Makalah Islam Dan Lingkungan Hidup || MAQASHID SYARIAH LINGKUNGAN HIDUP DALAM EKONOMI ISLAM
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan
Rahmat dan HidayahNya sehingga tugas penulisan makalah mata kuliah Islam dan
Lingkungan Hidup dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
besar Nabi Muhammad SAW. yang senantias kita nantikan syafa’atnya di dunia dan di yaumul qiyamah
nanti.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Desi Nurhabibah,
S.E.I., M.E. selaku dosen pengampu dalam mata kuliah Islam dan
Lingkungan Hidup yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Arab.
Selain itu, tugas makalah ini bertujuan untuk menambahkan ilmu pengetahuan dan wawasan
tentang materi
“Maqashid Syariah Lingkungan Hidup dalam Ekonomi Islam” dan semoga kami
berharap pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.
Penulis
menyadari makalah ini masih memerlukan penyempurnaan, terutama pada bagian isi.
Segala kritik dan saran
yang bersifat membangun motivasi yang menjadikan evaluasi bagi kami dalam
pembuatan makalah selanjutnya. Apabila terdapat banyak kesalaham pada makalah
ini, kami memohon maaf.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata semoga makalah ini
dapat bermanfaat.
Wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Bandar
Lampung, 07 Februari 2022
Tim Penyusun
.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah.......................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan..................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqashid Syariah.................................................................................. 2
B. Pandangan Para Ulama Tentang Maqashid
Syariah................................................ 3
C. Peranan Maqashid Syariah dalam Perkembangan
Hukum Islam............................ 8
D. Maqashid syariah dalam Perkembangan
Sistem Ekonomi Islam............................ 9
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA
....................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Menjaga konsep Maqasid Syariah kemaslahatan manusia. Sebuah
konsep yang memperhitungkan tujuan untuk menjaga kesejahteraan dan kebutuhan
manusia pada umumnya. Hadirnya Maqasid syariah tentunya sangat dibutuhkan dalam
merumuskan undang-undang yang akan menjadi pijakan dan menjadi tolak ukur bagi kelangsungan
hidup suatu hukum. Tujuan hukum Islam juga selalu relevan dimanapun dan
kapanpun keberadaannya dalam hal dinamis dan elastis. Dan juga konsep maqashid
syariah kemashlahatan tentunya bukan hanya sebagai manusia, tetapi sebagai
Rahmat bagi seluruh makhluk alam semesta alam semesta.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian Maqashid Syariah?
2.
Bagaimana pandangan para
ulama tentang Maqashid Syariah?
3.
Apa peranan Maqashid Syariah
dalam pengembangan hukum Islam?
4.
Apa peranan Maqashid Syariah
dalam pengembangan sistem Ekonomi Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini tak lain adalah untuk mengulas lebih dalam tentang
Maqashid Syariah Lingkungan Hidup dalam Ekonomi Islam. Serta untuk memenuhi
tugas Bahasa Arab yang diberikan oleh Dosen Pengampu yang akan dikumpulkan pada
waktu yang telah ditentukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Maqashid Syariah
Secara bahasa, kata maqashid sendiri berasal dari
kata maqshad yang berarti tujuan atau target. Berangkat dari arti tersebut,
beberapa ulama memiliki pengertian atau definisi mengenai maqashid syariah yang
berbeda. Al-Fasi misalnya, menurutnya, maqashid syariah merupakan tujuan atau
rahasia Allah yang ada dalam setiap hukum syariat. Sedangkan ar-Risuni
berpendapat bahwa maqashid syariah adalah tujuan yang ingin dicapai oleh
syariat agar kemashlahatan manusia bisa terwujud. Secara umum, maqashid syariah
memiliki tujuan untuk kebaikan atau kemashlahatan umat manusia. Tujuan ini
sejalan dengan tujuan dari hukum Allah yaitu kebaikan. Kemashlahatan yang
dimaksud dalam hal ini mencakup segala hal dalam kehidupan manusia. Termasuk di
dalamnya rezeki manusia, kebutuhan dasar hidup, dan juga kebutuhan lain yang
diperlukan manusia. Di dalamnya juga mencakup kualitas emosional, intelektual,
dan juga pemahaman atau pengertian yang mutlak.
