Makalah Akhlak dan Tasawuf || Ma'rifat

 Kata Pengantar

 

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas nikmat-Nya, baik itu berupa kesehatan fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Akhlak dan Tasawuf. Makalah ini membahas mengenai Ma’rifat.

Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman di dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi agar makalah ini mampu berguna serta bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait dengan judul makalah ini.

 

Bandar Lampung, 18 April 2022

 

 

Kelompok 9

 

 

 

 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar. 2

BAB I PENDAHULUAN.. 4

A.     Latar Belakang. 4

B.     Rumusan Masalah. 4

C.     Tujuan Penulisan. 5

BAB II PEMBAHASAN.. 6

A.     Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifat 6

B.     Alat Untuk Menuju Ma’rifat 9

A.     Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifat 11

B.     Ma’rifat Dalam Pandangan Al-Qur’an. 13

BAB III PENUTUP. 16

A.     Kesimpulan. 16

B.     Saran. 16

DAFTAR PUSTAKA.. 17

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

          Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, Irfan, berarti: mengetahui, mengenal, atau pengetahuan Ilahi. Orang yang mempunyai ma’rifat disebut arif. Menurut terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara rinci atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman secara langsung atas Realitas Mutlak Tuhan. Dimana sering digunakan untuk menunjukan salah satu maqam (tingkatan) atau hal (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena itu, dalam wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya penghayatan kepada Allah SWT (ma’rifatullah) menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.

 

          Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat eksoteris  (Zahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris  (batiniyyah)  dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkannya, pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapati orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan Ma’rifat ?

2.      Jelaskan tujuan dari Ma’rifat ?

3.      Jelaskan hal-hal yang mengenai Alat Untuk Menuju Ma’riat ?

4.      Siapa sajakah tokoh yang mengembangkan Ma’rifat ?

5.      Bagaimana pandangan ma’rifat dalam Al-Qu’ran ?

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk menyelesaikan tugas Pendidikan Agama Islam.

2.      Untuk memberikan informasi seputar tujuan Ma’riat.

3.      Untuk lebih mengenalkan Agama Islam kepada pembaca.

 


BAB II PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifat

1.      Pengertian Ma’rifat

Ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti: mengetahui, mengenal, atau pengetahuan Ilahi. Orang yang mempunyai ma’rifat disebut arif. Menurut terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara rinci, atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman secara langsung atas Realitas Mutlak Tuhan. Dimana sering digunakan untuk menunjukan salah satu maqa>m (tingkatan) atau h}a>l (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena itu, dalam wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah SWT (ma’rifatulla>h) menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf. [1]

Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat eksoteris (z}ahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris (bat}iniyyah) dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkannya, pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapati orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun.[2]

Ma’rifat bagi orang awam yakni dengan memandang dan bertafakkur melalui penz}ahiran (manifestasi) sifat keindahan dan kesempurnaan Allah SWT secara langsung, yaitu melalui segala yang diciptakan Allah SWT di alam raya ini. Jelasnya, Allah SWT dapat dikenali di alam nyata ini, melalui sifat-sifat-Nya yang tampak oleh pandangan makhluk-Nya.[3]

Menurut Al-H}usayn bin Mans}ur al-H}allaj (w. 921 M) ma’rifat adalah apabila seorang hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah SWT menjadikan pikiranpikirannya yang menyimpang sebagai sarana ilham, dan Dia menjaga batinnya agar tidak muncul pikiran-pikiran selain-Nya. Adapun tanda seorang arif yaitu bahwa dia kosong dari dunia maupun akhirat.[4]

Para sufi ketika berbicara tentang ma’rifat, maka masing-masing dari mereka mengemukakan pengalamannya sendiri dan menunjukkan apa yang datang kepadanya saat tertentu. Dan salah satu tanda ma’rifat adalah tercapainya rasa ketentraman dalam hati, semakin orang bertambah ma’rifat maka semakin bertambah ketentramannya. Sehingga apa yang diketahui dari pengalaman itu, membuahkan manfaat berupa ketenangan batin.[5]

Dalam pandangan Harun Nasution (w. 1998 M) ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat memandang Tuhan, hal itu memiliki ciri sebagai berikut :

1)      Orang arif adalah bangga dalam kepapaannya, apabila disebut nama Allah SWT dia bangga. Apabila disebut nama dirinya dia merasa miskin.[6]

2)      Jika mata yang terdapat dalam hati terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan saat itu yang dilahatnya hanya Allah SWT.

