Makalah Akhlak dan Tasawuf || Maqomat dan Hal
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat, Taufik serta Hidayahnya sehingga kami masih di beri
kesempatan untuk menyelesaikan Makalah yang berjudul “Maqomat dan Hal” dengan
lancar tanpa ada kesulitan sedikitpun.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Dewi Umu Kholifah selaku Dosen
Pembibing yang mengampu mata kuliah Akhlak dan Tasawuf, yang telah memberikan
arahan kepada kami sehingga kami dapat menerapkan semua yang telah di ajarkan
beliau guna untuk menyempurnakan Makalah yang kami selesaikan ini.
Ucapan terimakasih juga tak lupa saya sampaikan kepada
teman-tema yang telah berjuang dengan keras untuk menyelsaikan makalah ini.
Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca
pada umunya.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini
masih banyak sekali kekuranganya sehingga kami masih memerlukan kritik dan
saran yang membangun guna untuk memperbaiki makalah selanjutnya.
Trimurjo, 28 Maret 2022
Penyusun
DAFTAR ISI
B. Pengertian, Tujuan Dan
Kedudukan Mahabbah
C. Alat Untuk Mencapai Mahabbah
D. Tokoh Yang Mengembangkan
Mahabbah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Maqamat dan ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia
tasawuf. Keduanya merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam
berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatuyang
ada di jagad raya ini. Bahkan menurut Khaja Khan, dua term tersebut berfungsi
untuk mematahkan ketergantungan kepada sesuatu selain Dzat Allahdan untuk
mencapai kebersatuan dengan sang Khalik.
Dengan itu maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai
tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan
materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Dalam konterks ini, Abu Yazid al-Bustami
(874-947 M) dalam suatu kesempatan pernah bertanya kepada Tuhan tentang jalan
menujukehadirat-Nya. Tuhan menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Tinggalkandiri sendiri berarti seseorang mesti terbebas dari keinginan dan hawa
nafsu pribadinya dan datang memiliki pengertian bahwa seorang sufi
mengikutikeinginan dan iradah Tuhan. Maka dari itu, para sufi telah menciptakan
jalanspiritual untuk merangkai hubungan dengan sang Tuhan yang disebut maqamat.
Pada sisi lain ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh
Tuhan ditengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam
tertentu. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik
dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya. Selain itu, mereka juga pastiakan
merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat (qurb),
rasa cinta (muhabbah), harap-harap cemas (raja’), tentram (tuma’ninah)
dan rasayakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut dinamakan ahwal.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian Maqomat dan Hal?
2. Apa Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah?
3. Apa Alat untuk mencapai mahabah?
4. Siapa Tokoh yang mengembangkan mahabah?
C.
Tujuan
Makalah
1. Memenuhi Tugas Akhlak Tasawuf
2. Pengertian Maqomat dan Hal
3. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah
4. Alat untuk mencapai mahabah
5. Tokoh yang mengembangkan mahabah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Maqomat Dan Hal
Pengertian Maqomat
Secara harfiyah maqomat berasal dari Bahasa Arab
yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[1]
Kata maqamat sendiri merupakan bentuk jamak dari kata maqam, yang secara
literal berarti trmpat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi atau tingkatan.[2]
Dalam terminology sufi, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual.[3]
Menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah
kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui
peradatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spiritual serta (berhubungan) yang tidak
putus-putusnya dengan Allah Swt. Atau secara teknis maqamat juga berarti
aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual
dan kedudukan (Maqam) di hadapan Allah Swt. dengan amalah-amalan
tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan
tertentu lainnya, yang diyakini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai
spiritualnya di hadapan Allah Swt.[4]
jadi maqamat adalah tahapan-tahapan pencapaian ruhaniyah sang “penjalan” dalam
mendekat kepada Allah Swt, dan merupakan hasil upaya kerja keras pejalan
(sufi).[5]
Maqamat merupakan salah satu konsep yang digagas oleh Sufi
yang berkembang paling awal dalam sejarah tasawuf Islam. Dalam al-Qur’an kata
ini maqam yang mempunyai arti tempat disebutkan beberapa kali, baik dengan
kandungan makna abstrak maupun konkrit. Di antara penyebutnya terdapat pada
Q.S. al- Baqarah ayat 125, al-Isra ayat 79, Maryam ayat 73, as-Saffat ayat 164,
ad-Dukhan ayat 51 dan ar-Rahman ayat 46.[6]
Pengertian Hal
Ahwal merupakan jamak dari kata hal yang artinya keadaan
atau situasi kejiwaan. Pengertian secara terminology, ahwal ialah kondisi
spiritual yang menguasai kalbu. Ahwal masuk dalm diri seseorang sebagai karunia
yang diberikan oleh Allah, Ahwal muncul dan hilang dalam diri seseorang tanpa
melalui usaha dah perjalanan tertentu. Hal ini disebabkan, ahwal muncul dan
hilang secara spontanitas, tiba-tiba dan tidak disengaja.[7]
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa ahwal adalah suatu kondisi
hati, yang menurut kebanyakan orang memiliki arti yang intuitif dalam hati,
tanpa disengaja, dan usaha lainnya. Ahwal adalah suatu anugerah, namun maqam
ialah suatu upaya. Suatu ahwal berasal dari wujud itu sendiri, sedangkan maqam
didapat malalui perjuangan dan upaya. Setiap orang yang memiliki maqam, akan
menempati maqamnya, selanjutnya orang yang memperoleh ahwal, bebas dari
kondisinya.[8]
B.
