Makalah Fiqih || FIQH JINAYAH

 KATA PENGANTAR

 

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Fiqh Jinayah” tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada Bapak Rambona Putra, S.H.I., M.H yang telah memberikan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang selalu setia mendoakan kami, serta teman-teman yang juga sudah memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi Tugas Makalah Kelompok Mata Kuliah fiqih. Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat dipahami dan bermanfaat untuk kita semua.

 

 

Bandar Lampung,  8 Desember  2021

 

 

 

                            Penulis




BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukalaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits. Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syari’at Islam dimaksud secara material mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syari’at yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana, yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang Islam lainnya. Kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak baik sebagai korban maupun pelaku di Propinsi Kepri (Batam) kian mengkhawatirkan.

Salah satu tebing terjal yang masih harus didaki oleh cendekiawan Islam adalah masalah penerapan hukum pidana yang sesuai dengan Syariat Islam. Di dunia Islam Sendiri hanya segelintir negara yang menerapkan hukum Pidana Islam. Sedangkan lainnya masih menerapkan hukum peninggalan penjajah. Hal terbesar yang perlu dirubah adalah stereotip negatif terhadap Hukum Pidana Islam sendiri. Banyak orang yang menganggap hukum Pidana Islam tidak sesuai lagi dengan era ini. Hukum ini terlalu kejam. Kita tidak tahu apakah anggapan ini muncul dari orang yang berpendidikan pernah mempelajari aspek-aspek dalam Hukum Pidana Islam) atau tidak.

 

B.     Rumusan Masalah

1.             Apa Pengertian Jinayah dan Jarimah ?

2.             Bagaimana Unsur–Unsur Jarimah ?

3.             Bagaimana Sumber-Sumber Fiqh Jinayah ?

4.             Bagaimana Hubungan Jarima dengan Larangan ?

 

C.    Tujuan

1.             Untuk Mengetahui Pengertian Jinayah dan Jarimah.

2.             Untuk Mengetahui Unsur–Unsur Jarimah.

3.             Untuk Mengetahui Sumber-Sumber Fiqh Jinayah.

4.             Untuk Mengetahui Hubungan Jarima dengan Larangan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Jinayah dan Jarimah

Fikih Jinayah adalah ilmu tentang hokum syara' yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang detil. Definisi tersebut merupakan gabungan antara pengetian "Fikih" dan "Jinayah". Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa objek pembahasan Fikih Jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tindak pidana dan uquah atau hukumannya.[1]

Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi yaitu, Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir. Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah yaitu, jinayah adalah suatu istilah untuk yang dilarang oleh svara, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa. harta, atau lainnya. Adapun pengertian hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu, hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara".

 

B.     Unsur–Unsur Jarimah

Telah disebutkan di atas bahwa, jarimah itu merupakan larangan-larangan syara’ yang diancamkan dengan hukuman hadd atau ta’zir. Dengan menyebutkan kata-kata syara’ dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan syara’. Berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancamkan hukuman kepadanya. Karena perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut datang dari syara’, maka perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan dan orangnya disebut mukalaf , sebab pembebanan itu artinya panggilan, dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi obyek panggilan tersebut.

Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah secara umum yang harus dipenuhi dalam menetapkan suatu perbuatan jarimah yaitu:

a.              Unsur formil (rukun syar’i) yakni adanya nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya.

b.             Unsur materiil (rukun maddi) yakni adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat.

c.              Unsur moril (rukun adabi) yakni pembuat, adalah seorang mukallaf (orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap jarimah yang diperbuatnya).[2]

Ketiga unsur tersebut di atas haruslah terdapat pada suatu perbuatan untuk digolongkan kepada jarimah. Disamping unsur umum, pada tiap-tiap jarimah juga terdapat unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman seperti, unsur pengambilan dengan diam-diam bagi jarimah pencurian. Misalnya suatu perbuatan dikatakan pencurian manakala barang yang diambil berupa harta, pengambilan nya secara diam-diam, dan barang tersebut dikeluarkan dari tempat simpanannya. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut seperti barang tidak berada dalam tempat yang tidak pantas, nilainya kurang dari ¼ (seperempat) dinar, atau dilakukan secara terang-terangan. Meskipun memenuhi unsur-unsur umum, bukanlah dikenakan pencurian yang dikenakan hukuman potong tangan seperti dalam ketentuan nash Al-Qur’an. Pelakunya hanya terkena hukuman ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa.