3)      Ma’rifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin maka yang dilihatnya hanyalah Allah SWT.

4)      Semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat terjaga hanyalah Allah SWT.

5)      Seandainya ma’rifat berupa bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat betapa sangat luar biasa cantik serta indahnya, dan semua cahaya akan dikalahkan dengan cahaya keindahan yang sangat gemilang tersebut.[7]

 

2.      Tujuan Ma’rifat

Tujuan seorang hamba berma’rifat ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah, mampu mengenal Allah dengan baik melalui sifat-sifat Allah serta beriman sepenuhnya dengan sifat-sifat yang mulia itu. Dalam ibadahnya seorang hamba yang berma’rifat kepada Allah, berarti ia benar-benar sanggup mengenal Allah. Dengan mata hatinya yang bersinar ia mendekati Allah untuk mendapatkan rahmat dan kasih sayangnya. Ma’rifat bagi seorang hamba diperlukan dalam beribadah dan beramal, sebab dengan demikian ia akan sampai kepada tingkat hamba yang haqqul yaqin.[8]

 

3.      Kedudukan Ma’rifat

Mengenai kedudukan ma’rifat, dalam pandangan al-Junaid, ma’rifat ini dianggap sebagai hal, sedangkan dalam risalah al-Qusyairiyah, ma’rifat dianggap sebagai maqam. Kedudukan ma’rifah dekat dengan muhabbah. Imam al-Ghazali memandang ma’rifat datang sebelum mahabbah. Sedangkan al-Kalabazi berpendapat sebaliknya. Selain itu adapula yang berpendapat bahwa ma’rifat dan mahabbah ini merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya sama-sama menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan.Adapun alat untuk mencapai ma’rifat telah ada pada diri manusia, yaitu qalb (hati). Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat dengan serangkaian dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan.[9]

Ma’rifat adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan yang satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya ma’rifat digunakan untuk menunjukkan salah satu tingkatan dalam tasawuf. Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang tuhan, yaitu arif,tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada dibekalang tabir. Tujuan ma’rifat adalah  berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada eksistensinya yang intern, wasilahnya adalah spiritual.

 

B.     Alat Untuk Menuju Ma’rifat

Alat yg digunakan untuk Ma'rifat telah ada didalam diri manusia yaitu Qolbu (hati). Qolbu selain alat untuk merasa juga alat untuk berfikir.Bedanya qolbu dgn akal ialah bahwa akal tdk bisa memperoleh pengetahuan yg sebenarnya tentang Tuhan. Sedangkan qolbu bisa mengetahui hakikat dari segala yg ada dan jika di limpahi Cahaya Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.Qolbu yg telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu saat hati tersebut di sinari Cahaya Tuhan.

Proses sampainya Qolbu pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dgn konsep "Takhalli, Tahalli, Tajalli".Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yg tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat.Tahalli yaitu menghiasi diri dgn akhlak yg mulia dan amal ibadah.Tajalli yaitu terbukannya hijab sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.Dgn limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Dgn demikian ia dapat mengetahui apa-apa yg tidak bisa diketahui manusia biasa.Orang yg sudah mencapai ma'rifat akan memperoleh hubungan langsung dgn Allah.

Semua yg ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat fenomena alam, idialnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah (Ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila kita semakin mengenal akan Allah. Jadi percuma saja kita belajar ilmu bila semua itu tidak menjadikan kita makin mengenal Allah ,Meneliti dan mengenal diri sendiri merupakan kunci rahasia untuk mengenal Allah SWT, sebagaimana sabda Nabi saw

Artinya: Barang siapa mengetahui diriya sendiri, maka ia akan mengetahui Tuhannya[10]

Langkah pertama untuk mengenal diri sendiri ialah mengetahui terlebih  dahulu bahwa diri ini tersusun dari betuk lahir yang disebut badan dan batin yang  disebut qalb,²Dalam hal ini kata qalb bukan merupakan segumpal daging yang  berada disebelah kiri badan, tapi ia adalah ruh yang bersifat halus dan ghaib yang  turun ke dunia untuk melakukan tugas dan kelak akan kembali ke tempat asalnya.[11]

 ma’rifat bukan datang dengan sendirinya, melainkan harus melalui sebuah proses yang panjang yakni dengan melakukan proses melatih diri dalam hidup keruhanian (riyad}ah) dan memerangi hawa nafsu (muja>hadah). Oleh karena itu, salah satu cara efektif menyingkap hijab ruhani yakni dengan jalan menghindari segala bibit penyakit hati tersebut. Bersungguh-sungguh memerangi ego kemanusiaan, melangkahi hal-hal yang dianggap sebagai “manusiawi” menuju yang Ilahi, membuang jauh-jauh segala bentuk ketergantungan terhadap makhluk, keserakahan fisik dan membenamkan diri dalam taqarrub ilalla>h.[12]

