Makalah Islam dan Lingkungan Hidup || Konservasi Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal dalam Prespektif Ekonomi Islam

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Konservasi Lingkungan berbasis Kearifan Lokal dalam Prespektif Ekonomi Islam” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah Islam dan Lingkungan Hidup. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini.

 

Bandar Lampung, 8 Maret 2022

 

 

Tim Penyusun

 

 

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. i

BAB I. ii

PENDAHULUAN.. ii

A.     Latar Belakang. iii

B.     Rumusan Masalah. iv

C.     Tujuan Penulisan. iv

BAB II. 1

PEMBAHASAN.. 1

A.     Definisi Budaya dan Kearifan Lokal 1

B.     Sumber Hukum Ekonomi Islam.. 3

C.     ‘Urf dan Kearifan Lokal 6

D.     Kearifan Lokal dalam Prespektif Teori 10

E.     Kedudukan Hukum Islam di Indoonesia. 12

F.      Realitas Hukum Islam di Indonesia. 13

BAB III. vi

PENUTUP. vi

A.     Kesimpulan. vi

DAFTAR PUSTAKA.. vi

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang  berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang  berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.

Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,  pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Pemahaman mengenai kearifan lokal di atas semakin menegaskan bahwa kearifan lokal menjadi modal  penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia.

Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan  bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan  peradaban manusia yang lebih jauh.

Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang tertera dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi ingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan  penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan  pengendalian lingkungan hidup.

Sedangkan sumberdaya alam disebutkan dalam ayat 10 mencakup sumberdaya alam hayati maupun non hayati dan sumberdaya  buatan. Masyarakat tradisional di Indonesia maupun dibagian dunia lainya, sering dijadikan sebagai tersangka utama atas terjadinya perusakan lahan hutan akibat sistem perladangan yang mereka lakukan.

Namun jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya sistem perladangan masyarakat tradisional ini tidak berpengaruh besar terhadap kerusakan hutan. Karena dalam kehidupan masyarakat tradisional ini terdapat juga aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan (hutan) tersebut Lobja (2003).

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian dari budaya dan kearifan lokal?

2.      Apa sajakah sumber hokum ekonomi islam?

3.      Apakah ‘urf dan kearifan lokal?

4.      Apa itu kearifan lokal dalam prespektif teori?

5.      Bagaimanakah kedudukan hokum islam di Indonesia?

6.      Bagaimanakah realitas hokum islam di Indonesia?

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian dari budaya dan kearifan lokal

2.      Untuk mengetahui sumber hokum ekonomi islam

3.      Untuk mengetahui apa itu ‘urf dan kearifan lokal

4.      Untuk mengetahui kearifan lokal dalam prespektif teori

5.      Untuk mengetahui kedudukan hokum islam di Indonesia

6.      Untuk mengetahui realitas hokum islam di Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Definisi Budaya dan Kearifan Lokal

Budaya diambil dari bahasa Sansekerta buddhayah, yang berarti segala sesuatu yang ada hubungannya dengan akal budi manusia. Pengertian budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) dikatakan sebagai pikiran atau akal budi, adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Budaya secara umum merupakan cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang telah diwariskan secara turun menurun kepada generasi berikutnya. Ishak (2008) menyatakan bahwa budaya mengacu pada pola sikap dan mental dan fisik menurut sistem nilai kepercayaan yang dianut bersama oleh suatu kelompok manusia. Dalam hal ini budaya dipandang sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai.

Secara etimologis, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Pada KBBI, lokal berarti setempat, sedangkan kearifan sama dengan kebijaksanaan. Sehingga jika dilihat secara etimologis, kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Istilah kearifan lokal pertama kali dikenalkan oleh HG. Quaritch Wales (dalam Budiwiyanto 2006) yang menyebut kearifan lokal sebagai “local genius” yang berarti sejumlah ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat sebagai suatu akibat pengalamannya di masa lalu. Yunus (2012) mengartikan kearifan lokal sebagai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dan ditempattempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa.

Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada di masyarakat menurut Aulia dan Dharmawan (2010) dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturanaturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi kearifan lokal tersebut antara lain untuk:

1)      konservasi dan pelestarian sumber daya alam

2)      mengembangkan sumberdaya manusia

3)      pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; serta

4)      petunjuk tentang petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan.