Dinamika perubahan sosial yang dihadapi oleh umat
Islam yang terjadi di era modern ini telah menimbulkan sejumlah masalah serius
yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara itu, metode-metode yang
dikembangkan oleh para pembaharu dalam menjawab permasalahan tersebut belum
memuaskan. Metode-metode yang dikembangkan oleh mereka umumnya masih bersifat
ad hoc dan terpilah-pilah.
Penerapan metode yang bersifat ad hoc dan
terpilah-pilah tersebut, tentu saja belum mampu menghasilkan hukum yang
komprehensif. Dengan kata lain, jika ingin menghasilkan hukum Islam yang
komprehensif dan berkembang secara konsisten, maka harus dirumuskan metodologi
yang sistematis yang mempunyai akar Islam yang kokoh.
Metode ad hoc dan terpisah-pisah tersebut
merupakan lanjutan dari kondisi-kondisi sebelumnya, dimana para fuqaha dalam
merumuskan dan mengkaji hukum Islam bersifat atomistic. Para fuqaha ketika
mengkaji hukum Islam, langsung masuk ke dalam aturan-aturan kecil dan mendetail
tanpa merumuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan
menyemangati bentuk hukum Islam tersebut. Fiqih muamalah sebagai pilar ilmu
ekonomi Islam misalnya, sangat cocok untuk menjelaskan hal ini, di mana para
fuqaha klasik langsung membahas aturan-aturan rinci jual beli, sewa menyewa,
serikat atau persekutuan usaha. Oleh karena itu, untuk menjawab kebutuhan
diatas, maka ahli-ahli hukum Islam menyarankan agar pengkajian hukum Islam di
zaman moderen ini hendaknya ditujukan pada penggalian azas-azas hukum Islam
dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik
tersebut.
Dalam rangka mencari basis teori menuju metode
yang holistic tersebut, salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam
adalah konsep maqasid al-syari’ah, yakni tujuan ditetapkannya hukum dalam
Islam.Sebegitu pentingnya konsep ini, maka para ahli teori hukum Islam
menetapkan maqasid al-syari’ah sebagai salah satu kriteria di samping kriteria
lainnya bagi seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad. Makalah ini selanjutnya
akan bermaksud membahas bagaimana maqasid al-syari’ah ini bisa dijadikan
sebagai basis pengembangan ekonomi Islam.
B.
Pandangan Para
Ulama tentang Maqashid Syariah
Jika melihat sejarah perkembangan ushul fiqih
sebelum al-Syatibi, tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa istilah
maqasid al-syari’ah atau objektif syari’ahbelumlah ditemukan secara eksplisit. Lebih-lebih
mengenai pengertiannya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Konsep
tersebut hanya dapat ditemukan dalam karya-karya ulama moderen yang diilhami
oleh pemikiran beliau tentang maqasid al-syari’ah.
Pembicaraan mengenai maqasid al-syari’ah di era
sebelum al-Syatibi hanya dapat diidentifikasi secara implisit dalam tema-tema
kajian ‘illah hukum dan maslahat. ‘Illah yang diartikan dengan suatu perkara
yang jelas dan tegas yang menjadi alasan ditetapkannya hukum menjadi tema
kajian yang menarik ketika dihubungkan dengan kajian maslahat. Sementara kajian
‘illah ini juga memasuki wilayah kajian teologi ketika dihubungkan dengan
pertanyaan apakah hukum yang ditetapkan Tuhan itu berdasarkan ‘illahi (kausa)
tertentu atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka tidak bisa tidak,
pasti melibatkan alasan-alasan teologis dan hukum. Ringkasnya dapat dikatakan
bahwa semua ahli ushul sepakat tentang tujuan akhir dari hukum adalah satu
yakni maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Konkritnya, pengenalan dan pembahasan tentang
konsep maqasid al-Syari’ah telah dimulai dari Imam al-Haramain al-Juwaini.Beliau
dapat dikatakan sebagai ahli ushul pertama yang menekankan pentingnya memahami
maqasid al-syari’ah dalam menetapkan hukum Islam.Ia secara tegas menyatakan
bahwa seseorang tidak mampu menetapkan hukum sebelum benar-benar memahami
tujuan Allah mengeluarkan perintah dan larangan. Lebih jauh ia mengelaborasi
maqasid al-syari’ah tersebut dalam hubungannya dengan ‘illat dan asl yang dapat
dikategorikan ke dalam lima bagian, yaitu asl yang masuk dalam kategori
dharuriyyat (primer), al-hajah al-‘ammah (sekunder), makramat (tersier),
sesuatu yang tidak termasuk kelompok dharuriyyat dan hajiyyat, dan sesuatu yang
tidak termasuk ke dalam ketiga kelompok sebelumya. Singkatnya, al-Juwaini
membagi asl atau tujuan tasyri’ itu menjadi tiga macam yaitu dharuriyyat,
hajiyyat, makramat (tahsiniyyat).