Dalam mencapai hubungan dan kedekatan dengan Allah SWT yakni dengan melepaskan dirinya dari hawa nafsu atau keinginan-keinginan yang bersifat duniawi .dan juga melakukan intensitas `ubu>diyyah yang semua itu ditunjukan kepada Allah SWT dengan penuh perasaan rendah diri dan semata-mata tunduk kepada-Nya. Berkaitan dengan ini, sesuai apa yang diterangkan oleh Imam al-Qusyairi (w. 465 H), yaitu :

“Ma’rifat adalah sifat bagi orang yang mengenal Allah SWT dengan segala sifat dan nama-Nya. Dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan perbuatanperbuatannya, yang lalu mensucikan dirinya dari sifat-sifat rendah serta cacatcacat, yang berdiri lama dipintu, dan yang senantiasa mengundurkan hatinya (dari hal-hal duniawi). Kemudian dia menikmati kedekatan dengan Tuhan, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya, dan dia tidak mencondongkan hatinya kepada pikiran apapun yang akan memancing perhatiannya kepada selain Allah SWT”.[13]

Dari penjelasan al-Qusyairi tersebut, maka ma’rifat bisa didapat setelah seseorang melakukan penyucian dan riya>d}ah, baik dalam lahir maupun batin. Dan tidak memberikan ruang dalam hatinya kecuali hanya untuk Allah SWT.

 

A.    Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifat

Dalam literatur tasawuf dijumpai 2 orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat yaitu :

1.      Al-Ghazali

Imam al-ghazali menjelaskan bahwa ma’rifat yaitu mengetahui rahasia dan keagungan yang mencakup segala kekuasaan allah swt. Dan ilmu itu merupakan nikmat dan kenikmatan yang paling tinggi yang terus menerus ingin berjumpa dengannya tidak dengan yang lainnya. [14]

a.       Tauhid dalam ilmu kalam

diterangkan bahwasanya tauhid berarti ikrar terhadap kalimat tahlil ( lailaha illalah ) tidak ada tuhan selain allah dan juga keyakinan dalam hati tentang hakikat tuhan itu satu

b.      Makhafah (takut)

Takut kepada allah pasti dirasakan oleh setiap manusia. Imam Al-Ghazali menjelaskan rasa takut allah itu bisa di alami pleh manusia dengan sebab, melihat kekuasaan dan keagungan allah swt. Dan bisa juga dikarenakan banyaknya kemaksiatan dan perbuatan dosa yang dilakukan menusia kepada allah.

c.       Mahabbah

Imam alghazali mahabbah juga memakai lafald “al-walud” ( yang mencintai dan yang dicintai ) di dalam al-quran juga diterangkan “ allah akan mendatangkan suatu umay yang dicintainya dan yang mencintainya dan kecintaan itu bisa dating yang disebabkan dengan menjauhi sifat sifat keduniaan dan menyadari semua perbuatan ynag menimbulkan kemaksiatan “

 

2.      Zun al-Nun al-Misri

Dzun Nun al-Miahri adalah sufi pertama yang membedakan antara ma’rifat seorang sufi kepada allah dengan ma’rifat yang hanya melalui perantaraan akal. Menurutnya, ma’rifat yang hakiki adalah ma’rifat asli yang dihasilkan lewat penglihatan hati. Dari sini, maka dapat dikatakan bahwa teori ma’rifat menurut sufi membuktikan bahwa ma’rifat adalah fitnah yang tertanam dalam hati sejak azali. Ia adalah ikatan (shilat) yang allah ciptakan dari cahaya batin di dalam hati.[15]

 

B.     Ma’rifat Dalam Pandangan Al-Qur’an

1. Pengertian Ma’rifat

 

   Arti ma’rifat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah tingkat penyerahan diri kepada tuhan, yang naik setingkat demi setingkat sehingga sampai ketingkat keyakinan yang lebih kuat. Sedangkan makrifatullah adalah kemampuan untuk mengenal Allah. [16]

  