 

C.    Sumber-Sumber Fiqh Jinayah

Hukum Pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam.jumurul fuqaha’ sudah sepakat sumber-sumber hukum islam pada umumnya ada 4, yakni al-Qur’an, hadits, Ijmak, Qiyas dan hukum tersebut wajib diikuti.apabila tidak terdapat hukum suatu peritiwa dalam Al-Qur’an baru di cari dalam hadist dan seterusnya prosesnya seperti itu dalam mencari hukum.adapun masih ada beberapa sumber yang lain tetapi masih banyak diperselisikan tentang mengikat dan tidak nya, seperti: Ikhtisan, Ijtihad, Maslahat Mursalah, Urf, Sadduz zari’ah, maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut.

Tetapi pada umumnya bagi hukum pidana Islam formil, maka kesemua sumber diatas bisa dipakai, sedangkan untuk hukum Pidana Islam materiil, hanya 4 sumber sudah disepakati, sedangkan Qiyas masih diperselisihkan. Dan di sini akan dibahas 4 sumber yang telah disepakati.[3]

1.            Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber hukum ajaran islam yang pertama yang memuat kumpulan beberapa wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Diantaranya kandungan isinya ialah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya. Sebagian besar umat islam sepakat menetapkan sumber ajaran islam adalah Al-Qur’an, As-sunnah dan ijtihad kesepakatan itu tidak semata-mata didasarkan kemauan bersama tapi kepada dasar-dasar normatif yang berasal dari Al-Qur’an dan al-sunnah sendiri, seperti yang disebutkan  dalam al-Qur’an. Surat An-Nisa’: 105

إنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (١٠٥)

Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.

   Terdapat argumentasi yang kuat bahwa keseluruhan al-Qur’an (ayat al-Qur’an) adalah mutasyabih, dan al-Qur’an adalah nyata (haq) sebagaimana yang dijelaskan dalam surat: Q.S. Yunus: 36

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ (٣٦)

Artinya : Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Yunus: 37)

وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٣٧)

Artinya :  tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.

Adapun sumber-sumber Hukum pidana dalam al-Qur’an:

d.             Q.S. Al-Isra’: 32

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

e.              Q.S. An-Nur: 4

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٤)

Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.[4]

Ayat di atas menjelaskan tentang larangan Qadahf (menuduh berzina).

f.               Q.S. Al-Baqarah: 219

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩)

Artinya : “Mereka bertanya kepadaMu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadaMu apa yang mereka nafkah kan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadaMu supaya kamu berfikir.”

g.             Q.S. Al-Maidah: 38

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨)

Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

2.            Al-Sunnah / Hadits.

Al-sunnah / Hadits  merupakan sumber hukum ajaran islam yang ke 2, karena hal-hal yang di ungkapkan dalam Al-Qur’an bersifat umum atau memerlukan penjelasan, maka Nabi Muhammad Saw menjelaskan melalui Hadits. Adapun yang dimaksud dengan sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi. Selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syarak. Fungsi dari As-sunnah sendiri adalah untuk menafsirkan menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya menjelaskan dasar-dasar permasalahan sesuatu, maka hadits berfungsi untuk menjelaskan. Adapun contoh-contoh Hadist dalam pidana Islam sebagai berikut:

a.               Hadits tentang larangan berzina. Hadits nabi saw :

وعن أنس بن ملكِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ قال: أوَّلُ لعانٍ كانَ فِي الإِسلاَمِ أنَّ شريكَ بنَ سحماءَ قذَفَهُ هلالُ بْنُ أميةً بأمرتهِفقاَلَ النَّبِيِّ صَلَّي اللهَ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: اْلبَيَّنَةَ وإلاَّ فحدَّ فِي ظَهرِكَ (أخرجه أبو يعلى ورجال ثقات)