Selain itu, ditambahkan oleh Sartini (2004) yang mengemukakan fungsi dan makna kearifan lokal diantaranya:

1)      berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam;

2)      berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate;

3)       berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara Saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji;

4)      berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan;

5)       bermakna sosial, misalnya upacara integrasi komunal/kerabat;

6)       bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur; serta

bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron clien

 

B.     Sumber Hukum Ekonomi Islam

Tidak ada perbedaan antara sumber hukum Islam secara umum dengan sumber hukum ekonomi Islam. Karena kajian ekonomi dalam Islam adalah bagian dari pembahasan tentang hukum Islam. Maka sumber hukumnyapun sama yaitu Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Fatwa Sahabat Nabi, Qiyas, Istihsan, ’Urf, Mashalih Mursalah, Sadd adz-dzara’i, Istishhab dan Syar’u man qablana.

Dengan demikian setiap aktivitas ekonomi harus berlandaskan kepada sumbersumber hukum ekonomi Islam dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam berijtihad atas suatu fenomena ekonomi. Dalam ekonomi Islam, terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi apabila sebuah interaksi antar sesama manusia akan dilakukan.

Prinsip-prinsip ini harus dijadikan sebagai aturan dalam melakukan aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi Islam tersebut yaitu (1) pada asalnya aktivitas ekonomi itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya, (2) aktivitas ekonomi tersebut hendaknya dilakukan dengan suka sama suka (’an taradhin), (3) kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya mendatangkan maslahat dan menolak madharat (jalb  almashalih wa dar’u al-mafasid), dan (4) dalam aktivitas ekonomi tersebut terlepas dari unsur gharar, riba, kedzaliman, dan unsur lain yang diharamkan berdasarkan syara’.

Dalam prinsip pertama mengandung arti, hukum dari semua aktivitas ekonomi pada awalnya diperbolehkan. Kebolehan itu berlangsung selama tidak atau belum ditemukan nash – Al-Qur’an dan Al-Hadis – yang menyatakan keharamannya.[1] Ketika ditemukan sebuah nash yang menyatakan haram, maka pada saat itu pula akad mu’amalah tersebut menjadi terlarang berdasarkan syara’. Prinsip ekonomi Islam tersebut sebenarnya mengacu pada ketentuan umum yang termuat di dalam Al-Qur’an yang secara substansi berbicara tentang masalah ini, terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya: “ Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”

Prinsip ekonomi Islam yang kedua adalah mu’amalah, hendaknya dilakukan dengan cara suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun. Bila ada dalam sebuah aktivitas ekonomi ditemukan unsur paksaan (ikrah), maka aktivitas ekonomi tersebut menjadi batal berdasarkan syara’. [2]5 Prinsip mu’amalah ini didasarkan pada nash yang tertuang dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29 yang artinya, “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”

Sedangkan prinsip yang ketiga adalah mendatangkan maslahat dan menolak madharat bagi kehidupan manusia. [3]Prinsip ini mengandung arti, aktivitas ekonomi yang dilakukan tersebut hendaknya memperhatikan aspek kemaslahatan dan kemadharatan. Oleh karena itu, aktivitas ekonomi yang dilakukan, hendaknya merealisasikan tujuan-tujuan syari’at Islam (maqashid al-syari’ah), yakni mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Bila ternyata aktivitas ekonomi tersebut dapat mendatangkan maslahat bagi kehidupan manusia, maka pada saat itu hukumnya boleh dilanjutkan, bahkan harus dilaksanakan. Namun bila mendatangkan madharat, maka pada saat itu pula harus dihentikan.

Prinsip ketiga tersebut secara umum didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya “ Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” Rahmat dalam ayat ini bisa diartikan dengan menarik manfaat dan menolak madharat (jalb al-manfa’ah wa daf al-madharah). Makna ini secara substansial seiring dengan yang ditunjukkan Al-Qur’an surat AlBaqarah ayat 185 yang menyatakan “Allah tidak menghendaki adanya kesempitan dan kesulitan (musyaqah)” dan surat An-Nisa’ ayat 28 yang artinya “Allah menghendaki supaya meringankan bagimu, karena manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.”