Pengertian,
Tujuan Dan Kedudukan Mahabbah
Pengertian
Mahabbah
Kata mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang
mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah
adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat
pula berarti al-wadud yakni penyayang.
Selain itu, al-mahabbah
dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatau yang sedang berjalan, dengan
tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun sepiritual,
seperti cintanya seorang yang kasmaran pada sesuatu yang di cintainya, orang
tua pada anaknya, seseorang pada sahabtanya, seorang pekerja terhadap
pekerjaanya. mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat tingkat rohaniah
tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.[9]
Mahabbah
adalah mencintai Allah Swt. dengan sebenar-benar cinta hingga dalam hati
seseorang tidak tersisa sedikitpun yang terbuang selain untuk mengingatnya.
Demikianlah mahabbah kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya cinta.[10]
Dilihat dari
tingkatannya , mahabbah ada tiga macam, yaitu:
1)
Mahabbah orang
biasa, mengmbil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, dan suka menyebut
nama-nama Allah.
2)
Mahabbah orang
shidiq, adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesarannya,dan
lain-lain.
3)
Mahabbah orang
yang arif, adalah cinta orang yang betul pada Tuhan.
Ketiga
tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu
mulai dari mengenal sifat-sifat tuhan dengan menyebutnya melalui zikir, di
lanjutkan dengan leburnya diri pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu
kekal dalam sifat Tuhan.
Dari
uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan
jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai
(Tuhan) masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh
kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat
dirasakan oleh jiwa.[11]
Tujuan
Mahabbah
Tujuan
Mahabbah yaitu untuk memperoleh kebutuhan, baik yang bersifat material maupun
spiritual untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran
yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan, untuk memperoleh kesenangan bathiniah
yang sulit dilukiskan dengan kata kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.[12]
Kedudukan
Mahabbah
Ada
yang berpendapat bahwa istilah Mahabbah selalu berdampingan dengan ma’rifat,
baik dalam kedudukanannya maupun pengertiannya. Kalau ma’rifat adalah merupakan
tingkat pengetahuan kepada Tuhan mata hati (Al-Qolb), maka Mahabbah
adalah perasaan kedekatan kepada tuhan melalui cinta (roh).[13] Sementara
Al Ghazali dalam kitabnya ihya Ulumiddin memandang makrifat datang sebelum
mahabbah. Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa makrifat dan mahabbah merupakan
kembar dua yang selalu disebutkan berbarengan. Keduanya menggambarkan kedekatan
hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan makrifat
menggambarkan dua aspek rapat yang ada seorang sufi dengan Tuhan.
C.
Alat Untuk
Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawuf menjawabnya dengan menggunakan
pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah
yang ada dalam diri manusia.
Menurut Mina Wati, sebagaimana Harun Nasution yang
mengutip dari al-Sarraj, terdapat tiga alat dalam mencapai mahabbah.
Alat ini digunakan sebagai media untuk berhubungan dengan Tuhan, ketiga alat
tersebut yaitu:[14]
1. Al-Qalb, yang merupakan hati, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2. Ruh, sebagai alat untuk mencintai Allah.
3. Sirr, sebagai alat untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari ruh dan ruh
lebih halus dari qalb.
Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh
bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari
Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan
kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun.
D.
Tokoh Yang
Mengembangkan Mahabbah
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa
tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabiah al Adawiah. Hal ini
didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut faham
tersebut.
