Makalah Islam dan Lingkungan Hidup || Konservasi Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal dalam Prespektif Ekonomi Islam
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang
Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Konservasi
Lingkungan berbasis Kearifan Lokal dalam Prespektif Ekonomi Islam” ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga
kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata
kuliah Islam dan Lingkungan Hidup. Selain itu, pembuatan makalah ini juga
bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan
makalah ini.
Bandar Lampung, 8 Maret 2022
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
A. Definisi Budaya dan Kearifan Lokal
D. Kearifan Lokal dalam Prespektif Teori
E. Kedudukan Hukum Islam di Indoonesia
F. Realitas Hukum Islam di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada
lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar
dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup
masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara
arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu
yang berbeda dan suku yang berbeda.
Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya
berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial.
Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal
yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan
ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah
suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari
tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Sementara itu Keraf
(2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta
adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis. Pemahaman mengenai kearifan lokal di atas semakin
menegaskan bahwa kearifan lokal menjadi modal
penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah
kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga
keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan
kendala serta keteledoran manusia.
Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada
norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi
seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan
sehari-hari maupun menentukan peradaban
manusia yang lebih jauh.
Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada
UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang tertera
dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi ingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Sedangkan sumberdaya alam disebutkan dalam ayat 10 mencakup
sumberdaya alam hayati maupun non hayati dan sumberdaya buatan. Masyarakat tradisional di Indonesia
maupun dibagian dunia lainya, sering dijadikan sebagai tersangka utama atas
terjadinya perusakan lahan hutan akibat sistem perladangan yang mereka lakukan.
Namun jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya sistem
perladangan masyarakat tradisional ini tidak berpengaruh besar terhadap
kerusakan hutan. Karena dalam kehidupan masyarakat tradisional ini terdapat
juga aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan pemanfaatan
lahan (hutan) tersebut Lobja (2003).
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian dari budaya dan kearifan lokal?
2.
Apa sajakah sumber hokum ekonomi islam?
3.
Apakah ‘urf dan kearifan lokal?
4.
Apa itu kearifan lokal dalam prespektif teori?
5.
Bagaimanakah kedudukan hokum islam di Indonesia?
6.
Bagaimanakah realitas hokum islam di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari budaya dan kearifan lokal
2.
Untuk mengetahui sumber hokum ekonomi islam
3.
Untuk mengetahui apa itu ‘urf dan kearifan lokal
4.
Untuk mengetahui kearifan lokal dalam prespektif teori
5.
Untuk mengetahui kedudukan hokum islam di Indonesia
6.
Untuk mengetahui realitas hokum islam di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Budaya dan
Kearifan Lokal
Budaya diambil dari bahasa
Sansekerta buddhayah, yang berarti segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
akal budi manusia. Pengertian budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI)
dikatakan sebagai pikiran atau akal budi, adat istiadat, sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Budaya secara umum merupakan cara hidup
yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang telah diwariskan secara turun
menurun kepada generasi berikutnya. Ishak (2008) menyatakan bahwa budaya
mengacu pada pola sikap dan mental dan fisik menurut sistem nilai kepercayaan
yang dianut bersama oleh suatu kelompok manusia. Dalam hal ini budaya dipandang
sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai.
Secara etimologis, kearifan lokal
terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Pada KBBI,
lokal berarti setempat, sedangkan kearifan sama dengan kebijaksanaan. Sehingga
jika dilihat secara etimologis, kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan
sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Istilah kearifan lokal pertama kali dikenalkan oleh HG. Quaritch Wales (dalam
Budiwiyanto 2006) yang menyebut kearifan lokal sebagai “local genius” yang
berarti sejumlah ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat
sebagai suatu akibat pengalamannya di masa lalu. Yunus (2012) mengartikan
kearifan lokal sebagai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dan
ditempattempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus
globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat
dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa.
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang
ada di masyarakat menurut Aulia dan Dharmawan (2010) dapat berupa nilai, norma,
kepercayaan, dan aturanaturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini
mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi
kearifan lokal tersebut antara lain untuk:
1)
konservasi dan pelestarian sumber daya alam
2)
mengembangkan sumberdaya manusia
3)
pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; serta
4)
petunjuk tentang petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan.