Sedangkan prinsip terakhir, aktivitas ekonomi harus terhindar dari unsur gharar, riba, dzhulm, dan unsur lain yang diharamkan berdasarkan syara’. Syariat Islam membolehkan setiap aktivitas ekonomi di antara sesama manusia yang dilakukan atas dasar menegakkan kebenaran, keadilan, menegakkan kemaslahatan manusia pada ketentuan yang dibolehkan Allah SWT. Sehubungan dengan itu, syariat Islam mengharamkan setiap aktivitas ekonomi yang bercampur dengan kedzaliman, penipuan, muslihat, ketidakjelasan, dan hal-hal lain yang diharamkan dan dilarang Allah SWT.

Gharar[4] mengacu pada sejumlah transaksi yang bercirikan ketidakpartian dan ketidakjelasan pada awal kontrak, yang diduga dapat meniadakan kerelaan dan juga merupakan bagian dari memakan harta manusia dengan cara yang batil. Jualbeli gharar adalah jual-beli yang mengandung unsur ketidaktahuan (jahalah) yang dapat membawa pada perselisihan, serta menyebabkan kemadharatan dan meniadakan kemaslahatan manusia.

Adapun riba adalah suatu tambahan atas pokok harta atau penggandaan yang berlebihan.[5] Terdapat beberapa sebab atas pengharaman riba (1) karena Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam Al-Hadis jelas-jelas menyatakan riba diharamkan, (2) karena esensi riba’ adalah perilaku orang untuk mengambil harta milik orang lain dengan tidak seimbang, (3) bisa menyebabkan orang malas untuk berusaha, karena selalu mengharapkan keuntungan dengan tanpa usaha yang riil, (4) karena dengan adanya riba’ bisa menyebabkan hilangnya berbuat baik terhadap sesama manusia.[6]

Sedangkan aktivitas ekonomi yang mengandung unsur zhulm (kedzaliman) adalah aktivitas ekonomi yang bila dilakukan dapat merugikan pihak lain, seperti menumpuk-numpuk harta (ihtikar) yang dapat mengganggu mekanisme pasar. Dari uraian tersebut dapat dipahami, aktivitas ekonomi baru dianggap shahih apabila memenuhi prinsip-prinsip ekonomi Islam tersebut.

 

C.    ‘Urf dan Kearifan Lokal

Di antara sumber-sumber hukum ekonomi Islam seperti Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Fatwa Sahabat Nabi, Qiyas, Istihsan, ’Urf, Mashalih Mursalah, Sadd adzdzara’i, Istishhab dan Syar’u man qablana, maka ’Urf adalah sumber hukum ekonomi Islam yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mencari titik temu antara aktivitas ekonomi yang merupakan kearifan lokal dengan ekonomi Islam. Dengan demikian dapat dijustifikasi, apakah kearifan lokal bidang ekonomi tersebut relevan dengan hukum dan prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Istilah kearifan lokal (local wisdom) mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosa kata yang sedang familiar akhir-akhir ini. Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia I. Markus Willy P.S.Pd, M.Dikkie Darsyah S.Pd dan Mieke Ch[7], local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat atau kearifan lokal) dapat dipahami sebagai, gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.[8]

Pengertian lain yang lebih terperinci tentang kearifan lokal adalah, kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.

Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.[9]

Kearifan lokal dimaknai juga sebagai adat yang memiliki kearifan atau al- ‘addah al-ma’rifah, yang dilawankan dengan al-‘addah al-jahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama.[10] Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement).

Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terdapat unsur pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.

Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan di semua aspek kehidupan termasuk ekonomi, yang dialami oleh masyarakat tersebut.

Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Ketentuan umum yang selama ini menjadi standar bersama sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.

Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor ke-terlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut.

Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan substansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitarnya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beranekaragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan obyek permasalahan yang sama.

Kearifan lokal dalam perspektif hukum ekonomi Islam adalah ’urf. Secara etimologi ’urf berarti baik, kebiasaan dan sesuatu yang dikenal. ‘Urf sering diartikan dengan segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.[11] ‘Urf tidak terjadi pada individu tetapi merupakan kebiasaan orang banyak atau kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. ‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah mentradisi.[12]

Para ulama membagi ‘urf menjadi dua, yaitu ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadis, yang sifatnya tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.[13] Misalnya saling pengertian manusia atau kebiasaan manusia mengenai transaksi jual-beli secara borongan, pemilik toko mengantarkan barang belian yang berat/besar, ke rumah pembeli seperti lemari, kursi, dan peralatan rumah tangga yang berat lainnya tanpa dibebani biaya tambahan, jual beli TV, radio, mobil dan barang-barang elektronik lainnya dengan garansi. Demikian pula dengan persewaan kamar mandi umum yang tidak dipersoalkan sedikit banyaknya air yang digunakan, meskipun harga sewanya sama.[14]

Sedangkan ‘urf fasid adalah ‘urf yang bertentangan dengan Al-Quran dan AlHadis serta menglalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.[15] Sebagai contoh manusia saling mengerti untuk melakukan perbuatan negatif dalam hal utang-piutang dengan menambahkan bunga pada saat pengembalian, memb erikan suap pada saat melamar pekerjaan dan sebagainya.

Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari pengambilan dan penetapan hukum.[16] Dengan demikian ’urf fasid harus dihindari karena melestarikan ’urf fasid berarti menentang hukum syara’ atau membatalkan ketentuan syara’.

Dari paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa, ‘urf shahih bisa menimbulkan sebuah hukum baru dengan berlandaskan ijtihad ulama yang berpendapat bahwa ‘urf shahih tidak bertentangan dengan hukum Islam dengan kaidah fikih yang biasa disebut Al-’Adah Muhakkamah[17]20 yaitu “ adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.”

Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, antara kearifan lokal dan ’urf shahih mempunyai titik temu yang sangat jelas, karena kearifan lokal adalah gagasan-gagasan setempat (local) dan perilaku yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Demikian pula ’urf yaitu, segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.

Berpijak dari titik temu tersebut maka, perilaku ekonomi yang selama ini telah menjadi kearifan lokal dan tidak bertentangan dengan hukum dan prinsipprinsip ekonomi Islam, bisa menambah pengembangan khazanah keilmuan dalam ekonomi Islam dalam merespon perkembangan jaman.

 

D.    Kearifan Lokal dalam Prespektif Teori

Salah satu ciri kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas yang tinggi atas lingkungannya. Dalam khasanah sosiologi Islam, Ibnu Khaldun dikenal sebagai peletak dasar teori solidaritas masyarakat atau dikenal dengan teori Ashabiyat Teori ini merupakan pengejawantahan dari teori harmoni ka aljasad al-wahid dalam ajaran Islam, yang menggambarkan kelaziman saling melindungi dan mengembangkan potensi serta saling mengisi dan membantu di antara sesama. Melalui teori harmoni ka al-jasad al-wahid dimisalkan kehidupan komunitas muslim itu dengan ka al-bunyan yasuddu ba’duha ba’dla bagaikan sebuah bangunan, yang antara elemen bangunan yang satu dengan yang lainnya saling memperkokoh memperkuat (Ibnu Khaldun, 1986: t.h.). Teori Ashabiyat solidaritas kelompok dan konsep ta’awun al-ihsan itu didasarkan atas pemikiran ajaran Islam, yang di dalamnya terkandung norma akidah dan syari’at (Muhamad Syaltut, 1959: t.h.). Unsur syari’at itu merupakan norma sentral bagi kaum Muslimin. Karena di dalamnya memuat ragam aturan, termasuk tata cara transaksi ekonomi yang sesuai dengan kaidah-kaidah syariah.

Ibnu Qayyim menjelaskan pengaruh motif suatu tindakan, baik yang berhubungan dengan transaksi bisnis. Kaidah syariah yang tidak dapat diabaikan adalah tujuan dan I·tikad yang berpengaruh terhadap transaksi bisnis. Tujuan dan I’tikad sangat menentukan apakah suatu tindakan itu jatuh pada hal yang halal atau haram, sah atau batal, dan maksiat atau taat (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, t.th.: 108).

David Mc. Clelland dengan teorinya Need for Achievement menyatakan bahwa kemajuan ekonomi suatu masyarakat dapat dijelaskan dengan tinggi rendahnya motif berprestasi pada suatu masyarakat tertentu. Perkembangan ekonomi masyarakat yang memiliki motif prestasi tinggi akan lebih pesat dari perkembangan masyarakat dengan motif prestasi rendah, karena dalam masyarakat yang para anggotanya memiliki motif prestasi tinggi akan lebih banyak dijumpai berbagai macam wirausaha yang berhasil dan mereka itu yang menjadi pendorong utama pembangunan ekonomi (Doyle Paul Johnson,1988: 283). Kelemahan dari teori ini adalah mengabaikan adanya interaksi sosial antara individu dengan individu lainnya.[18]

 