Rabiah al Adawiah adalah seorang zahid perempuan yang amad
besar dari basrah Irak ia hidup antara tahun 713-801 H. Sumber lain menyebutkan
bahwa ia meninggal dunia dalam tahun 185 H/796 M. menurut riwayatnya ia adalah
seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak
beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan
dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam
berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat
materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin
berada dekat dengan Tuhan.[15]
Meskipun dunia Islam mempunyai banyak sufi wanita, namun
hanya Rabi’ah al- Adawiyah, Fariduddin Attar (513 H/1119 M-627 H/1230 M)
seorang penyair mistik Persia, beliau melukiskan betapa kemiskinan menimpa kehidupan
keluarga tersebut ketika Rabi’ah al-Adawiyah dilahirkan. Pada saat itu di
rumahnya tidak ada seuatu yang akan dimakan dan tidak ada pula sesuatu yang
bisa dijual. Di malam hari rumah keluarga ini gelap karena tak ada lampu.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara harfiyah maqomat berasal dari Bahasa Arab yang berarti
tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Dalam terminology sufi, maqam
diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual. Menurut istilah ilmu tasawuf,
maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh
dengan melalui peradatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spiritual serta
(berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah Swt. Sedangkan secara terminology, ahwal ialah kondisi spiritual
yang menguasai kalbu. Ahwal masuk dalm diri seseorang sebagai karunia yang
diberikan oleh Allah, Ahwal muncul dan hilang dalam diri seseorang tanpa
melalui usaha dah perjalanan tertentu. Dilihat dari tingkatannya, mahabbah ada tiga macam, yaitu:
Mahabbah orang biasa, Mahabbah orang shidiq, dan Mahabbah orang yang arif.
Tujuan Mahabbah yaitu untuk memperoleh kebutuhan, baik yang bersifat material
maupun spiritual untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya
gambaran yang mutlak,
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurahman, Muhammad, Akhlaq (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2016)
Agama, Departeman, Ensiklopedi Islam, Juz III
(Jakarta: Anda Utama)
Al-Qusyairi, ‘Abd al-Karim al-Hawazin, Ar-Risalah
Al-Qusyairiyah (Beirut: Darul-Khair, 2006)
Arbrry, A.J., Sufism: An Account of the Mistic of Islam.
Terj. Bambang Hrawan. Pasang-Surut Aliran Tasawuf (Bandung: Mizan, 1985)
Mahmud, Abdul Halim, At-Tasawuf Fi Al-Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2002)
———, Tasawuf Di Dunia Islam (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2002)
Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi:
Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002)
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011)
———, Akhlak Tasawuf, Cet. XII (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013)
Ni”am., Syamsun, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar
Tasawuf (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014)
Suryadilaga, M. Alfatih, Ilmu Tasawuf (Yogyakarta:
Kalimedia, 2016)
Taufiq, Imam, Tasawuf Krisis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001)
Wati, Mina, Konsep Mahabbah Dan Ma‟rifat Dalam Tasawuf
Dzunnun Al Mishri, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kali Jaga, 2017)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1990)
[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), p. 362.
[2] Imam Taufiq, Tasawuf Krisis
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), p. 130.
[3] Hasyim Muhammad, Dialog Antara
Tasawuf Dan Psikologi: Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham
Maslow (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p. 25.
[4] Syamsun, Ni”am., Tasawuf Studies:
Pengantar Belajar Tasawuf (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014), p. 137.
[5] A.J. Arbrry, Sufism: An Account of
the Mistic of Islam. Terj. Bambang Hrawan. Pasang-Surut Aliran Tasawuf
(Bandung: Mizan, 1985), p. 95.
[6] Taufiq, p. 130.
[7] M. Alfatih, Suryadilaga, Ilmu
Tasawuf (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), p. 106.
[8] ‘Abd al-Karim al-Hawazin Al-Qusyairi, Ar-Risalah
Al-Qusyairiyah (Beirut: Darul-Khair, 2006), p. 57.
[9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), p. 207.
[10] Muhammad Abdurahman, Akhlaq
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), p. 268.
[11] Nata, Akhlak Tasawuf, p. 210.
[12] Abdul Halim Mahmud, At-Tasawuf Fi
Al-Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2002), p. 95.
[13] Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Di Dunia
Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), p. 221.
[14] Mina Wati, Konsep Mahabbah Dan
Ma‟rifat Dalam Tasawuf Dzunnun Al Mishri, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan
Kali Jaga, 2017), p. 6.
[15] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,
Cet. XII (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013).
[16] Departeman Agama, Ensiklopedi Islam,
Juz III (Jakarta: Anda Utama), p. 973.
0 Response to "Makalah Akhlak dan Tasawuf || Maqomat dan Hal"
Posting Komentar