Selain itu, ditambahkan oleh Sartini
(2004) yang mengemukakan fungsi dan makna kearifan lokal diantaranya:
1)
berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam;
2)
berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia misalnya berkaitan
dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate;
3)
berfungsi untuk pengembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara Saraswati, kepercayaan
dan pemujaan pada pura Panji;
4)
berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan;
5)
bermakna sosial, misalnya
upacara integrasi komunal/kerabat;
6)
bermakna etika dan moral,
yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur; serta
bermakna
politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron clien
B. Sumber Hukum
Ekonomi Islam
Tidak ada perbedaan antara sumber hukum Islam secara umum dengan
sumber hukum ekonomi Islam. Karena kajian ekonomi dalam Islam adalah bagian
dari pembahasan tentang hukum Islam. Maka sumber hukumnyapun sama yaitu Al
Qur’an, Sunnah, Ijma’, Fatwa Sahabat Nabi, Qiyas, Istihsan, ’Urf, Mashalih
Mursalah, Sadd adz-dzara’i, Istishhab dan Syar’u man qablana.
Dengan demikian setiap aktivitas ekonomi harus berlandaskan kepada
sumbersumber hukum ekonomi Islam dan tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam berijtihad atas suatu fenomena ekonomi.
Dalam ekonomi Islam, terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi apabila
sebuah interaksi antar sesama manusia akan dilakukan.
Prinsip-prinsip ini harus dijadikan sebagai aturan dalam melakukan
aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi Islam tersebut yaitu (1) pada
asalnya aktivitas ekonomi itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang
mengharamkannya, (2) aktivitas ekonomi tersebut hendaknya dilakukan dengan suka
sama suka (’an taradhin), (3) kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya
mendatangkan maslahat dan menolak madharat (jalb almashalih wa dar’u
al-mafasid), dan (4) dalam aktivitas ekonomi tersebut terlepas dari unsur gharar,
riba, kedzaliman, dan unsur lain yang diharamkan berdasarkan syara’.
Dalam prinsip pertama mengandung arti, hukum dari semua aktivitas
ekonomi pada awalnya diperbolehkan. Kebolehan itu berlangsung selama tidak atau
belum ditemukan nash – Al-Qur’an dan Al-Hadis – yang menyatakan keharamannya.[1]
Ketika ditemukan sebuah nash yang menyatakan haram, maka pada saat itu pula
akad mu’amalah tersebut menjadi terlarang berdasarkan syara’. Prinsip ekonomi
Islam tersebut sebenarnya mengacu pada ketentuan umum yang termuat di dalam
Al-Qur’an yang secara substansi berbicara tentang masalah ini, terdapat di
dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya: “ Dialah Allah yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu.”
Prinsip ekonomi Islam yang kedua adalah mu’amalah, hendaknya
dilakukan dengan cara suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan dari pihak
manapun. Bila ada dalam sebuah aktivitas ekonomi ditemukan unsur paksaan
(ikrah), maka aktivitas ekonomi tersebut menjadi batal berdasarkan syara’. [2]5
Prinsip mu’amalah ini didasarkan pada nash yang tertuang dalam Al-Qur’an surat
An-Nisa’ ayat 29 yang artinya, “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
Sedangkan prinsip yang ketiga adalah mendatangkan maslahat dan
menolak madharat bagi kehidupan manusia. [3]Prinsip
ini mengandung arti, aktivitas ekonomi yang dilakukan tersebut hendaknya
memperhatikan aspek kemaslahatan dan kemadharatan. Oleh karena itu, aktivitas
ekonomi yang dilakukan, hendaknya merealisasikan tujuan-tujuan syari’at Islam
(maqashid al-syari’ah), yakni mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Bila
ternyata aktivitas ekonomi tersebut dapat mendatangkan maslahat bagi kehidupan
manusia, maka pada saat itu hukumnya boleh dilanjutkan, bahkan harus
dilaksanakan. Namun bila mendatangkan madharat, maka pada saat itu pula harus
dihentikan.
