file:///C:/Users/User/Downloads/400-1333-2-PB.pdf>.
[4] Sinaga.
[5] Sinaga.
[6] Sumber: ¹⁴M. Thalib, ibid. h. 195
[7] Harahap, Perjanjian, and Alumni.
[8] B A B Iii, Pengertian Sewa, and Menyewa Menurut, ‘ﺮﺟﺄﯾ
ﺎﮭﻋرﺎﻀﻤﻓ ﻞﺘﻗو بﺮﺿ نزو ﻰﻠﻋ ﺮﺟأ ﻞﻌﻔﻟ ﻲﻋﺎﻤﺳ رﺪﺼﻣ ﻲھ ﺔﻐﻠﻟا ﻲﻓ ةرﺎﺟﻹا ﻞﻤﻌﻟا ﻰﻠﻋ ءاﺰﺠﻟا
ﺎﮭﻨﻌﻣو ﺎﮭﻤﺿو ﻢﯿﺠﻟا ﺮﺴﻜﺑ ﺮﺟأو’, 1983, 38–62.
[9] Agus Soegianto, ‘Ilmu Lingkungan, Sarana Menuju
Masyarakat Berkelanjutan . Surabaya: Airlangga University Press, 2010, Hlm. 1
25 25’, Ghh, 32, 2009, 25–65
<http://repository.unpas.ac.id/33706/1/J. BAB II.pdf>.
[10] Soegianto.
[11] Soegianto.
0 Response to "Makalah Hukum Bisnis || Perjanjian Sewa Menyewa"
Posting Komentar