E.     Kedudukan Hukum Islam di Indoonesia

Kedudukan hukum Islam dalam negara Republik Indonesia secara eksplisit tercantum dalam pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan masing-masing penduduk untuk melaksanakan ibadah berdasarkan agama dan kepercayaannya (Redaksi Sinar Grafika, 1999: 16). Menurut Hazairin, kaidah fundamental dalam pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut:

a.       Dalam negara RI tidak boleh ada atau tidak boleh berlaku hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang berlaku bagi pemeluk agama.

b.      Negara wajib menjalankan syariah semua agama yang berlaku di Indonesia, kalau untuk menjalankan syariah itu memerlukan bantuan kekuasaan Negara (Muhammad Daud Ali, 1997: 45).

Syariah yang tidak memerlukan kekuasaan negara untuk melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan seperti salat dan puasa bagi umat Islam, menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri untuk menjalankannya menurut ketentuan agamanya masing-masing.

Pasal 29 UUD 1945 ini mempunyai tiga muatan makna. Pertama, negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, negara berkewajiban membuat peraturan perundangundangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya. Ketiga, negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (Hartono Mardjono, 1997: 28).

Dengan tiga makna ini dapat dipahami bahwa negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar setiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Keaktifan negara di sini adalah untuk menjamin agar setiap penduduk dapat merdeka menentukan pilihan atas agama yang hendak dipeluknya dan jaminan agar setiap penduduk dapat menjalankan ibadahnya menurut agama dan kepercayaan yang ditetapkan oleh agama yang dipeluknya. Tetapi keaktifan negara tidak boleh mencampuri aturan-aturan internal (Yusril Ihza Mahendra, 1996: 119-120) yang telah ditentukan oleh masing-masing agama penduduknya.[19]

 

F.     Realitas Hukum Islam di Indonesia

Bagi umat Islam, pelaksanaan isi pasal 29 tersebut telah terwujud dalam bentuk UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38 tahun 1999 Pengelolaan Zakat, UU. No 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi DI Aceh, dan UU. No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (Muchsin, 2003: 18-19). Selain itu juga telah lahir UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Peraturan Bank Indonesia (PBI) UU Produk Halal dan inisiatif-inisiatif lain tentang tematema hukum Islam.

Realitas ini menunjukkan bahwa negara Indonesia telah memberikan ruang gerak yang cukup bagi terlembaganya hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Dengan demikian setiap muslim dapat sepenuhnya menjalankan kegiatan sesuai dengan ajaranajaran Islam apabila mereka menghendaki. Jika dikalaborasi lebih lanjut maka dalam kegiatan di bidang muamalat seperti jual-beli, sewamenyewa, dan lain-lain juga dapat dilakukan sepenuhnya berdasarkan hukum Islam, sehingga seluruh kegiatan dalam kehidupan muslim akan tunduk kepada hukum Islam. Logikanya apabila dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan wakaf sudah ada Kompilasi Hukum Islam, mengapa dalam bidang muamalat seperti jual-beli belum ada Kompilasi Hukum Islam di bidang muamalat. Keberadaan kompilasi hukum di bidang muamalat ini dirasakan sangat mendesak untuk segera diwujudkan (Abd al-Rahman Taj, 1953: 8-11) karena ekonomi merupakan salah satu bidang yang sangat menentukan kualitas hidup umat muslim. Saat ini, telah muncul KHES oleh Mahkamah Agung RI.

Negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila melindungi agama, penganut agama, bahkan berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mohammad Hatta (wakil Presiden RI I) menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik Indonesia, syariah Islam berdasarkan Alquran dan Hadis dapat dijadikan peraturan perundangundangan Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem syariah yang sesuai dengan kondisi Indonesia (Ichtijanto SA, 1996: 178). Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Islam mempunyai peluang yang besar untuk diberlakukan dalam sistem hukum nasional, karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) (Redaktur Sinar Grafika, Amendemen, 24). Sumber dari segala sumber hukum nasional adalah Pancasila, karena itu berlaku pula hukum agama dan toleransi antar umat beragama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Muchsin, 2003: 29).