Selanjutnya, pemikiran al-Juwaini tersebut
dikembangkan oleh muridnya yakni al-Ghazali. Beliau menjelaskan maksud syari’at
dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-maslahiyyat dalam qiyas dan
dalam kesempatan yang lain ia menjelaskannya dalam tema istislah. Maslahat
menurut al-Ghazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima
macam maslahat di atas berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika
dilihat dari sisi tujuannya yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari
keterangan tersebut terlihat bahwa maqasid al-Syari’ah sudah mulai menampakan
bentuknya.
Pemikir dan ahli hukum Islam selanjutnya yang
membahas secara khusus maqasid al-Syari’ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam
dari kalangan Syafi’iyyah.Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep
maslahat secara hakiki dalam bentuk menarik maslahat dan menolak mafsadat.
Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkatan
urutan skala prioritas, yaitu dharuriyyat hajiyyat dan takmilat atau tatimmat.
Lebih jauh lagi ia menyebutkan bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya
kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan penjelasan
ini dapat dikatakan bahwa Izzuddin telah berusaha mengembangkan maslahat yang
merupakan inti pembahasan dari maqasid al-Syari’ah.
Penjelasan yang sistematis dan secara khusus
serta jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyyah dalam kitabnya
al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Dalam kitabnya yang terkenal tersebut, ia
menghabiskan sepertiga dari bukunya untuk membahas maqasid al-syari’ah.
Tentunya pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting
dalam pembahasannya. Ia dengan secara tegas menyatakan bahwa tujuan utama Allah
menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup di dunia
dan akhirat. Karenanya, taklif harus mengarah pada terealisirnya tujuan hukum
tersebut.Setiap suruhan dan larangan yang ada dalam ayat dan hadis tidak
terlepas dari upaya memelihara kemaslahatan.
Fatkhi ad-Daraini mengomentari bahwa hukum-hukum
tidaklah dibuat untuk hukum sendiri melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan.
Dengan bahasa yang tidak jauh berbeda Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan hakiki
hukum Islam adalah kemaslahatan. Tidak satu pun hukum yang disyari’atkan baik
dalam al-Qur’an maupun hadits melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.
Pernyataan di atas semakin mempertegas pernyataan al-Syatibi bahwa sesungguhnya
syari’at itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat. Semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan
hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan hukum. Dapat
dikatakan bahwa kandungan maqasid al-Syari’ah adalah kemaslahatan. Melalui
analisis maqasid al-Syari’ah, kemaslahatan tidak hanya dilihat dalam arti
teknis belaka akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum, maqasid
al-Syari’ah dilihat sebagai sesuatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum
yang disyari’atkan Tuhan kepada manusia.
Kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at ini
dibatasi dalam lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap
hal yang mengandung penjagaan atas lima hal tersebut disebut maslahah dan
setiap hal yang membuat hilangnya lima hal disebut mafsadah. Dalam usaha untuk
mewujudkan dan mempertahankan lima hal pokok tersebut, maka al-Syatibi membagi
kemaslahatan tersebut pada tiga tingkatan, yaitu:
1.
Kemaslahatan dharuri.