   Istilah ma’rifatullah berasal dari kata ‘arafaa, ya’rifu’, irfatan, berarti mengetahui, mengenal,[17] atau mengetahui ilahi. [18]

   Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh bebrapa ulama tasawuf, antara lain:

a.       Imam Al-Ghazali, mengatakan makrifatullah adalah orang orang yang telah mencapai derajat ruhani yang sudah sangat tinggi seringksli kata katanya berada diluar batas akal dan logika manusia , tidak dapat dipahami oleh akal kebanyakan orang. Boleh jadi ia akan disebut “gila” bahkan “ kufur” oleh orang awam. Seorang yang sudah mencapai makrifatullah yaitu telah memperoleh pengentahuan ilahiah, adalah melihat wajah-nya dan bertemu dengan-nya. Maka ia telah mencapai tingkat maqam seperti ini, makai a tidak akan merasakan panas api yang membakar jika dilemparkan kedalam api yang menyala. Bagaimana mungkin seorang cinta dunia percaya dengan hal ini yang demikian jika ia tenggelam dan sibuk dengan kenikmatan dan kelezatan inderanya. [19]

b.      Abu bakar Aceh menjelaskan arti ma’rifat itu ialah pengetahuan mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya. Makrifatullah sebenarnya dapat diartikan dengan tepat mengenal Allah, kenal kepada-Nya, mengenal zat-Nya dan asam-Nya. Kemudian arti makrifat itu diperluas demikian rupa, sehingga perkataan ini merupakan suatu istilah ilmiah dan satu pokok pembicaraan yang ramai dalam kalangan ahli fisafat, ahi akhlak, ahli ilmu kalam dan tauhid dan ahli sufi atau tasawuf. Ada yang mengemukakakan, bahwa makrifat itu dicapai dengan akal, dan ada pula yang berpendapat bahwa tujuan terakhir, hayat, ialah makrifatullah yaitu mengenal tuhan dengan sebenar-benarnya karena kata farabi, filsafat itu ialah mengetahui wujud haq dan wujud haq itu ialah wajibul wujud dengan zat-Nya, dan wajibul wujud itu adalah Allah yang satu tunggal.[20]

c.       Makrifat menurut Abdul Qadir al-jailani adalah, tidak dapat dibeli atau dicapai melalui usaha manusia. Makrifat adalah anugrah dari Allah SWT. [21]Setelah seseorang berada pada tingkat makrifat, maka akan mengenal Allah. Allah memperkenalkan rahasia-Nya kepada mereka yang apabila hati mereka hidup dan sadar melalui zikrullah. Dan hati memiliki bakat, Hasrat dan keinginan untuk menerima rahasia ketuhanan.

d.      Menurut Tgk H. Abdullah Ujong Rimba, makriat dalam pandangan sufi adalah mengetahui bagaimana hakikat Allah yang sebenarnya. Para sufi membagi ilmu mereka kepada 4 bagian yaitu: ilmu syariat, ilmu thariqat, ilmu hakikat, dan ilmu makrifat. [22]Kemudian menurut Rabiah al-Adawiyah, makrifat ilmu rohani adaklah agar engkau palingkan mukamu dari makhluk agar engkau dapat memuaskan perhatianmu hanya kepada Allah saja, karena makrifat itu adalah mengenal Allah dengan sebaik-baiknya.

   Dalam mencapai kedekatan dengan Allah SWT yakni dengan melepaskan dirinya dari hawa nafsu atau keinginan-keinginan yang bersifat duniawi dan juga melakukan intensutas ‘ubudiyah’ yang semua itu ditunjukan kepada allah swt. Dengan penuh perasaan rendah diri dan semata mata tunduk kepada-Nya.

    Ibadah itu diawali dengan iman, berarti berkeyakinan penuh bahwa allah swt pemilik segala sesuatu sekaligus penciptanya. Dia pula yang berhak disembah dan diibadahi.

Jelas manusia diciptakan untuk mengenal allah. Sekiranya kita tidak mengenal allah, maka bagaimana kita hendak menyembahnya, memujinya dan mohon pertolongannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB III PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

          Apabila melihat dari keterangan diatas dihubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah ma’rifat disini berarti mengenal Allah Ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Manusia yang amalannya demikian tidak terpisah dengan Allah, sehingga sulit untuk melupakan Allah, apalagi berfikir berbuat dosa dan melanggar perintah Allah, karena tidak akan berkumpul Bersama-sama pada waktu bersamaan pada seseorang dalam kalbu-nya, nafasnya ber-zikir kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa. Tetapi yang pasti adalah berzikir kalbu-nya dan diamalkan oleh jasadnya dan masuk dalam sum-sum tulang, atau dimensi dalam dan amalan car aitu pula yang disebut Tasawuf. Hal tersebut menunjukan bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan keduanya bahkan dalam ilmu Tasawuf seseorang itu semakin mendalam pula pengalaman syari’at-nya dan kewarasannya.