Artinya : “Dari anas ibn Malik r.a ia berkata : Li’an pertama yang terjadi dalam Islam ialah bahwa syarik ibn Sahman dituduh oleh Hilal bin Umayyah berzina dengan istrinya. Maka nabi berkata kepada Hilal: Ajukanlah saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman had”. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan perawi yang dipercaya).”

b.               Hadits tentang khamar:

وَعَنْ ابْنِ عمرَ رضيَى الله عنهماَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهَ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَلَ كُلُّ مُسْكِرِ خَمْرُ وَكُلُ خَمْرٍ حَرَامُ )رواه مسلم(

Artinya : “Dari ibnu umar r.a bahwa nabi saw bersabda: setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram”. (H.R. Muslim).”

c.               Hadits Tentang pencurian:

لعنَاللهُ السَّرقَ يسرِقُ الْبَيضَةَ فتقطَعُ يدهُ ويسْرِقَ الْحبلَ فتقطَعُ يدهُ

Artinya : “Allah menguntuk pencuri telur tetap harus dipotong tangannya dan yang mencuri tali juga dipotong tangannya”.

سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أتاَكُم وَأَمْرُكُم جَمِيعَّ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْيُفَرِّقَ جَماَعَتَكُمْ فَاقُتُلُوهُ

Artinya : “Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda: Barang siapa yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan kamu telah sepakat kepada seorang pemimpin, untuk memecah belah kelompok kalian maka bunuhlah dia”.[5]

3.            Ijma’

Menurut bahasa Ijma’ mempunyai 2 arti yaitu :

a.              Kesepakatan, seperti; perkataan: “Jama al qaumu ‘alaa kadzaa idzaa itafaquudlaini”. Yang artinya suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka sudah sepakat kepadanya. Kebulatan Tekad atau niat, Firman Allah Q.S yunus 71

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلا تُنْظِرُونِ (٧١)

Artinya : “Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”

b.              Sabda Nabi:

لاَصِياَمَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِياَمَ مِنَ الليْلِ

Artinya: “Tidak syah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada malam harinya”. Menurut Ahli Ushul Ijma’ adalah

اِتِّفَاقُ جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِبْنَ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ فِى عَصْرٍ مِنَ اْلعُصُوْرِ بَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُولُ عَلَى حُكْمٍ مِنَ اْلاَحْكاَمِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ

Artinya: “Kesepatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah akan suatu hukum syariat yang amali”.[6]

c.              Menurut Syara’: Kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin di sesuaikan masa setelah wafat Nabi saw, tentang suatu hukum syara’ yang amali. Adapun syarat-syarat terwujudnya Ijma’ (menurut jumhur ulama):

1)             Persepakatan para mujtahid, kesepakatan bukan mujtahid (orang awam) tidak diakui sebagai ijma’.

2)             Bahwa para mujtahid harus sepakat, tidak seorang pun berpendapat lain.

Karena itu tidak diakui ijma’ dengan kesepakatan:

1)              Suara terbanyak.

2)             Kesepakatan tidak diakui ijma’ dengan kesepakatan golongan salaf.

3)             Kesepakatan ulama’ salaf kota Madinah saja.

4)             Kesepakatan ulama salaf yang mujtahid dari uda kota basrah dan kufah, atau salah satunya saja.

5)             Kesepakatan Ahli Bait nabi saja.

6)             Kesepakatan khulafaurrasyidin saja.

Kesepakatan 2 orang Syekh: Abu Bakar dan Umar, karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’iy (diyakini) keabsahannya dan kebenarannya. Bahwa kesepakatan itu; diantara mujtahid yang ada ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan dan dibahas. Kesepakatan mujtahid itu terjadi setelah Nabi wafat. Bahwa kesepakatan itu harus masing-masing mujtahid memulai penyampaian pendapatnya dengan jelas pada suatu waktu. Bahwa kesepakatan itu dalam pendapat yang bulat yang sempurna dalam pleno lengkap.