Kemaslahatan ini adalah kepentingan yang harus ada untuk terwujudnya
kemaslahatan dunia dan akhirat. Apabila kepentingan tersebut tidak ada maka
kelangsungan hidup di dunia tidak dapat dipertahankan dan akhirat akan
mengalami kerugian eskatologis. Kepentingan ini disebut juga dengan kepentingan
primer. Menurut al-Syatibi, perlindungan terhadap lima kemaslahatan yang telah
disebutkan di atas digolongkan ke dalam kategori kemaslahatan ini. Untuk
mewujudkan tujuan ini disyari’atkan hukuman terhadap orang yang membawa dan
menyebarkan ajaran sesat, disyari’atkannya qiyas yang bertujuan untuk
melindungi jiwa, pidana dera untuk minum khamar yang bertujuan melindungi akal,
pidana zina yang bertujuan melindungi keturunan, pidana pencurian untuk
melindungi kekayaan orang yang merupakan sendi kehidupan manusia.
2.
Kemaslahatan hajji, yakni
kepentingan yang harus ada demi terwujudnya kemaslahatan yang tanpanya
kemaslahatan hidup masih dipertahankan, akan tetapi dalam kesulitan dan tidak
normal. Contohnya adalah pemberian hak kepada wali mujbir untuk mengawinkan
anak dibawah umur Ini memang bukan merupakan suatu yang bersifat dharuri, akan
tetapi sangat dibutuhkan dengan alasan supaya tidak kehilangan jodoh yang
sepadan. Ini berbeda halnya dengan hak wali untuk melakukan pengurusan
kepentingan pendidikan anak dan pemenuhan kebutuhan lainnya yang berada pada
tingkat dharuri karena kebutuhan kepada nafkah dan pemeliharaan yang menyangkut
kelangsungan hidup anak.
3.
Kemaslahatan tahsini, yakni
perwujudan kepentingan yang tidak bersifat dharuri dan tidak bersifat haji.
Dengan kata lain, jika kepentingan ini tidak terwujud, maka tidak menyebabkan
kesulitan apalagi mengancam kelangsungan hidup. Sifatnya hanyalah komplementer
yang bertujuan untuk mewujudkan praktek ibadah dan muamalat yang lebih baik
serta mendorong akhlak dan kebiasaan terpuji. Contohnya adalah pendapat Syafi’i
yang melarang jual beli kotoran dan anjing serta semua benda najis. Alasannya
dianalogikan dengan jual beli khamar dan bangkai karena najisnya. Penetapan
kenajisan kedua benda tersebut mengisyaratkan pandangan bahwa benda tersebut
kurang berguna. Kalau dibolehkan jual beli benda tersebut, berarti memberikan
penilaian yang menghargai barang itu dan ini bertentangan dengan
isyarat-isyarat yang menganggapnya sebagai benda tidak berharga.
Konsep maqasid al-Syari’ah yang dikembangkan oleh
al-Syatibi ini sebenarnya telah melampaui pembasan ulama abad-abad sebelumnya. Konsep
al-maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari’ah dan bukan
hanya aspek yang tidak diatur oleh nas saja. Meskipun begitu, pemikiran
maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan at-Tufi.
Pandangan at-Tufi mewakili pandangan yang radikal
dan liberal tentang maslahat. At-Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat
membatasi (takhsis) Alquran, sunnah dan ijma' jika penerapan nas Alquran,
sunnah dan ijma' itu akan menyusahkan manusia. Akan tetapi, ruang lingkup dan
bidang berlakunya maslahat at-Tufi tersebut adalah mu'amalah.
Berdasarkan berbagai pandangan para ulama di atas
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mereka sepakat tentang tujuan Allah
mensyari’atkan sebuah hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan seluruh
manusia, di lain sisi untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di
akhirat. Tujuan tersebut dicapai lewat taklif, yang pelaksanaannya sangat tergantung
pada pemahaman sumber hukum utama, al-Qur’an dan hadits. Dalam mewujudkan
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ada lima hal pokok yang harus
dipelihara dan dijaga yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh
karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Di mana
ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah”. Teori maslahat di sini menurut
Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial dalam istilah filsafat
hukum. Adapun inti dari konsep maqasid al-syari’ahadalah untuk mewujudkan
kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak
mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari'ah tersebut
adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada
maslahat.
C.
PERANAN
MAQASID AL-SYARI’AH DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM.