Prinsip ketiga tersebut secara umum didasarkan pada firman Allah
dalam surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya “ Dan tidaklah Kami mengutus kamu
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” Rahmat dalam ayat ini bisa
diartikan dengan menarik manfaat dan menolak madharat (jalb al-manfa’ah wa daf
al-madharah). Makna ini secara substansial seiring dengan yang ditunjukkan
Al-Qur’an surat AlBaqarah ayat 185 yang menyatakan “Allah tidak menghendaki
adanya kesempitan dan kesulitan (musyaqah)” dan surat An-Nisa’ ayat 28 yang
artinya “Allah menghendaki supaya meringankan bagimu, karena manusia itu
diciptakan dalam keadaan lemah.”
Sedangkan prinsip terakhir, aktivitas ekonomi harus terhindar dari
unsur gharar, riba, dzhulm, dan unsur lain yang diharamkan berdasarkan syara’.
Syariat Islam membolehkan setiap aktivitas ekonomi di antara sesama manusia
yang dilakukan atas dasar menegakkan kebenaran, keadilan, menegakkan
kemaslahatan manusia pada ketentuan yang dibolehkan Allah SWT. Sehubungan
dengan itu, syariat Islam mengharamkan setiap aktivitas ekonomi yang bercampur
dengan kedzaliman, penipuan, muslihat, ketidakjelasan, dan hal-hal lain yang
diharamkan dan dilarang Allah SWT.
Gharar[4]
mengacu pada sejumlah transaksi yang bercirikan ketidakpartian dan
ketidakjelasan pada awal kontrak, yang diduga dapat meniadakan kerelaan dan
juga merupakan bagian dari memakan harta manusia dengan cara yang batil.
Jualbeli gharar adalah jual-beli yang mengandung unsur ketidaktahuan (jahalah)
yang dapat membawa pada perselisihan, serta menyebabkan kemadharatan dan
meniadakan kemaslahatan manusia.
Adapun riba adalah suatu tambahan atas pokok harta atau penggandaan
yang berlebihan.[5]
Terdapat beberapa sebab atas pengharaman riba (1) karena Allah SWT dalam
Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam Al-Hadis jelas-jelas menyatakan riba
diharamkan, (2) karena esensi riba’ adalah perilaku orang untuk mengambil harta
milik orang lain dengan tidak seimbang, (3) bisa menyebabkan orang malas untuk
berusaha, karena selalu mengharapkan keuntungan dengan tanpa usaha yang riil,
(4) karena dengan adanya riba’ bisa menyebabkan hilangnya berbuat baik terhadap
sesama manusia.[6]
Sedangkan aktivitas ekonomi yang mengandung unsur zhulm
(kedzaliman) adalah aktivitas ekonomi yang bila dilakukan dapat merugikan pihak
lain, seperti menumpuk-numpuk harta (ihtikar) yang dapat mengganggu mekanisme
pasar. Dari uraian tersebut dapat dipahami, aktivitas ekonomi baru dianggap
shahih apabila memenuhi prinsip-prinsip ekonomi Islam tersebut.
C. ‘Urf dan Kearifan
Lokal
Di antara sumber-sumber hukum ekonomi Islam seperti Al Qur’an,
Sunnah, Ijma’, Fatwa Sahabat Nabi, Qiyas, Istihsan, ’Urf, Mashalih Mursalah,
Sadd adzdzara’i, Istishhab dan Syar’u man qablana, maka ’Urf adalah sumber
hukum ekonomi Islam yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mencari titik temu
antara aktivitas ekonomi yang merupakan kearifan lokal dengan ekonomi Islam.
Dengan demikian dapat dijustifikasi, apakah kearifan lokal bidang ekonomi
tersebut relevan dengan hukum dan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Istilah kearifan lokal (local wisdom) mempunyai arti yang sangat
mendalam dan menjadi suatu kosa kata yang sedang familiar akhir-akhir ini.
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata
yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia I.
Markus Willy P.S.Pd, M.Dikkie Darsyah S.Pd dan Mieke Ch[7],
local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan.
Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat atau kearifan lokal) dapat
dipahami sebagai, gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.[8]
Pengertian lain yang lebih terperinci tentang kearifan lokal
adalah, kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan
lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai
nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat
setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai
yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.[9]
Kearifan lokal dimaknai juga sebagai adat yang memiliki kearifan
atau al- ‘addah al-ma’rifah, yang dilawankan dengan al-‘addah al-jahiliyyah.
Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan
diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama.[10]
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik,
karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan
mengalami penguatan (reinforcement).
Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia
tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah
terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat
yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terdapat unsur pemaksaan oleh
penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.
Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh
kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan
di semua aspek kehidupan termasuk ekonomi, yang dialami oleh masyarakat
tersebut.
Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global
yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di
sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Ketentuan umum yang selama ini
menjadi standar bersama sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka
di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah
dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa
harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan
kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau
kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama
ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah
yang sedang dihadapinya. Faktor ke-terlibatan para pendahulu, nenek moyang,
yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat
penting bagi terjaganya kearifan tersebut.
Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar
komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan substansi
yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi
terhadap masalah yang ada di sekitarnya. Sehingga, dalam beberapa hal akan
memungkinkan timbulnya kearifan yang beranekaragam dari komunitas lokal
tersebut, walau dengan obyek permasalahan yang sama.
Kearifan lokal dalam perspektif hukum ekonomi Islam adalah ’urf.
Secara etimologi ’urf berarti baik, kebiasaan dan sesuatu yang dikenal. ‘Urf
sering diartikan dengan segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara
manusia yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan,
perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.[11]
‘Urf tidak terjadi pada individu tetapi merupakan kebiasaan orang banyak atau
kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. ‘Urf bukan
kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah
mentradisi.[12]
Para ulama membagi ‘urf menjadi dua, yaitu ‘urf shahih dan ‘urf
fasid. ‘Urf shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan
Al-Hadis, yang sifatnya tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal.[13]
Misalnya saling pengertian manusia atau kebiasaan manusia mengenai transaksi
jual-beli secara borongan, pemilik toko mengantarkan barang belian yang
berat/besar, ke rumah pembeli seperti lemari, kursi, dan peralatan rumah tangga
yang berat lainnya tanpa dibebani biaya tambahan, jual beli TV, radio, mobil
dan barang-barang elektronik lainnya dengan garansi. Demikian pula dengan
persewaan kamar mandi umum yang tidak dipersoalkan sedikit banyaknya air yang
digunakan, meskipun harga sewanya sama.[14]
Sedangkan ‘urf fasid adalah ‘urf yang bertentangan dengan Al-Quran
dan AlHadis serta menglalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.[15]
Sebagai contoh manusia saling mengerti untuk melakukan perbuatan negatif dalam
hal utang-piutang dengan menambahkan bunga pada saat pengembalian, memb erikan
suap pada saat melamar pekerjaan dan sebagainya.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim
harus memelihara urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai
hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari
pengambilan dan penetapan hukum.[16]
Dengan demikian ’urf fasid harus dihindari karena melestarikan ’urf fasid
berarti menentang hukum syara’ atau membatalkan ketentuan syara’.
Dari paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa, ‘urf shahih
bisa menimbulkan sebuah hukum baru dengan berlandaskan ijtihad ulama yang
berpendapat bahwa ‘urf shahih tidak bertentangan dengan hukum Islam dengan
kaidah fikih yang biasa disebut Al-’Adah Muhakkamah[17]20
yaitu “ adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.”
Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, antara
kearifan lokal dan ’urf shahih mempunyai titik temu yang sangat jelas, karena
kearifan lokal adalah gagasan-gagasan setempat (local) dan perilaku yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya. Demikian pula ’urf yaitu, segala sesuatu yang sudah
saling dikenal di antara manusia yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi,
baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan
perbuatan tertentu.
Berpijak dari titik temu tersebut maka, perilaku ekonomi yang
selama ini telah menjadi kearifan lokal dan tidak bertentangan dengan hukum dan
prinsipprinsip ekonomi Islam, bisa menambah pengembangan khazanah keilmuan
dalam ekonomi Islam dalam merespon perkembangan jaman.