4.            Qiyas.

Qiyas adalah mempersamakan hukum peristiwa yang belum ada ketentuannya dengan hukuman peristiwa yang sudah ada ketentuannya, karena antara kedua peristiwa tersebut terdapat segi-segi persamaan. Para fuqaha’ memperselisihkan kebolehan memakai Qiyas untuk semua hukum-hukum syara’ ada yang memperbolehkannya dengan alasan, bahwa semua hukum-hukum syara’ masih termasuk dalam satu jenis juga, yaitu hukum syara’.[7]

Dan apabila salah satunya di tetapkan dengan Qiyas, maka terhadap yang lain juga bisa ditetapkan dengan Qiyas. Menurut fuqaha’ lainnya Qiyas tidak bisa di pakai untuk semua hukum-hukum syara’, sebab meskipun termasuk dalam satu jenis namun sebenarnya terdapat perbedaan satu sama lain. Apa yang terdapat pada sebagaiannya bukan berarti boleh di terapkan pada lainnya sebab, boleh jadi masing-masing mempunyai ciri khas tersendiri.

 

D.    Hubungan Jarima dengan Larangan

Suatu perbuatan itu di namakan jarimah apabila,perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan dan jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan bermasyarakat,nama baik atau perasaan ataupun hal-hal lain yang harus di pelihara dan di junjung tinggi keberadaannya. Jadi,yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain baik dalam betuk material maupun nonmateri atau gangguan nonfisik seperti, ketenangan, ketentraman, harga diri dan sebagainya

Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut di antaraya ialah adalah tabiat manusia yang cendrung pada suatu perbuatan yang menguntungkan diri nya walaupun hal itu akan merugikan banyak orang.Kenyataan tersebut memerlukan kehadiran peraturan dan undang-undang akan tetapi,kehadiran peruran itu tidak akan berarti apabila adanya dukungan paksaan agar orang itu mau mematuhinya dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatan tersebut.Disamping itu agar perbuatannya tidak di ulangi oleh orang lain agar tercipta kedamaian dalam kepentingan umum.[8]

Hukuman,ancaman,saksi meruapakan hal yang baik walaupun akan berakibat buruk bagi pelaku kejahatan.Nmun apabila di bandingkan dengan kepentingan orang banyak kehadiran hukuman dan saksi sangat di butuhkan.agar orang yang berbuat jarimah bisa jera dan menjadi ancaman maupun pelajaran bagi orang yang ingin melakukan tindakan jarimah.

Tolak ukur jarimah(tindakan pidana) bermula dari moral atau akhlak bukan berarti meniadakan unsur kerugian akan tetapi,unsur moral lebih di utamakan di bandingan unsur kerugian.Disamping itu,pada dasarnya kerugian yang di derita korban baik perorangan maupun masyarakat di akibatkan akhlak yang buruk pelaku jarimah.Jadi perbuatan buruk yang merugikan orang lain tersebut bermula dari akhlak yang kurang baik.

Hukum positif tidak demikian.Suatu perbuatan itu digolongkan tindakan pidana atau bukan tergantung pada tindakan kerugian maupun orang yang merasa di rugikan.Olehkarna itu berangkat dari untung rugi,pelangaran terhadap kesusilaan dan kejahatan moral tidak di anggap sebagai tindakan pidana dan merupakan sesuatu yang masuk akal.Itu karna hukum positif merupakan produksi barat, sehingga sangat longar tehadap moral dan sangat tidak mempedulikan akhlak tersebut.

Sebagai ilustrasi,yang di ambil di negri barat.Dalam sebuah perjalana kerta api bawah tanah sepasang muda mudi bercumbuan di dalam kereta api,dalam pandangan islam itu merupakan hal yang sangat bejat dan merusak akhlak seseorang.Tentu saja perbuatan tersebut mengundang perhatian penumpang lainnya,akhirnya petugas mengiring sepasang kekasih muda tersebut dan memberhentikannya di stasiun selanjutnya karna bagi mereka apa yang di buat sepasang kekasih muda tersebut hanya menggangu perjalanan lalu lintas.[9]

Dalam hukum islam contoh kasus di atas bukan dianggap sekedar menggangu ketertiban.perbuatan itu akan di anggap perbuatan pidana atau jarimah walaupun belum masuk kedalam jarimah zina dan pasti akan di hukum,dalam pandangan islam perbuatan ini akan di hukum seberat-beratnya karna di lakukan di tempat umum yang membuktikan bahwa mereka sangat jongka dan sombong akan ketentuaan Allah SWT.Menghalalkan yang haram dan dapat di kategorikan orang-orang yang murtad karna menyimpang dengan ketentuan agama.