Pengetahuan
tentang maqasid al-syari’ah sebagaimana yang ditegaskan oleh Abdul Wahab Khalaf
adalah hal yang sangat penting, mengerti dan memahami tentang maqaid
al-syari’ah dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami redaksi al-Qur’an
dan as-sunnah, membantu menyelesaikan dalil yang saling bertentangan (ta’arud
al-adillah) dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan suatu hukum
dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya tidak tercantum dalam al-Qur’an dan
as-sunnah jika menggunakan kajian semantik (kebahasaan). Metode istinbath
al-hukum dengan menggunakan qiyas (analogi), istihsan, dan maslahah al-mursalah
adalah metode-metode yang dapat dipakai dalam pengembangan hukum Islam dengan
mengunakan maqasid al-syari’ah sebagai dasarnya.
Misalnya
metode Qiyas baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditentukan maqasid
al-syari’ahnya yaitu dengan menemukan ratio legis (illat al-hukm) dari sebuah
permasalahan hukum, sebagai contoh hukum tentang khamar menurut penelitian para
ulama’ bahwa maqasid al-syari’ah dari diharamkanya khamar adalah karena
sifatnya yang dapat memabukkan sehingga dapat merusak akal manusia, dengan
demikian yang menjadi illat al-hukm dari khamar adalah sifat yang memabukkan
dan merusak akal, sedangkan khamar hanya salah satu contoh dari sekian banyak
hal yang memiliki kesamaan sifat dengannya, apalagi dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka sangat banyak sekali sifat-sifat dari
zat-zat kimiawi yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengan contoh khamar
diatas, dari sini pengembangan hukum Islam dapat dilakukan dengan mengunakan
metode-metode yang ada. Metode penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqasid
al-syari’ah dalam penetapan hukumnya dengan menggunakan qiyas, istislah
(maslahah murslah), istishab, syad al-dzari’ah dan ’urf oleh kalangan
ushuliyyun disebut juga dengan maqasid al-tsanawiyah.
D.
MAQASID
AL-SYARI’AH DALAM PENGEMBANGAN SISTEM EKONOMI ISLAM
Telah
ditegaskan sebelumnya bahwa dalam melakukan ijtihad guna menghadapi berbagai
situasi, maka maslahat harus dijadikan prioritas utama, karena ia merupakan
tujuan pokok syariat (maqasid asy-syari’ah). Dengan merujuk kepada maslahat,
maka fiqih atau produk ijtihad yang lainnya dapat disesuaikan, sesuai dengan
kemaslahatan masyarakat. Penegasan tentang hal ini adalah penting, karena
syari’ah memuat prinsip-prinsip umum sebagai strategi dasar yang dapat
diaplikasikan dalam berbagai kasus dan keadaan. Di samping itu, syari’at juga
menawarkan konsep fleksibelitas, karena di dalam al-Qur’an tidak ditemukan
ketentuan dan materi yang bersifat detail. Dengan landasan berpikir seperti
ini, sebenarnya syari’at dapat memberikan kontribusinya bagi kemaslahatan
masyarakat tanpa berbenturan dengan norma dan nilai-nilai yang lain.
Semua ulama
mengakui bahwa the ultimate goal-nya hukum Islam adalah maslahah. Akan tetapi
karena semua ulama mempunyai pemikiran yang berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya tentang maslahah dari sebuah aturan, maka keadaan yang seperti ini
sangat terbuka bagi munculnya subjektivisme pemahaman. Oleh karena itu, untuk
kepentingan penderivasian maslahat ke dalam sebuah hukum yang konkrit sekaligus
untuk pengembangannya, ada baiknya diperhatikan perjenjangan norma-norma hukum
Islam.
Menurut teori
ini, ada tiga level norma hukum. Pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai
filosofis (al-qiyam al-asasiyyah), yakni norma-norma abstrak yang merupakan
nilai-nilai dasar dalam hukum Islam seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan
dan persamaan, atau pemeliharaan maslahat yang lima (maqasid al-syari’ah).
Norma abstrak inilah yang disebut sebagai tujuam hukum. Kedua, norma antara
(tengah) yang digunakan sebagai perantara (alat) untuk mencapai tujuan-tujuan
hukum. Norma tengah ini merupakan doktrin-doktrin umum hukum
Islam.Doktrin-doktrin umum ini secara konkritnya dalam hukum Islam dibedakan
menjadi dua macam, yaitu al-nazariyyat al-fiqhiyyah (asas-asas umum hukum
Islam) dan al-qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah hukum Islam). Ketiga, norma
hukum konkrit (al-ahkam al-far’iyyah) sebagai aplikasi dari dua norma
sebelumnya.