D. Kearifan Lokal
dalam Prespektif Teori
Salah satu ciri kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas
yang tinggi atas lingkungannya. Dalam khasanah sosiologi Islam, Ibnu Khaldun
dikenal sebagai peletak dasar teori solidaritas masyarakat atau dikenal dengan
teori Ashabiyat Teori ini merupakan
pengejawantahan dari teori harmoni ka aljasad al-wahid dalam ajaran Islam, yang
menggambarkan kelaziman saling melindungi dan mengembangkan potensi serta
saling mengisi dan membantu di antara sesama. Melalui teori harmoni ka al-jasad al-wahid dimisalkan kehidupan
komunitas muslim itu dengan ka al-bunyan
yasuddu ba’duha ba’dla bagaikan sebuah bangunan, yang antara elemen
bangunan yang satu dengan yang lainnya saling memperkokoh memperkuat (Ibnu
Khaldun, 1986: t.h.). Teori Ashabiyat solidaritas
kelompok dan konsep ta’awun al-ihsan itu
didasarkan atas pemikiran ajaran Islam, yang di dalamnya terkandung norma
akidah dan syari’at (Muhamad Syaltut,
1959: t.h.). Unsur syari’at itu
merupakan norma sentral bagi kaum Muslimin. Karena di dalamnya memuat ragam
aturan, termasuk tata cara transaksi ekonomi yang sesuai dengan kaidah-kaidah
syariah.
Ibnu Qayyim menjelaskan pengaruh motif suatu tindakan, baik yang
berhubungan dengan transaksi bisnis. Kaidah syariah yang tidak dapat diabaikan
adalah tujuan dan I·tikad yang
berpengaruh terhadap transaksi bisnis. Tujuan dan I’tikad sangat menentukan apakah suatu tindakan itu jatuh pada hal
yang halal atau haram, sah atau batal, dan maksiat atau taat (Ibn Qayyim
al-Jawziyyah, t.th.: 108).
David Mc. Clelland dengan teorinya Need for Achievement menyatakan
bahwa kemajuan ekonomi suatu masyarakat dapat dijelaskan dengan tinggi
rendahnya motif berprestasi pada suatu masyarakat tertentu. Perkembangan
ekonomi masyarakat yang memiliki motif prestasi tinggi akan lebih pesat dari
perkembangan masyarakat dengan motif prestasi rendah, karena dalam masyarakat
yang para anggotanya memiliki motif prestasi tinggi akan lebih banyak dijumpai
berbagai macam wirausaha yang berhasil dan mereka itu yang menjadi pendorong
utama pembangunan ekonomi (Doyle Paul Johnson,1988: 283). Kelemahan dari teori
ini adalah mengabaikan adanya interaksi sosial antara individu dengan individu
lainnya.[18]
E. Kedudukan Hukum
Islam di Indoonesia
Kedudukan hukum Islam dalam negara Republik Indonesia secara
eksplisit tercantum dalam pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan masing-masing
penduduk untuk melaksanakan ibadah berdasarkan agama dan kepercayaannya
(Redaksi Sinar Grafika, 1999: 16). Menurut Hazairin, kaidah fundamental dalam
pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut:
a.
Dalam negara RI tidak boleh ada atau tidak boleh berlaku hukum yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang berlaku bagi pemeluk agama.
b.
Negara wajib menjalankan syariah semua agama yang berlaku di
Indonesia, kalau untuk menjalankan syariah itu memerlukan bantuan kekuasaan
Negara (Muhammad Daud Ali, 1997: 45).
Syariah yang tidak memerlukan
kekuasaan negara untuk melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh
setiap pemeluk agama yang bersangkutan seperti salat dan puasa bagi umat Islam,
menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri untuk menjalankannya
menurut ketentuan agamanya masing-masing.
Pasal 29 UUD 1945 ini mempunyai tiga
muatan makna. Pertama, negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan
atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, negara berkewajiban membuat peraturan
perundangundangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud
rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang
memerlukannya. Ketiga, negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan
yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (Hartono
Mardjono, 1997: 28).
Dengan tiga makna ini dapat dipahami
bahwa negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar setiap
penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu. Keaktifan negara di sini adalah untuk menjamin agar setiap penduduk dapat
merdeka menentukan pilihan atas agama yang hendak dipeluknya dan jaminan agar
setiap penduduk dapat menjalankan ibadahnya menurut agama dan kepercayaan yang
ditetapkan oleh agama yang dipeluknya. Tetapi keaktifan negara tidak boleh
mencampuri aturan-aturan internal (Yusril Ihza Mahendra, 1996: 119-120) yang
telah ditentukan oleh masing-masing agama penduduknya.[19]
F. Realitas Hukum
Islam di Indonesia
Bagi umat Islam, pelaksanaan isi pasal 29 tersebut telah terwujud
dalam bentuk UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, UU No. 17 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38 tahun 1999 Pengelolaan Zakat, UU. No 44
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi DI Aceh, dan UU. No.