Merapa harus di hukum padahal tidak ada yang merasa di rugikan dalam kasusu tersebut,sebab islam menjunjung tinggi akhlak dan setiap pelanggar akhlak akan di hukum,dengan mengabaikan ada yang rugi atau tidak.Perzinaan dan perbuatan lainnya adalah pelanggaran akhlak sehingga pelaku harus di hukum.Bahkan perbuatan perzinaan tergolong tindakan pidana dalam ketentuan jarimah yang berat hukumannya,kalu hanya di anggap mengangu ketertipan perzinaan akan di lakukan secara tertip,tidak tergangu,tersembunyi bahkan terorganisasi hal itu akan menguntungkan pelaku dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

 

 

 

 

 

 

 


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Fikih Jinayah adalah ilmu tentang hokum syara' yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang detil.Hukum pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam, jadi sumber-sumber hukumnya di ambil dari al-Qur’an, as-Sunnah/al-Hadits, Ijma’ da Qiyas. Tapi dalam hukum material Qias masih di perselisihan, bahkan ada satu pendapat bahwa Qias tidak di masukkan dalam sumber-sumber hukum Islam.

Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi yaitu, Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir. Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah.

Unsur-unsur jarimah secara umum yang harus dipenuhi dalam menetapkan suatu perbuatan jarimah yaitu: Unsur formil (rukun syar’i) yakni adanya nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya, Unsur materiil (rukun maddi) yakni adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan Unsur moril (rukun adabi) yakni pembuat, adalah seorang mukallaf (orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap jarimah yang diperbuatnya).

Al-Qur’an adalah sumber hukum ajaran islam yang pertama yang memuat kumpulan beberapa wahyu yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Diantaranya kandungan isinya ialah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya.

Al-Sunnah atau al-Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari nabi saw selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir. Yang mana al-sunnah merupakan dalil penguat dari Al-qur’an apabila dalam Al-qur’an tidak ditemukan dalilnya.

Ijma’ merupakan kesepakatan atau kebulatan para Mujtahid Islam dalam suatu masa. Setelah wafatnya nabi saw tentang suatu hukum syara’ yang amali. Qiyas juga sebagai sumber pidana Islam. Yang mana secara pengertian Qiyas adalah mempersamakan hukum peristiwa yang belum ada ketentuannya dengan hukuman peristiwa yang sudah ada ketentuannya, karena antara kedua peristiwa tersebut terdapat segi-segi persamaan.

 

B.     Saran

Saran dari penulisan makalah ini semoga makalah ini berguna bagi pembaca terkhusus untuk penulis sendiri. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna perbaikan makalah di masa yang akan datang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Audah, Abdul Qadir. 2007. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Jakarta: Kharisma Ilmu

Hanafi, Ahmad. 1993. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet-5. Jakarta: Bulan Bintang

Muslich, Ahmad Wardi. 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam-Fiqih kinayah. Jakarta: Sinar Grafika

Zainuddin, Ali. 2009. Hukum pidana islam, Jakarta: PT.Sinar Grafika

 



[1] Ali Zainuddin, Hukum pidana islam, (Jakarta: PT.Sinar Grafika, 2009), h. 35

[2] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet-5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 2

[3] Sulaiman Abdullah,  Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 54

[4] Ibid, h. 58-59

[5] Ibid, h. 62-63

[6] Ahmad Hanafi,  Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet-5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 94-96

[7] Ibid, h. 99

[8] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam-Fiqih kinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 58-60

[9] Ibid, h. 96

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Fiqih || FIQH JINAYAH"

Posting Komentar