Ketiga lapisan
norma ini tersusun secara hirarkis, di mana norma yang paling abstrak
dikonkritisasi atau diejawantahkan dalam norma yang lebih konkrit. Misalnya
nilai dasar kemaslahatan dikonkritisasi antara lain dalam asas umum yang berupa
kaidah fiqhiyyah, yaitu antara lain al-masyaqqah tajlib al-taisir (kesukaran
membawa kemudahan). Asas ini dikonkritisasi lagi dalam bentuk peraturan konkrit
dalam hukum perdata misalnya, orang yang sedang dalam kesulitan dana diberi
kesempatan untuk penjadwalan kembali hutangnya. Contoh lain adalah nilai dasar
kebebasan diejawantahkan dalam norma tengah, yaitu asas kebebasan berkontrak
(mabda’ hurriyyah al-ta’aqud). Asas kebebasan berkontrak ini dikonkritisasi
lagi dalam bentuk norma konkrit boleh membuat akad baru apa saja, misalnya akad
asuransi, sepanjang tidak melanggar ketertiban hukum syar’i dan akhlak Islam.
Timbulnya
penemuan-penemuan baru akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan
berakibat menggeser cara pandang dan membentuk pola alur berpikir yang membawa
konsekwensi logis membentuk norma baru dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak
semestinya kemajuan iptek dan peradaban manusia itu dihadapkan secara
konfrontatif dengan nash, akan tetapi harus dicari pemecahannya secara
ijtihadi. Dalam banyak hal dalam aktivitas ekonomi, Islam memberikan skala
normativnya secara global. Untuk menyebut salah satu contohnya, dapat
dikemukakan persoalan aktivitas jual beli dan jaminan hutang piutang. Dalam
al-Qur’an hanya disebutkan jual beli yang halal dengan tidak terperinci
umpamanya mana yang boleh khiyar dan yang tidak boleh, dan tidak disebutkan
pula cara-cara penjaminan hutang piutang dan hukumnya secara terperinci. Hal-hal
yang tidak diatur dalam kedua sumber utama hukum tersebut, diperoleh
ketentuannya dengan jalan ijtihad dengan menjadikan konsep maqasid sebagai
teori dasar dalam pengembangannya, agar umat Islam terdorong aktif, kreatif dan
produktif dalam ikhtiar-ikhtiar kehidupan ekonomi mereka. Selama tujuan
hukumnya dapat diketahui, maka akan dapat dilakukan pengembangan hukum
berkaitan dengan masalah yang dihadapi.
Maqashid
syari’ah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan ekonomi
syari’ah, menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syari’ah. Pengetahuan
maqashid syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai
problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid
syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi
makro (moneter, fiscal; public finance), tetapi juga untuk menciptakan
produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro
lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi
perbankan dan lembaga keuangan syariah.
Mengenai
aktivitas ekonomi dan bisnis, Islam telah memberikan prinsip-prinsip umum yang
harus dipegangi, yaitu:
1.
Prinsip tidak boleh memakan
harta orang lain secara batil.
2.
Prinsip saling rela, yakni
menghindari pemaksaan yang menghilangkan hak pilih seseorang dalam muamalah.
3.
Prinsip tidak mengandung
praktek ekploitasi dan saling merugikan yang membuat orang lain teraniaya.
Pendek kata, transaksi apapun
yang dilakukan oleh para mukallaf tidak boleh bertentangan dengan asas
kemaslahatan, dalam arti kata menimbulkan kerugian (madharat) atau keadaan
memberatkan (masyaqqah).