Indikasi bahwa Hukum Islam di Indonesia dapat diakomodir dalam sistem hukum nasional dapat dilihat dari fakta-fakta berikut ini:

a.       Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan lain-lain merupakan modal bagi terbentuknya Undang-undang lainnya.

b.      Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 95 % beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang sangat signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.Demi terselenggaranya pelaksanaan hukum yang lebih efektif dan efisien, maka solusi yang tepat adalah memenuhi aspirasi mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam ini.

c.       Kesadaran umat Islam dalam praktek sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat selama ini yang merupakan cerminan dari kesadaran mereka menjalankan syariah atau Hukum Islam seperti pembagian zakat dan waris.

d.      Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah, mustahil Hukum Islam dapat menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia (Muchsin, 2003: 30-31).

Dengan melihat indikator-indikator tersebut, maka diperlukan keterlibatan para akademisi perguruan tinggi, baik di fakultas hukum maupun fakultas syariah agar dapat mengembangkan penelitian yang pada akhirnya dapat dijadikan pedoman bagi praktisi hukum dalam mengambil keputusan yang terkait dengan persoalan hukum yang hidup dan terjadi di dalam masyarakat.

Prakondisi yang dimaksud adalah upaya untuk mencegah kejahatan yang dilakukan oleh umat Islam melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1)      Pencegahan melalui aspek akidah. Akidah yang kuat dapat membuat orang merasa diawasi oleh Tuhannya, sehingga ia mampu melakukan self control terhadap perbuatan yang dilakukannya.

2)      Pencegahan dari aspek ibadah. Ibadahibadah yang diwajibkan oleh agama bila dilakukan dengan baik akan berdampak positif bagi pelakunya. Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (terdapat dalam alquran surat al-Ankabut ayat 45). Dalam shalat, seseorang harus meletakkan anggota badan yang paling terhormat, yakni wajahnya, ke lantai agar benih-benih kesombongan dapat tercabut dari jiwanya. Demikian pula zakat dapat dijadikan instrumen pembersih (terdapat dalam Alquran surat at-Taubah ayat 103) karena dapat membersihkan manusia dari kekikiran dan ketamakan. Realitas menunjukkan bahwa kejahatan lebih banyak dilakukan oleh mereka yang tidak begitu peduli dengan kualitas ibadahnya.

3)      Pencegahan dari segi keadilan sosial. Dalam arti, setiap warga negara telah diberi kesempatan yang mudah untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang halal dan tertutup dihadapannya kesempatan untuk berbuat yang tidak halal atau yang membuatnya tertarik dengan hal-hal yang tidak halal. Pencegahan seperti ini pernah dijadikan klausul tidak diterapkannya hukum potong tangan bagi pencuri ketika paceklik pada masa ‘Umar bin Khattab

4)      Pencegahan melalui amar ma’ruf nahi munkar yang seharusnya menjadi budaya di kalangan masyarakat muslim karena hal ini merupakan titik sentral dari ajaran agama. Pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar secara rapi dan terarah, apalagi dilembagakan jabatan muhtasib secara resmi oleh negara, akan dapat menjamin ketentraman, keadilan, dan hal-hal kondusif lain yang diharapkan oleh seluruh masyarakat.

Prakondisi tersebut merupakan upaya awal untuk menguji situasi dan kondisi moral masyarakat muslim di Indonesia. Apabila prakondisi itu telah diciptakan, sementara kejahatan dan kerusakan moral tetap terjadi, maka tidak ada alasan untuk menolak pelembagaan hukum Islam. Pelembagaan dan penerapan hukum Islam dapat dipastikan akan meminimalisir tindak kejahatan yang terjadi. Hal ini terbukti bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw hukuman zina hanya dilaksanakan satu kali karena pengakuan pelakunya dan ia meminta untuk dirajam. Ini berarti penerapan dan pelembagaan hukum Islam dapat dijadikan alternatif yang tepat untuk menekan angka kejahatan.[20]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

1.      Kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari  pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya.

2.      Perilaku manusia terhadap lingkungan disebabkan karena perilaku manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor dasar, pendukung, pendorong dan persepsi, serta faktor lingkungan baik di lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Di antara faktor-faktor pengaruh adalah faktor dasar, yang meliputi pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Faktor pendukung meliputi pendidikan, pekerjaan, budaya dan strata sosial. Sebagai faktor  pendorong meliputi sentuhan media massa baik elektronik maupun tertulis,penyuluhan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sejauh mana penyerapan informasi oleh seseorang tergantung dimensi kejiwaan dan persepsi terhadap lingkungan, untuk selanjutnya akan direfleksikan pada tatanan perilakunya.

3.      Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang juga merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, maka Nababan (1995) mengemukakan prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional sebagai  berikut :

1)      Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri.