18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam (Muchsin, 2003: 18-19). Selain itu juga telah lahir UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Peraturan Bank Indonesia (PBI) UU Produk
Halal dan inisiatif-inisiatif lain tentang tematema hukum Islam.
Realitas ini menunjukkan bahwa negara Indonesia telah memberikan
ruang gerak yang cukup bagi terlembaganya hukum Islam dalam sistem hukum
nasional. Dengan demikian setiap muslim dapat sepenuhnya menjalankan kegiatan
sesuai dengan ajaranajaran Islam apabila mereka menghendaki. Jika dikalaborasi
lebih lanjut maka dalam kegiatan di bidang muamalat seperti jual-beli,
sewamenyewa, dan lain-lain juga dapat dilakukan sepenuhnya berdasarkan hukum
Islam, sehingga seluruh kegiatan dalam kehidupan muslim akan tunduk kepada
hukum Islam. Logikanya apabila dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan wakaf
sudah ada Kompilasi Hukum Islam, mengapa dalam bidang muamalat seperti
jual-beli belum ada Kompilasi Hukum Islam di bidang muamalat. Keberadaan
kompilasi hukum di bidang muamalat ini dirasakan sangat mendesak untuk segera
diwujudkan (Abd al-Rahman Taj, 1953: 8-11) karena ekonomi merupakan salah satu
bidang yang sangat menentukan kualitas hidup umat muslim. Saat ini, telah
muncul KHES oleh Mahkamah Agung RI.
Negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila melindungi agama,
penganut agama, bahkan berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Mohammad Hatta (wakil Presiden RI I)
menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik Indonesia, syariah
Islam berdasarkan Alquran dan Hadis dapat dijadikan peraturan perundangundangan
Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem syariah yang sesuai dengan
kondisi Indonesia (Ichtijanto SA, 1996: 178). Hal ini menunjukkan bahwa Hukum
Islam mempunyai peluang yang besar untuk diberlakukan dalam sistem hukum
nasional, karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) (Redaktur
Sinar Grafika, Amendemen, 24). Sumber dari segala sumber hukum nasional adalah
Pancasila, karena itu berlaku pula hukum agama dan toleransi antar umat
beragama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Muchsin, 2003: 29).
Indikasi bahwa Hukum Islam di Indonesia dapat diakomodir dalam
sistem hukum nasional dapat dilihat dari fakta-fakta berikut ini:
a.
Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini, seperti UU
Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan lain-lain merupakan modal bagi terbentuknya
Undang-undang lainnya.
b.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 95 % beragama
Islam akan memberikan pertimbangan yang sangat signifikan dalam mengakomodasi
kepentingannya.Demi terselenggaranya pelaksanaan hukum yang lebih efektif dan
efisien, maka solusi yang tepat adalah memenuhi aspirasi mayoritas penduduk
Indonesia yang beragama Islam ini.
c.
Kesadaran umat Islam dalam praktek sehari-hari. Banyak aktifitas
keagamaan masyarakat selama ini yang merupakan cerminan dari kesadaran mereka
menjalankan syariah atau Hukum Islam seperti pembagian zakat dan waris.
d.
Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal
ini sangat dibutuhkan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah, mustahil
Hukum Islam dapat menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia (Muchsin, 2003:
30-31).
Dengan melihat indikator-indikator
tersebut, maka diperlukan keterlibatan para akademisi perguruan tinggi, baik di
fakultas hukum maupun fakultas syariah agar dapat mengembangkan penelitian yang
pada akhirnya dapat dijadikan pedoman bagi praktisi hukum dalam mengambil
keputusan yang terkait dengan persoalan hukum yang hidup dan terjadi di dalam
masyarakat.
Prakondisi yang dimaksud adalah
upaya untuk mencegah kejahatan yang dilakukan oleh umat Islam melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
1)
Pencegahan melalui aspek akidah. Akidah yang kuat dapat membuat
orang merasa diawasi oleh Tuhannya, sehingga ia mampu melakukan self control
terhadap perbuatan yang dilakukannya.