 

B.     Saran

          Bahwa hadis Qudsi menggambarkan tentang bumi dan langit tidak dapat secara langsung dekat Allah swt. Bahkan andai kata Allah swt, akan ditempatkan dan diletakkan dalam bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya, akan tetapi sekiranya Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam kalbu-nya orang mukmin, niscaya akan sanggup dan mampu memuatnya karena manusia itu lebih tinggi martabatnya, dibandingkan dengan makhluk lainnya, setelah itu pula manusia mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian mudah berhubungan, nur dengan nur.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1996

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit Amzah, Jakarta, 2005

 

`Abdul Qa>dir al-Jila>ni, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj. Imron Rosidi, Citra Risalah,Yogyakarta, 2009

 

Abdul Kari>m ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj. Ahsin Muhammad, Penerbit Pustaka, Bandung, 1994

 

Abdul Kari>m ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah ...,

 

Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1993

 

Sudirman Teba, Kecerdasan ...,

 

Makrifat adalah tujuan seorang mukmin dalam https://islamwiki.blogspot.com/2013/04/makrifat-adalah-tujuan-seorangmukmin.html#.XI.hUGzAzbIU. Diakses pada tanggal 15 Maret 2022 pukul 10.18

 

Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Terj. Rus’an, Wicaksana, Semarang 1984

 

Muhammad Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, PT Buku Kita, Jakarta, 2009

Rozi, F., Muhammad, D. H., & Susandi, A. (2022). Pendidikan Tasawuf Dalam Perspektif Al Ghazali Dan Rabi’ah Adawiyah. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK)4(1),

 

Helmy, M. I. (2020). Teori Ma’Rifah Dalam Tasawuf Dzun Nun Al-Mishri. Journal of Islamic and Law Studies

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, h. 220.

[2] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit Amzah, Jakarta, 2005, h. 47.

[3] `Abdul Qa>dir al-Jila>ni, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj. Imron Rosidi, Citra Risalah,Yogyakarta, 2009, h. 119

[4] Abdul Kari>m ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj. Ahsin Muhammad, Penerbit Pustaka, Bandung, 1994, h. 315-316.

[5] Abdul Kari>m ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah ..., h. 313

[6] Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1993, h. 91.

[7] Sudirman Teba, Kecerdasan ..., h. 84.

[8] Makrifat adalah tujuan seorang mukmin dalam https://islamwiki.blogspot.com/2013/04/makrifat-adalah-tujuan-seorangmukmin.html#.XI.hUGzAzbIU. Diakses pada tanggal 15 Maret 2022 pukul 10.18

[9] Nata, Ilmu Pendidikan Islam, h. 235

[10] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Terj. Rus’an, Wicaksana, Semarang 1984, h. 270.

 

 

[11] Imam al-Ghazali, Ihya’..., h. 270

[12] Muhammad Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, PT Buku Kita, Jakarta, 2009, h. 137

[13] Abdul Ka>rim ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah ..., h.. 312.

[14] Rozi, F., Muhammad, D. H., & Susandi, A. (2022). Pendidikan Tasawuf Dalam Perspektif Al Ghazali Dan Rabi’ah Adawiyah. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK)4(1), 170-176.

[15] Helmy, M. I. (2020). Teori Ma’Rifah Dalam Tasawuf Dzun Nun Al-Mishri. Journal of Islamic and Law Studies4(1).

 

[16] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hal 703

[17] Ahmad Warsono Munawir, kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002, hal 919

[18] Totok Junarto dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2005, hal 139

[19] Imam Al-Ghazali, Ilya’Ulumuddin, Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama, Bandung: Penerbit Marja, 2016, hal 307

[20] Abu Bakar Aceh, Pengantar sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: CV Ramadhani, 1987, hal 67-68

[21] Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufffi, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004, hal. 102

[22] Tgk. Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Thareket dan Hakikat, Banda Aceh,, 1975, hal, 47-48

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Akhlak dan Tasawuf || Ma'rifat"

Posting Komentar