Dalam
aktivitas bisnis kontemporer, jual beli saham misalnya, umat Islam menghadapi
berbagai macam keraguan hukum terhadap bisnis ini. Sementara nas al-Qur’an dan
hadits tidak menjelaskan bisnis ini secara eksplisit. Berkaitan dengan hal ini
kaidah usuliyyah menyatakan “al-aslu fi al-uqud wa al-mu’amalat al-sihhah hatta
yaquma al-dalila ‘ala al-batlan wa al-tahrim”. Ada juga kaidah lain yang
mengatakan “al-aslu fi al-asyya al-ibahah”. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa masalah obligasi juga merupakan masalah muamalah baru yang belum pernah
ada dan tidak pula dikenal oleh para fuqaha sebelumnya. Nas ini juga tidak
menyinggung masalah tersebut. Oleh karena itu, hal ini merupakan masalah
ijtihadiyyah. Sejalan dengan kaidah-kaidah yang disebutkan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa muamalah obligasi tersebut adalah boleh sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dalam muamalah, apalagi jika aktivitas
tersebut mengandung maslahah secara individual maupun komunal.
Selama ini
yang menjadi keberatan terhadap bentuk muamalah ini adalah masalah capital gain
dalam transaksi di pasar sekunder. Di pasar sekunder ini dapat terjadi
penjualan dan pembelian, tidak seperti pasar perdana yang hanya melayani
penjualan. Harga dalam pasar sekunder ini tidak ditentukan oleh kesepakatan
antara perusahaan (emiten) dan underwriter (penjamin emisi), melainkan
ditentukan oleh investor, sehingga harga bisa lebih tinggi dan lebih rendah
dibandingkan dengan pasar perdana, sesuai dengan mekanisme pasar. Dengan
keadaan ini, bisa terjadi lembaran saham yang dibeli dipasar sekunder akan
dijual kepada investor lain (investor spkelulan) dengan suatu harapan akan
memperoleh keuntungan yang disebut dengan capital gain, yakni kelebihan harga
dari nilai beli saham. Dengan demikian, tujuan investasi telah bergeser dari
orientasi laba keuntungan kepada laba spekulatif. Bergeser juga orientasi
pembelian saham dari semata-mata penyertaan modal kepada semata-mata jual beli.
Bila dilihat
dari aspek jual beli saja, maka fluktuasi harga saham itu merupakan hal yang
wajar dan mubah, sepanjang saham-saham yang diperjualbelikan itu bidang
usahanya adalah usaha yang mubah. Akan tetapi keuntungan yang diperoleh bisa
spekulatif, tidak jarang muncul manuver-manuver tidak sehat yang bisa berwujud
konspirasi atau lainnya. Diantara bentuk permainan-permainan tersebut adalah:
1.
Konspirasi antara
underwriter, broker dan emiten yang bertujuan agar saham-saham yang ada dapat
dipermainkan sesuai dengan keinginan mereka.
2.
Sekelompok pedagang saham
menyebar berita bohong sekitar perusahaan penerbit saham.
3.
Permainan serupa juga bisa
dilakukan oleh suatu grup perusahaan atau spekulan agar bisa meraup keuntungan
besar. Celaka lagi kalau ada investor yang belum mengerti lika-liku dunia bursa
akan menjadi makanan empuk bagi para pialang, misalnya dengan melakukan praktek
al-najasy (menggoyang harga).
Dapat
disimpulkan bahwa jika terjadi motif capital gain, maka terdapat unsur garar di
dalamnya yang di larang oleh Islam. Sementara garar adalah sesuatu yang
mengakibatkan tidak sahnya sebuah transaksi karena dapat merusak kemaslahatan
bagi para pihak. Disamping itu jual beli saham yang bermotifkan capital gain
menempatkan saham tidak berfungsi sebagai bukti penyertaan modal (syirkah) atau
investasi (mudharabah), akan tetapi sudah semacam perdagangan lembaran kertas
untuk mengadu nasib dan untung di kemudian hari. Maka dalam kaitan ini, Am
Saefudin menyatakan bursa efek yang Islami tidak diperdagangkan di pasar modal.