2)
Pencegahan dari aspek ibadah. Ibadahibadah yang diwajibkan oleh
agama bila dilakukan dengan baik akan berdampak positif bagi pelakunya. Shalat
dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (terdapat dalam alquran surat
al-Ankabut ayat 45). Dalam shalat, seseorang harus meletakkan anggota badan
yang paling terhormat, yakni wajahnya, ke lantai agar benih-benih kesombongan
dapat tercabut dari jiwanya. Demikian pula zakat dapat dijadikan instrumen
pembersih (terdapat dalam Alquran surat at-Taubah ayat 103) karena dapat
membersihkan manusia dari kekikiran dan ketamakan. Realitas menunjukkan bahwa
kejahatan lebih banyak dilakukan oleh mereka yang tidak begitu peduli dengan
kualitas ibadahnya.
3)
Pencegahan dari segi keadilan sosial. Dalam arti, setiap warga
negara telah diberi kesempatan yang mudah untuk memenuhi kebutuhannya dengan
cara yang halal dan tertutup dihadapannya kesempatan untuk berbuat yang tidak
halal atau yang membuatnya tertarik dengan hal-hal yang tidak halal. Pencegahan
seperti ini pernah dijadikan klausul tidak diterapkannya hukum potong tangan
bagi pencuri ketika paceklik pada masa ‘Umar bin Khattab
4)
Pencegahan melalui amar
ma’ruf nahi munkar yang seharusnya menjadi budaya di kalangan masyarakat
muslim karena hal ini merupakan titik sentral dari ajaran agama. Pelaksanaan
amar ma’ruf nahi munkar secara rapi
dan terarah, apalagi dilembagakan jabatan muhtasib
secara resmi oleh negara, akan dapat menjamin ketentraman, keadilan, dan
hal-hal kondusif lain yang diharapkan oleh seluruh masyarakat.
Prakondisi tersebut merupakan upaya
awal untuk menguji situasi dan kondisi moral masyarakat muslim di Indonesia.
Apabila prakondisi itu telah diciptakan, sementara kejahatan dan kerusakan
moral tetap terjadi, maka tidak ada alasan untuk menolak pelembagaan hukum
Islam. Pelembagaan dan penerapan hukum Islam dapat dipastikan akan
meminimalisir tindak kejahatan yang terjadi. Hal ini terbukti bahwa pada zaman
Nabi Muhammad Saw hukuman zina hanya dilaksanakan satu kali karena pengakuan
pelakunya dan ia meminta untuk dirajam. Ini berarti penerapan dan pelembagaan
hukum Islam dapat dijadikan alternatif yang tepat untuk menekan angka
kejahatan.[20]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat
guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan
lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan
mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya.
2.
Perilaku manusia terhadap lingkungan disebabkan karena perilaku
manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor dasar, pendukung, pendorong dan
persepsi, serta faktor lingkungan baik di lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial. Di antara faktor-faktor pengaruh adalah faktor dasar, yang meliputi
pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Faktor
pendukung meliputi pendidikan, pekerjaan, budaya dan strata sosial. Sebagai
faktor pendorong meliputi sentuhan media
massa baik elektronik maupun tertulis,penyuluhan, tokoh-tokoh agama dan
masyarakat. Sejauh mana penyerapan informasi oleh seseorang tergantung dimensi
kejiwaan dan persepsi terhadap lingkungan, untuk selanjutnya akan direfleksikan
pada tatanan perilakunya.
3.
Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan yang juga merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat.
Berkaitan dengan hal itu, maka Nababan (1995) mengemukakan prinsip-prinsip
konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional sebagai berikut :
1)
Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan manusia
dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong
memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri.
2)
Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan
atau jenis sumberdaya alam tertentu
sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini
mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini
dari pihak luar.
3)
Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system)
yang memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah
yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas.
4)
Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna
dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat.
5)
Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa
mengamankan sumberdayamilik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh
masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah
memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan
bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu.
6)
Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya
milik bersama yang dapat mencegah
munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya
kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan
sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Azis Dahlan. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Abdon
Nababan. “Menemukan Jalan Baru Kemandirian Ekonomi Indonesia” dalam makalah
untuk pengantar diskusi terbatas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di
Jakarta. 5 Juli 2009.