2)      Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau  jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari  pihak luar.

3)      Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas.

4)      Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat.

5)      Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdayamilik bersama dari penggunaan berlebihan,  baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu.

6)      Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik  bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku.


DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Azis Dahlan. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Abdon Nababan. “Menemukan Jalan Baru Kemandirian Ekonomi Indonesia” dalam makalah untuk pengantar diskusi terbatas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta. 5 Juli 2009.

Agustinus Dawarja. “Sistem Ekonomi Adat Manggarai Nusantara”, dikutip dari http://rayhanasadira.blogspot.com/2009/06/sistem-ekonomi-adatmanggarai-nusantara.html. diakses pada tanggal 9 Agu 2010 08:26:00 GMT.

Ahmad Mustafa al-Maraghi, tt, Tafsir al-Maraghi, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr.

Ala’ Eddine Kharoufa. 2000. Philosophy of Islamic Shari’ah and Its Contribution to the Science of Contemporary Law, Saudi Arabia: Islamic Development Bank.

Agustianto, “Penerapan ‘Urf dalam Ekonomi Islam” dikutip dari http://www.scribd. com/doc/13148923/ushul-fiqh-bagian-10-urf-agustianto. Diakses pada tanggal 5 Agu 2010 21:00:54 GMT.

Abdul Wahhab Khallaf.1985. Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah.

Ahmad al-Nadwi. 1998. al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Cetakan ke-V. Beirut: Dar al-Qalam. Ahmad Azhar Basyir. 1983. Hukum Adat Bagi Umat Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Nur Cahaya

 



[1] Prinsip ini diambil dari kaidah fikih “ Hukum asal dalam semua bentuk mu’amalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”, lihat H.A.Djazuli, Kaidahkaidah Fikih, 2006, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 130.

[2] Prinsip ini diambil dari kaidah fikih “ Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”, lihat Ahmad alNadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 1998,Cetakan ke-V, Beirut: Dar al-Qalam, hal. 95.

[3] Prinsip ini diambil dari kaidah fikih “ Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat”, lihat H.A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, 2006, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 11.

[4] Abdul Azis Dahlan, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 1497. Frank E.Vogel dan Samuel L. Hayes, III, 2007, Hukum Keuangan Islam, Cetakan ke-1, Bandung: Penerbit Nusamedia, hal. 110

[5] Ibid., hal. 93.

[6] QS. Ar Ruum: 39, QS. An Nisaa: 160-161, QS. Ali Imran: 130, QS. Al Baqarah: 278-279.

[7] I. Markus Willy P.S.Pd, M.Dikkie Darsyah S.Pd dan Mieke Ch, 1996, Kamus Inggris Indonesia-Indonesia Inggris, Surabaya: Penerbit Arloka, 201 dan 403.

[8] Sartini, Menggali Kearifan Lokal, dalam Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2, hal. 111.

[9] I Ketut Gobyah “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www. balipos.co.id, diakses pada 17/9/2003.

[10] Sartini, “Menggali…”, hal. 112. Lihat juga “Penjelasan Tentang ‘Urf” dalam Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003

[11] Muhammad Abu Zahrah, (tt),Ushul al-Fiqh, Al Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi, hal. 216. Lihat juga Abdul Wahhab Khallaf, 1985, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, hal. 132

[12] Agustianto, “Penerapan ‘Urf dalam Ekonomi Islam” dikutip dari http://www.scribd.com/ doc/13148923/ushul-fiqh-bagian-10-urf-agustianto. Diakses pada tanggal 5 Agu 2010 21:00:54 GMT.

[13] Abdul Wahhab Khallaf, 1985, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, hal. 132

[14] Ala’ Eddine Kharoufa, 2000, Philosophy of Islamic Shari’ah and Its Contribution to the Science of Contemporary Law, Saudi Arabia: Islamic Development Bank, hal. 68.

[15] Ibid., hal. 133.

[16] Abdul Wahhab Khallaf, 1985, Kaidah-kaidah…hal. 133

[17] H.A.Djazuli, Kaidah-kaidah…, 2006, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 9.

[18] Ahmad Mujahidin, Peranan Kearifan Lokal, hal 154-155.

[19] Ibid, hal 157-158.

[20] Ibid, hal 158-160.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Islam dan Lingkungan Hidup || Konservasi Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal dalam Prespektif Ekonomi Islam"

Posting Komentar