Saham merupakan tanda kepemilikan modal perusahaan, maka sifat go public yang
senafas dengan Islam bila saham-saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat,
karyawan dan buruh perusahaan. Di sinilah fungsi kode etik yang dibuat oleh
BAPEPAM (Badan Pengawas Penanaman Modal) untuk menghindari
kemungkinan-kemungkinan manuver tidak sehat dalam jual beli saham.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
tersebut di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Sebelum kemunculan al-Syatibi
dengan konsep maqasid al-syari’ah-nya, mayoritas literatur ushul fiqih hanya
mengembangkan pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan dalam memahami maksud syara’
dengan metode yang berbeda-beda dalam menetapkan maqasid tersebut. Pertama,
aliran zhahiriyyat yang berpegang teguh pada keterangan syari’ secara harfiyyah
untuk menetapkan tujuan syari’at sehingga aliran ini menolak penggunaan ra’yi
dan qiyas. Kedua, golongan batiniyyat yang berpegang teguh pada sesuatu yang
tersembunyi (rahasia) di balik zahir teks, terpisah dari teks dan bukan dari
teks itu sendiri. Kelompok ini antara lain dipegang oleh golongan muta’ammiqin
bi al-qiyas (fanatis qiyas) yang berpendapat bahwa tujuan syari’at terdapat
pada makna (inti) yang dapat dicapai melalui penalaran akal sehingga jika
terdapat pertentangan antara hasil penalaran akal dengan ketentuan harfiah,
maka mereka berpaling dari ketentuan nash dan berpegang pada hasil penalaran.
Kelompok ketiga adalah kelompok moderat, yang menggabungkan antara makna
penalaran akan dan ketetapan harfiyah nas. Al-Syatibi masuk ke dalam kelompok
moderat
2.
Para ulama sepakat tentang
tujuan Allah mensyari’atkan sebuah hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan
seluruh manusia, di lain sisi untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun
di akhirat. Tujuan tersebut dicapai lewat taklif, yang pelaksanaannya sangat
tergantung pada pemahaman sumber hukum utama, al-Qur’an dan hadits. Dalam
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ada lima hal pokok yang
harus dipelihara dan dijaga yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
3.
Sudah menjadi kesepakatan
bahwa dengan konsep maqasid al-syari’ah dapat diketahui bahwa maksud dan tujuan
Allah dalam memberikan sebuah ketentuan untuk manusia adalah dalam rangka
memelihara kepentingan dan kemanfaatan bagi manusia sendiri. Tidak ada
ketentuan yang telah ditetapkan kecuali aturan tersebut memang mengandung
kemaslahatan buat manusia. Dengan demikian maka sejatinya konsep maqasid
al-syari’ah ini bisa dijadikan sebagai blue print dalam menghadapi berbagai
permasalahan-permasalahan perekonomian kontemporer baik yang bersifat teoretis
maupun praktis. Hal ini semakin beralasan bila dihadapkan pada realitas
keilmuan ekonomi Islam yang masih mencari bentuk idealnya. Selain itu tujuan
akhir ekonomi Islam adalah sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri
(maqashid asy syari'ah), yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
(falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah
thayyibah). Mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi manusia merupakan dasar
sekaligus tujuan utama dari syariat Islam (mashlahah al ibad), karenanya juga
merupakan tujuan ekonomi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid
al-Hakim, al-Bayan, Jakarta: Sa’adiyah Putra, tt.
Abdul Salam
Arif, “Ushul Fiqh Dalam Kajian Bisnis Kontemporer”, dalam Ainurrofiq (ed.),
Mazhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz,
2002.
Amir Muallim
dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001
Ahmad
ar-Raisuni, Nazariyyah al-Maqosid ‘inda al-Imam al-Syatibi, Riyad: Dar
al-Ilmiyyah al-Kitab al-Islami, 1992.
Al- Syatibi,
Al--Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Kairo, Mustafa Ahmad, tt., II.
Asafri Jaya
Bakri, Konsep Maqosid al-Syari’ah Menurut Syatibi, Jakarta: Rajawali Pers,
1996.
Fatkhi
al-Daraini, al-Manahij al-Usuliyyah fi Ijtihad bi al-Ra’yi fi Tasyri’,
Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadis.
Ibn Taimiyyah,
al-Qawaid al-Nuraniyyahal-Fiqhiyyah, Lahore: Idarah Tarjuman al-Sunnah, tt.
Jalaluddin Abd
al-Rahman al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazair, Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
0 Response to "Makalah Islam Dan Lingkungan Hidup || MAQASHID SYARIAH LINGKUNGAN HIDUP DALAM EKONOMI ISLAM"
Posting Komentar