Agustinus
Dawarja. “Sistem Ekonomi Adat Manggarai Nusantara”, dikutip dari
http://rayhanasadira.blogspot.com/2009/06/sistem-ekonomi-adatmanggarai-nusantara.html.
diakses pada tanggal 9 Agu 2010 08:26:00 GMT.
Ahmad
Mustafa al-Maraghi, tt, Tafsir al-Maraghi, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr.
Ala’
Eddine Kharoufa. 2000. Philosophy of Islamic Shari’ah and Its Contribution to
the Science of Contemporary Law, Saudi Arabia: Islamic Development Bank.
Agustianto,
“Penerapan ‘Urf dalam Ekonomi Islam” dikutip dari http://www.scribd.
com/doc/13148923/ushul-fiqh-bagian-10-urf-agustianto. Diakses pada tanggal 5
Agu 2010 21:00:54 GMT.
Abdul
Wahhab Khallaf.1985. Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah.
Ahmad
al-Nadwi. 1998. al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Cetakan ke-V. Beirut: Dar al-Qalam.
Ahmad Azhar Basyir. 1983. Hukum Adat Bagi Umat Islam. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Nur Cahaya
[1] Prinsip ini diambil
dari kaidah fikih “ Hukum asal dalam semua bentuk mu’amalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”, lihat H.A.Djazuli,
Kaidahkaidah Fikih, 2006, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
hal. 130.
[2] Prinsip ini diambil
dari kaidah fikih “ Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah
pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”, lihat Ahmad
alNadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 1998,Cetakan ke-V, Beirut: Dar al-Qalam, hal.
95.
[3] Prinsip ini diambil
dari kaidah fikih “ Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat”,
lihat H.A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, 2006, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hal. 11.
[4] Abdul Azis Dahlan,
1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 1497.
Frank E.Vogel dan Samuel L. Hayes, III, 2007, Hukum Keuangan Islam, Cetakan
ke-1, Bandung: Penerbit Nusamedia, hal. 110
[5] Ibid., hal. 93.
[6] QS. Ar Ruum: 39, QS. An
Nisaa: 160-161, QS. Ali Imran: 130, QS. Al Baqarah: 278-279.
[7] I. Markus Willy P.S.Pd,
M.Dikkie Darsyah S.Pd dan Mieke Ch, 1996, Kamus Inggris Indonesia-Indonesia
Inggris, Surabaya: Penerbit Arloka, 201 dan 403.
[8] Sartini, Menggali
Kearifan Lokal, dalam Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2, hal.
111.
[9] I Ketut Gobyah
“Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www. balipos.co.id, diakses pada
17/9/2003.
[10] Sartini, “Menggali…”,
hal. 112. Lihat juga “Penjelasan Tentang ‘Urf” dalam Pikiran Rakyat terbitan 6
Maret 2003
[11] Muhammad Abu Zahrah,
(tt),Ushul al-Fiqh, Al Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabi, hal. 216. Lihat juga
Abdul Wahhab Khallaf, 1985, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, hal.
132
[12] Agustianto, “Penerapan
‘Urf dalam Ekonomi Islam” dikutip dari http://www.scribd.com/
doc/13148923/ushul-fiqh-bagian-10-urf-agustianto. Diakses pada tanggal 5 Agu
2010 21:00:54 GMT.
[13] Abdul Wahhab Khallaf,
1985, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, hal. 132
[14] Ala’ Eddine Kharoufa,
2000, Philosophy of Islamic Shari’ah and Its Contribution to the Science of
Contemporary Law, Saudi Arabia: Islamic Development Bank, hal. 68.
[15] Ibid., hal. 133.
[16] Abdul Wahhab Khallaf,
1985, Kaidah-kaidah…hal. 133
[17] H.A.Djazuli,
Kaidah-kaidah…, 2006, Cetakan ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal.
9.
[18] Ahmad Mujahidin,
Peranan Kearifan Lokal, hal 154-155.
[19] Ibid, hal 157-158.
[20] Ibid, hal 158-160.
0 Response to "Makalah Islam dan Lingkungan Hidup || Konservasi Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal dalam Prespektif Ekonomi Islam"
Posting Komentar